Kolom
Kamis, 27 Agustus 2015 - 08:35 WIB

GAGASAN : Nilai Tukar Rupiah dan Daya Saing Ekspor

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anton A. Setyawan (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (26/8/2015), ditulis Anton A. Setyawan. Penulis adalah dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Nilai tukar rupiah dalam tiga bulan terakhir ini terus mengalami tekanan. Sampai dengan Selasa, 25 Agustus 2015, nilai tukar rupiah melampaui Rp14.000 per dolar Amerika Serikat (US$).

Advertisement

Pelemahan rupiah ini semakin parah, menyusul kebijakan pemerintah Tiongkok mendevaluasi nilai tukar yuan. Kebijakan ini menyebabkan melemahnya mata uang beberapa negara Asia yang menjadi mitra bisnis Tiongkok, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia.

Ada dua kondisi global yang menyebabkan pelemahan kurs rupiah. Kondisi pertama adalah pemulihan kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) yang dikhawatirkan menyebabkan investor memindahkan investasi mereka ke negeri itu dari Indonesia.

Kondisi kedua adalah devaluasi nilai yuan sebagai usaha Tiongkok untuk meningkatkan daya saing produk ekspor mereka. Pelemahan nilai tukar rupiah ini mempunyai dua implikasi serius.

Advertisement

Sektor riil Indonesia terkena dampak serius karena banyak komponen industri nasional yang mempunyai kandungan impor tinggi. Kelompok industri ini jelas mengalami peningkatan struktur biaya yang signifikan.

Sektor keuangan dan fiskal pemerintah juga mengalami dampak negatif terkait dengan fluktuasi kurs rupiah akhir-akhir ini. Fluktuasi kurs menyebabkan utang luar negeri berpotensi mengalami kenaikan.

Utang luar negeri Indonesia per Mei 2015 adalah US$302,3 miliar dengan rincian utang luar negeri pemerintah US$133,5 milliar dan utang luar negeri swasta US$168,7 milliar.

Indeks harga saham gabungan (IHSG) dalam sejak pecan lalu ini terus mengalami sentimen negatif. IHSG terus melemah karena dipicu aksi jual beberapa saham unggulan di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Advertisement

Melemahnya kurs rupiah juga menimbulkan dampak positif, yaitu neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus. Pada Juli 2015, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus US$1,33 miliar.

Secara umum transaksi berjalan pada triwulan II-2015 masih mengalami defisit meskipun menurun menjadi sekitar US$4,5 miliar atau 2,1% dari produk domestik bruto (PDB). Hal ini terjadi karena menurunnya impor minyak dan gas (migas) akibat penurunan konsumsi bahan bakar minyak (BBM).

Pada sisi lain, kinerja ekspor masih mengalami penurunan karena harga komoditas primer di pasar global menurun. Kinerja ekspor pada triwulan II 2015 minus 5,3%

Pada saat krisis ekonomi 1998, nilai kurs rupiah melemah sampai dengan Rp16.000 per dolar AS dan ekonomi tumbuh negatif. Pada waktu itu ada kelompok usaha yang diuntungkan dengan melemahnya kurs rupiah, yaitu produk dengan kandungan lokal dan berorientasi ekspor serta eksportir komoditas primer. Apakah hal itu bisa terulang lagi saat ini? [Baca: Daya Saing]

Advertisement

 

Daya Saing
Perdagangan global mensyarakatkan beberapa hal bagi sebuah produk agar bisa diterima pasar. Kualitas, spesifikasi produk, ketepatan memilih segmen dan kebijakan harga, serta persaingan menjadi syarat bagi sebuah produk agar mempunyai daya saing kuat di pasar global.

Pada tahapan yang sangat dasar, daya saing produk global menggunakan strategi persaingan harga. Strategi persaingan harga yang umum dilakukan sebuah negara adalah dengan memanfaatkan lemahnya nilai tukar mata uang terhadap mata uang dolar AS.

Hal ini memicu beberapa negara industri melakukan kebijakan devaluasi seperti yang dilakukan Tiongkok. Kebijakan seperti ini berpotensi memicu perang kurs. Persaingan harga dengan menggunakan pelemahan kurs mata uang adalah cara yang paling gampang dalam bisnis internasional.

Advertisement

Cara ini tidak menyebabkan sebuah produk mempunyai daya saing bisnis dalam jangka panjang. Persaingan nonharga dengan mengutamakan kualitas produk, layanan, dan ketepatan memilih segmen pasar menjadi kunci sukses bersaing di pasar global.

Pemerintah Indonesia dalam pernyataan yang dikemukakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengharapkan pelemahan nilai tukar rupiah ini menjadi kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan dan volume ekspor, terutama produk-produk dengan bahan baku lokal dan dipasarkan di pasar global.

Windfall profit yang dinikmati eksportir lokal ini pernah terjadi pada saat krisis ekonomi Indonesia 1997-1998. Pada masa itu eksportir produk lokal mendapatkan keuntungan luar biasa dari penjualan produk pada saat mata uang rupiah melemah.

Pelemahan nilai kurs rupiah saat ini sangat berbeda dengan kondisi pada 1998 lalu. Pada 1998, krisis hanya terjadi di kawasan Asia sementara perekonomian AS dan Eropa tumbuh positif. Permintaan dari kedua kawasan tersebut terhadap komoditas dan barang-barang dari Indonesia sangat tinggi karena harganya murah.

Pelemahan kurs rupiah saat ini terjadi bersamaan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di AS dan krisis ekonomi berlarut-larut di Eropa karena masalah krisis di Yunani. Negara tujuan utama ekspor Indonesia untuk produk dengan komponen lokal masih AS dan Eropa sehingga windfall profit yang diharapkan tidak terjadi.

Mengharapkan peningkatan kinerja ekspor dari pelemahan nilai tukar rupiah bisa terwujud dengan dua syarat, yaitu perluasan pasar ekspor dan pemberian insentif bagi eksportir. [Baca: Merintis]

Advertisement

 

Merintis
Perluasan pasar ekspor adalah dengan memperluas pilihan negara tujuan ekspor, misalnya jika selama ini AS dan Eropa menjadi tujuan ekspor, eksportir bisa mempertimbangkan kawasan lain yang tidak kena krisis, misalnya Amerika Latin atau Timur Tengah.

Tentu tidak mudah bagi eksportir untuk merintis daerah tujuan baru tanpa bantuan dari pemerintah dengan mengefektifkan konsulat jenderal perdagangan di negara-negara yang berpotensi menjadi mitra dagang Indonesia.

Insentif  bagi eksportir sangat diperlukan untuk memberikan ”vitamin” bagi daya saing mereka. Insentif yang diberikan sebaiknya yang terkait dengan efisiensi struktur biaya yang menjadi beban eksportir.

Insentif yang paling mudah diberikan adalah tax holiday atau pembebasan pajak bagi eksportir dengan syarat tertentu. Persyaratan eksportir yang mendapatkan insentif adalah eksportir yang melakukan inovasi, misalnya menggunakan energi alternatif dalam proses produksi atau menggunakan bahan baku lokal lebih dari 70%.

Insentif lain bisa dengan memberikan prioritas bongkar muat bagi eksportir atau mengurangi biaya logistik mereka. Alternatif lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam situasi kurs rupiah yang melemah adalah dengan memberikan stimulus bagi konsumsi domestik.

Percepatan pencairan belanja pemerintah bisa menjadi cara untuk memberikan stimulus bagi perekonomian nasional di tengah ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi global.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif