Kolom
Sabtu, 29 Agustus 2015 - 10:00 WIB

GAGASAN : Tiongkok, Rupiah, dan Harga Minyak

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sunarsip (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (28/8/2015), ditulis Sunarsip. Penulis adalah Ekonom Kepala di The Indonesia Economic Intelligence (IEI).

Solopos.com, SOLO — Pasar keuangan (financial market), terutama di emerging markets, dalam sebulan ini mengalami tekanan yang kuat. Salah satu pemicu utamanya adalah kebijakan devaluasi yuan yang dilakukan oleh Tiongkok pada 11 Agustus.

Advertisement

Tiongkok merasa perlu memperlemah yuan untuk mendorong kinerja ekspor yang menurun drastis 8,3% year on year (yoy) pada Juli 2015 atau merupakan penurunan terbesar dalam empat bulan terakhir.

Kebijakan depresiasi seperti ini pernah dilakukan Tiongkok pada 1994 yang juga berdampak pada perekonomian global saat itu. Secara umum, hampir seluruh mata uang Asia mengalami depresiasi.

Pelemahan mata uang di emerging markets ini lebih dipengaruhi oleh persepsi pelaku pasar terkait dengan prospek perekonomian Tiongkok. Pelaku pasar lebih melihat kebijakan devaluasi yuan ini sebagai indikasi perekonomian Tiongkok saat ini melemah, tanpa mau melihat bahwa kebijakan devaluasi perlu diambil pemerintah Tiongkok untuk memulihkan perekonomiannya.

Advertisement

Nah, karena Tiongkok merupakan salah satu perekonomian terbesar, kebijakan devaluasi yuan ini akhirnya menimbulkan kepanikan terutama di negara-negara mitra dagang Tiongkok yang ekspornya mengandalkan sumber daya alam.

Tiongkok memang sedang menghadapi tantangan berat terkait kinerja perekonomiannya saat ini. Setelah mencatatkan rekor pertumbuhan ekonomi sekitar 14% pada 2007, ekonomi Tiongkok kini masih melanjutkan tren perlambatan.

Pada 2015 ini, proyeksi resmi pemerintah Tiongkok memperkirakan pertumbuhan ekonominya mencapai 7%. Beberapa analisis memprediksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2015 bisa berada di bawah 7%, bahkan hanya 5%.

Menyadari hal itu, Tiongkok melakukan segala cara untuk memulihkan perekonomiannya. Sebelum kebijakan devaluasi yuan, Tiongkok sudah terlebih dahulu memperlonggar kebijakan moneternya melalui penurunan suku bunga acuan (policy rate) dari 6% pada awal 2015 menjadi 4,85% pada Agustus.

Advertisement

Tiongkok memang memiliki banyak ”amunisi” untuk mengendalikan perekonomiannya. Pertama, utang pemerintah relatif moderat sehingga pemerintah Tiongkok memiliki ruang cukup untuk menginjeksi modal bagi perbankannya.

Kedua, cadangan devisa yang sangat tinggi, yaitu US$3,65 triliun per Juli 2015, lebih dari cukup untuk menangkal setiap potensi krisis yang terkait dengan neraca pembayarannya. Ketiga, tingkat tabungan (saving rate) di Tiongkok sangat tinggi (sekitar 50% terhadap produk domestic bruto/PDB) sehingga menjaga perbankannya tetap likuid.

Tingginya tingkat tabungan ini merupakan dampak dari kebijakan kontrol modal yang diterapkan Tiongkok. Melalui kebijakan capital control, ruang capital outflow menjadi lebih kecil dan akhirnya dana-dana lebih banyak ditaruh di perbankan di dalam negeri.

Kebijakan capital control juga menjadi pendorong di balik rendahnya suku bunga pinjaman (lending interest rate) di Tiongkok, hanya sekitar 5,6% pada 2014. Tingginya likuiditas perbankan dan rendahnya tingkat suku bunga kredit inilah yang pada satu dekade ini mendorong pertumbuhan investasi Tiongkok.

Advertisement

Ada kekhawatiran bahwa devaluasi yuan ini akan menyebabkan impor Tiongkok menjadi lebih mahal sehingga berpotensi mengganggu kegiatan industri di dalam negeri.

Kekhawatiran ini kurang relevan bila dikaitkan dengan kondisi faktual Tiongkok saat ini. Devaluasi memang akan membuat impor komoditas Tiongkok menjadi lebih mahal, namun kerugian yang timbul akibat devaluasi ini masih favourable bagi Tiongkok.

Tiongkok adalah salah satu importir terbesar minyak di dunia. Kebijakan devaluasi akan membuat impor minyak Tiongkok menjadi lebih mahal. Kebijakan ini tak akan menurunkan intensitas Tiongkok dalam kegiatan impor minyak karena harga minyak juga menurun tajam.

Per 25 Agustus, harga minyak Brent berada di level US$42,78 per barel, terendah dalam enam tahun terakhir. Harga minyak WTI (Nymex) justru lebih rendah lagi, yaitu US$38,38 per barel. Pelemahan harga minyak ini terutama disebabkan over supply di Amerika Serikat (AS).

Advertisement

Dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan Tiongkok di atas dalam jangka panjang justru positif bagi perekonomiannya. Kebijakan ini akan mendorong pemulihan ekonomi Tiongkok dapat berlangsung lebih cepat.

Dampak positifnya bagi negara-negara mitra Tiongkok juga dapat lebih cepat. Sayangnya, respons pelaku pasar keuangan terlalu berlebihan. Akibatnya, nilai tukar mata uang negara-negara mitra Tiongkok mengalami overshooting, termasuk rupiah. [Baca: Blessing in Disguise?]

 

Blessing in Disguise?
Sebagai negara mitra dagang utama kita, devaluasi yuan tentu akan berpengaruh bagi kegiatan ekspor Indonesia. Terlebih lagi, ekspor kita ke Tiongkok sebagian besar dalam bentuk sumber daya alam.

Sebagai informasi, ekspor batu bara Indonesia ke Tiongkok dalam kuartal II/2015 menurun akibat kebijakan lingkungan yang diberlakukan Tiongkok terkait penggunaan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

Ini ditambah dengan kebijakan devaluasi. Kegiatan impor batu bara Tiongkok menjadi lebih sulit. Kebijakan devaluasi yuan dan jatuhnya harga minyak ini juga berpotensi sebagai blessing in disguise bagi perekonomian kita.

Advertisement

Pertama, dalam analisis sensitivitas pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 disebutkan pelemahan (deviasi) nilai tukar rupiah dari asumsi yang ditetapkan pada RAPBN 2016 (Rp13.400 per US$) justru berdampak positif bagi APBN.

Secara teoritis, pelemahan rupiah akan menyebabkan sisi minyak dan gas (migas) pada APBN akan mengalami surplus. Surplus migas di APBN akibat pelemahan rupiah ini sesuatu yang langka terjadi pada APBN karena biasanya justru menyebabkan APBN mengalami defisit.

Dampak positif akibat pelemahan rupiah ini disebabkan harga minyak saat ini melemah sehingga menekan biaya impor bahan bakar minyak (BBM).

Kedua, jatuhnya harga minyak seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mendorong konsumsi masyarakat. Salah satunya adalah melalui transmisi harga BBM. Harga BBM, baik untuk kepentingan rumah tangga dan industri, dapat dievaluasi kembali.

Di AS, penurunan harga minyak ini dimanfaatkan betul oleh pemerintah AS untuk menggenjot konsumsi dan kegiatan industri. Harga BBM menjadi jauh lebih rendah sehingga konsumsi rumah tangga dan aktivitas industri manufaktur berkembang.

Faktor ini pulalah yang mendorong percepatan pemulihan ekonomi di AS. Tidak hanya AS, Eropa dan Jepang juga memanfaatkan penurunan harga minyak ini untuk menggenjot konsumsi masyarakat.

Pada akhirnya, meskipun kita menyadari bahwa pelemahan rupiah ini overshooting dan merugikan, tapi kita masih memiliki peluang untuk tetap tumbuh.

Krisis rupiah ini juga lebih karena persepsi dan sentimen. Nah, tinggal bagaimana otoritas ekonomi kita menciptakan beragam sentimen positif untuk membalikkan persepsi dan kepercayaan pasar. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Advertisement
Kata Kunci : Gagasan Gagasan Solopos
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif