Kolom
Selasa, 25 Agustus 2015 - 08:00 WIB

GAGASAN : Dampak Perang Mata Uang

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Riwi Sumantyo (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (24/8/2015), ditulis Riwi Sumantyo. Penulis adalah dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Dunia tiba-tiba dikejutkan langkah Bank Sentral Tiongkok/People’s Bank of China (PBOC) yang mendevaluasi mata uang Negara itu beberapa waktu yang lalu. Langkah ini tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi selama tiga hari berturut-turut.

Advertisement

Nilai tukar yuan yang sebelumnya di posisi 6.116 yuan per dolar Amerika Serikat diturunkan menjadi 6.229 yuan per dolar AS atau terdevaluasi sebesar 1,86%. Pasar keuangan global secara serentak rontok dan menimbulkan kepanikan yang luar biasa.

Bursa saham di negara maju maupun di emerging markets mengalami minicrash. Investor mengalihkan portofolio ke dalam dolar Amerika Serikat sehingga mata uang negeri itu menguat tajam.

Belum reda kepanikan, hari berikutnya PBOC kembali mendevaluasi mata uangnya menjadi 6.3306 yuan per dolar Amerika Serikat atau sebesar 1,625%. Dan hari berikutnya yuan terdevaluasi kembali menjadi  6.4010 per dollar AS atau sebesar 1,11%.

Secara keseluruhan PBOC telah mendevaluasi mata uang Tiongkok sebesar 4,595%. Devaluasi adalah pelemahan mata uang yang secara sengaja dilakukan oleh otoritas moneter suatu negara.  Kebijakan ini ada di suatu negara yang menganut rezim nilai tukar tetap (fixed exchange rate).

Jika pelemahan mata uang terjadi di suatu negara yang menganut rezim nilai tukar mengambang bebas, hal tersebut diistilahkan dengan sebutan depresiasi. Akibat kebijakan devaluasi, rupiah juga terkena dampaknya. Mata uang kita semakin jauh meninggalkan level Rp13.500 per dolar Amerika Serikat.

Sebagian pihak meyakini langkah PBOC ini tidak akan berhenti sampai di sini. Yuan diprediksi masih akan dilemahkan sampai sekitar 10% atau bahkan 15% terhadap dolar Amerika Serikat. Jika hal ini betul terjadi, bukan mustahil rupiah akan tembus Rp14.000 per dolar Amerika Serikat dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.

Argumentasi teknis yang disampaikan PBOC terkait hal tersebut adalah melambatnya perekonomian Tiongkok yang terjadi lebih cepat daripada perkiraan semula. Hal ini ditandai kemerosotan nilai ekspor.

Advertisement

Tiongkok yang selama beberapa dekade nyaman dengan pertumbuhan ekonomi di atas 10% (double digit), tahun ini terancam hanya akan tumbuh di kisaran 5%-6%. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena akan mendorong tingginya angka pengangguran.

Sekarang harga properti di Tiongkok juga menurun akibat adanya property bubble. Langkah yang diambil otoritas moneter Tiongkok ini dikhawatirkan akan diikuti negara lain. Jika hal ini terjadi, akan timbul fenomena perang mata uang (currency war).

Perang mata uang ini kemungkinanakan melibatkan negara-negara yang kuat ekonominya seperti Amerika Serikat, negara-negara zona euro, Jepang, dan India. Baru-baru ini Bank Sentral Vietnam (CBV) memutuskan memangkas nilai (devaluasi) mata uang dong sebesar 0,99% pada Rabu, 19 Agustus 2015.

Otoritas moneter mendevaluasi nilai tukar dari 22.111 dong per dolar Amerika serikat menjadi 21.890 dong per dolar Amerika Serikat. Bank Sentral Vietnam juga memperlebar rentang perdagangan menjadi 3%. Perubahan tersebut berlaku efektif mulai hari itu.

Jika dilihat, devaluasi dong ini merupakan kali ketiga yang dilakukan oleh Bank Sentral Vietnam. Pada pekan lalu, State Bank of Vietnam memperlebar rentang transaksi mata uang dari 1% menjadi 2%. Jika diukur dampaknya, devaluasi dong tidak berdampak signifikan terhadap pasar keuangan global maupun terhadap rupiah.

Perekonomian Vietnam skalanya jauh lebih kecil dibanding Tiongkok. Volume dan nilai perdagangan Indonesia-Vietnam kalah jauh dibanding Indonesia-Tiongkok.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pasar ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 7,76 miliar dolar Amerika Serikat. Tiongkok tetap menjadi rekanan dagang terbesar dengan transaksi impor 16,50 miliar dolar Amerika Serikat.

Advertisement

Berdasarkan catatan, pemerintah Indonesia juga pernah mengambil kebijakan devaluasi, bahkan sampai empat kali. Pertama, pada 21 Agustus 1971. Pada 15 Agustus 1971, Amerika Serikat harus menghentikan pertukaran dolar dengan emas.

Presiden Richard Nixon cemas dengan terkurasnya cadangan emas Amerika Serikat jika dolar dibolehkan terus ditukar emas, sedang waktu itu US$34,00 sudah bisa membeli satu ons emas. Presiden Soeharto tidak bisa mengelak dari dampak gebrakan Nixon dan Indonesia mendevaluasi rupiah pada 21 Agustus 1971 dari Rp378 per dolar Amerika Serikat menjadi Rp415 per dolar Amerika serikat atau sebesar 9,78%.

Kedua, pada 15 November 1978. Walaupun Indonesia mendapat rezeki kenaikan harga minyak (windfall profit) akibat perang Arab-Israel pada 1973, Pertamina justru nyaris bangkrut dengan utang US$10 miliar dan memaksa Ibnu Sutowo mengundurkan diri sebagai direktur utama pada 1976.

Pemerintah kemudian melakukan devaluasi rupiah sebesar 33,6% pada 15 November 1978 dari Rp415 per dolar Amerika Serikat menjadi Rp625 per dolar Amerika Serikat.

Ketiga, pada 30 Maret 1983. Pada saat itu pemerintah melalui Menteri Keuangan Radius Prawiro mendevaluasi rupiah sebesar 48%, jadi hampir sama dengan menggunting separuh nilai. Kurs 1 dolar Amerika Serikat naik dari Rp702,50 menjadi Rp970.

Keempat, pada 12 September 1986. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan Radius Prawiro mendevaluasi rupiah sebesar 47% dari Rp1.134 per dolar Amerika Serikat menjadi Rp1.664 per dolar Amerika Serikat. [Baca: Menguntungkan Ekonomi]

 

Advertisement

Menguntungkan Ekonomi
Istilah perang mata uang dapat diartikan sebagai sebuah kondisi internasional ketika setiap negara  bersaing satu dengan yang lain untuk mencapai level nilai tukar mata uang yang rendah yang berpotensi menguntungkan kinerja ekonominya, khususnya ekspor ke luar negeri.

Pelemahan mata uang menyebabkan harga barang dalam negeri di pasar internasional menjadi kompetitif dan sebaliknya harga barang impor di pasar domestik menjadi relatif mahal. Dengan demikian industri dalam negeri menjadi bergairah, lapangan kerja bertambah banyak, dan kinerja ekonomi membaik.

Dampak negatifnya adalah daya beli masyarakat cenderung turun dan fenomena ini biasanya akan diikuti dengan reaksi dari negara lain yang merasa dirugikan dengan cara langsung atau tidak langsung ikut melemahkan mata uangnya juga.

Bagi negara yang menganut sistem nilai tukar tetap bisa dengan mendevaluasikan mata uangnya yang akan dilakukan oleh otoritas moneter. Sementara bagi negara yang menganut sistem nilai tukar mengambang salah satunya dengan cara menambah pasokan jumlah uang yang beredar di masyarakat.

Kebijakan terakhir ini populer dengan sebutan pelonggaran moneter atau quantitative easing (QE). Istilah perang mata uang populer ketika Menteri Keuangan Brazil Guido Mantega menyatakannya pada 27 September 2010.

Dia menyatakan langkah beberapa negara yang secara langsung atau tidak langsung melakukan intervensi di pasar uang asing dengan tujuan melemahkan mata uangnya berpotensi akan direspons balik oleh negara-negara mitra dagangnya.

Di samping QE, bentuk intervensi lain yang bisa dilakukan adalah capital control dan intervensi di pasar valuta asing lewat kebijakan sterilisasi. Pernyataan Mantega didasari kenyataan pada Agustus 2010 perekonomian Amerika serikat mencatat rekor defisit transaksi perdagangan yang luar biasa, terutama terhadap Tiongkok.

Advertisement

Biaya produksi yang tinggi menyebabkan harga jual produk Amerika Serikat di pasar internasional kalah bersaing dengan produk-produk Tiongkok. Permintaan yang tinggi terhadap produk Tiongkok semestinya menyebabkan mata uang yuan menguat.

Saat itu, keadaannya tidak demikian. Pemerintah Tiongkok sepertinya secara sengaja menahan agar yuan tidak menguat. Berbagai diplomasi/tekanan politik dan perdagangan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Tiongkok tidak membuahkan hasil.

Akhirnya Bank Sentral AS (Federal Reserves) merilis kebijakan moneter yang diharapkan menjadi stimulus perekonomian mereka. Langkah tersebut adalah menggelontorkan dana sekitar US$600 miliar untuk membeli obligasi pemerintah.

Pelonggaran moneter ini menyebabkan mata uang dolar Amerika serikat melemah terhadap mata uang utama dunia, seperti euro, poundsterling, dan yen. Perlahan tapi pasti perekonomian Amerika serikat membaik dan mulai 2014 sampai dengan saat ini tanda-tanda pemulihan mulai terlihat.

Di sisi lain, kinerja ekonomi Tiongkok yang terutama ditopang oleh ekspor luar negeri mengalami kemerosotan. Pertumbuhan ekonomi double digit tinggal kenangan. Akhirnya, pemerintah Tiongkok secara mengagetkan mendevaluasi mata uangnya.

Jepang dan India sebagai mitra dagang utama sudah mengancam Tiongkok akan melakukan ”tindakan seperlunya” untuk menahan gempuran produk Tiongkok.

Ada baiknya pemerintah Indonesia bersama otoritas moneter mengantisipasi kemungkinan ini agar tidak timbul guncangan terhadap perekonomian kita. Akhir-akhir ini isu perlambatan ekonomi masih menghantui kita.

Advertisement

Nilai tukar rupiah semakin loyo dan indeks harga saham gabungan (IHSG) juga makin terjerembab. Mata uang kita dan IHSG menjadi salah satu yang berkinerja terburuk jika diukur sejak awal tahun/year to date (ytd).

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia beberapa hari yang lalu memutuskan menahan BI rate, deposit facility, dan lending rate masing-masing di level 7,5%, 4,5%, dan 8%.

Policy ini dapat dibaca sebagai sinyal adanya keinginan bank sentral untuk menjaga kestabilan rupiah, meskipun ada beberapa pihak yang menyarankan agar BI rate diturunkan agar mampu mendorong sektor riil. Meliahat gelagatnya, kemungkinan harapan itu baru dapat terlaksana pada awal tahun depan.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif