News
Rabu, 26 Agustus 2015 - 13:10 WIB

KISAH MISTERI : Filosofi Angka “Keramat” 25, 50 dan 60 dalam Mitos Jawa

Redaksi Solopos.com  /  Jafar Sodiq Assegaf  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi kiamat (JIBI/SOLOPOS/Dok)

Kisah unik kali ini tentang makna dibalik angka 25, 50 dan 60 dalam bahasa Jawa.

Solopos.com, SOLO – Bahasa jawa memang terkenal dengan keunikannya, termasuk dalam hal pelafalan angka. Bahkan terdapat mitos tentang rahasia cinta hingga ajal manusia dibalik pelafalan angka 25, 50 dan 60. Anda percaya?

Advertisement

Dalam bahasa indonesia, angka 20 disebut dua puluh, kemudian angka berikutnya disebut dua puluh satu, dua puluh dua, dua puluh tiga dan seterusnya.

Sedangkan dalam bahasa jawa, angka 20 disebut rong puluh. Akan tetapi ada cara berbeda untuk melafalkan angka 21 hingga 29. Bukan rong puluh siji, rang puluh sanga, melainkan dengan selikur, ro likur, telu likur, dan seterusnya hingga sanga likur.

Dihimpun Solopos.com dari pelbagai sumber, Selasa (25/8/2015), kata likur dalam mitos yang dipercayai masyarakat Jawa ternyata merupakan bentuk singkat dari lingguh kursi atau duduk di kursi.

Advertisement

Jika dihubungkan dengan usia manusia, kata likur bermakna manusia ditakdirkan mendapatkan tempat duduknya alias pekerjaannya pada usia 21-29 tahun.

Akan tetapi antara 21-29 ada satu angka yang pelafalannya tak sesuai pola, yakni 25. Bukan disebut limang likur, melainkan selawe. Kata selawe dipercayai sebagai seneng-senenge lanang wedok atau puncak asmara pria dan wanita. Pada usia itulah manusia umumnya melakukan pernikahan.

Setelah angka 29 ada angka 30, 31, 32 dan seterusnya yang dalam bahasa jawa dilafalkan dengan telung puluh, telung puluh siji, telung puluh loro. Akan tetapi ada pengecualian lagi saat tiba pada hitungan 50.

Advertisement

Angka tersebut tidak dilafalkan dengan limang puluh, melainkan seket. Dalam mitos Jawa, seket disebut-sebut sebagai perumpamaan untuk senenge kethunan atau suka memakai kethu alias tutup kepala.

Ternyata benar, pada usia 50 kebanyakan manusia mengalami ubanan atau kerontokan rambut sehingga kepala harus sering ditutupi dengan penutup seperti topi. Makna lainnya, kethu dapat pula diartikan sebagai kopiah untuk mengingatkan manusia agar lebih memerhatikan ibadahnya pada usia tersebut.

Terakhir, pelafalan tak sesuai pola terjadi saat menyebut angka 60. Bukan enem puluh melainkan sewidak. Kata sewidak dipercaya masyarakat Jawa sebagai kependekan dari sejatine wis wayahe tindak atau sudah saatnya meninggal dunia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif