Jatim
Senin, 24 Agustus 2015 - 23:05 WIB

MUKTAMAR NU : Ulama Sepuh Tolak Masuk PBNU 2015-2020

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Wakil Rais Aam K.H. Maruf Amin duduk di samping kursi kosong pada Sidang Pleno III Muktamar Ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, Rabu (5/8/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Zabur Karuru)

Muktamar NU di Jombang yang menghasilkan PBNU 2015-2020 ditandai klaim nama pengurus.

Madiunpos.com, SURABAYA — Ulama sepuh K.H. Muchit Muzadi menolak masuk dalam struktur kepengurusan PBNU masa khidmat 2015-2020 yang diumumkan, Sabtu (22/8/2015) lalu. Alasannya jelas, yakni banyaknya pelanggaran yang jauh dari perilaku ahlussunah wal jamaah atau aswaja yang selama dibanggakan sebagai pedoman perilaku nahdliyin.

Advertisement

“Hasil Muktamar Jombang itu banyak pelanggaran yang jauh dari perilaku Aswaja,” kata ulama murid pendiri NU K.H. Hasyim Asy’ari yang dimasukkan sebagai mustasyar PBNU itu dalam siaran pers yang diterima Kantor Berita Antara di Surabaya, Senin (24/8/2015).

Seperti diberitakan Madiunpos.com sebelumnya, Muktamar NU di Jombang itu sempat pecah pada pengujung acara. Muncul dua kelompok yang menggelar muktamar lanjutan di dua tempat berbeda.

Advertisement

Seperti diberitakan Madiunpos.com sebelumnya, Muktamar NU di Jombang itu sempat pecah pada pengujung acara. Muncul dua kelompok yang menggelar muktamar lanjutan di dua tempat berbeda.

Muchit Muzadi menyebut alasan lain penolakannya, yakni struktur kepengurusan PBNU sekarang sudah tidak lagi sesuai Khittah NU. Ada sejumlah politisi dalam posisi kunci kepengurusan yang bisa “mengendalikan” PBNU.

“Nanti, mereka akan kualat [terkena tulah], tapi bukan kualat dengan saya, tapi dengan Mbah Hasyim Asy’ari. Tunggu saja setahun lagi,” kata ulama sepuh NU yang dekat dengan kader-kader muda NU itu.

Advertisement

Ia menyoroti permasalahan utama dalam Muktamar Jombang adalah pemaksaan mekanisme ahlul halli wal aqdi (AHWA) kepada peserta muktamar dalam bentuk keharusan pengisian calon anggota AHWA pada saat registrasi. “AHWA itu kalau memang mau diberlakukan seharusnya diputuskan dalam forum muktamar melalui mekanisme yang benar, bukan diberlakukan sebelum muktamar atau malah menjadi syarat ikut muktamar,” katanya.

Menurut dia, pidato Gus Mus atau K.H. Mustofa Bisri selaku Rais Aam PBNU sewaktu terjadi deadlock saat sidang tata tertib sebenarnya telah memberikan jalan tengah, yakni rais aam dipilih oleh rais syuriah PWNU dan PCNU secara mufakat dan bila tidak sepakat maka dilakukan pemungutan suara sesuai dengan AD/ART.

“Tapi, hal itu tidak dijalankan, karena pemilihan oleh rais syuriah juga tidak dilaksanakan, melainkan oleh panitia yang melakukan pemaksaan mekanisme AHWA dengan cara penentuan sembilan anggota AHWA berdasarkan daftar isian saat pendaftaran, padahal sembilan nama hanya diusulkan oleh sebagian PWNU dan PCNU saat registrasi,” katanya.

Advertisement

Nusron Wahid Dominan
Apalagi, lanjut dia, sistem AHWA pada praktiknya juga tidak hanya melibatkan sembilan anggota, melainkan 11 orang, karena Nusron Wahid dan Saifullah Yusuf mengikuti jalannya sidang AHWA itu dengan cukup dominan, bahkan pengumuman hasil sidang AHWA juga bukan oleh para ulama yang menjadi anggota AHWA.

“AD/ART NU memang bukan kitab suci, sehingga bisa diubah, tetapi perubahan itu pun harus disetujui oleh mayoritas muktamirin (peserta muktamar). Jika disetujui oleh mayoritas muktamirin maka tidak ada masalah,” kata  ulama tasawuf itu.

Atas dasar fakta-fakta itulah, dirinya tidak akan mengakui hasil Muktamar Jombang. “Produk muktamar yang tidak bisa memperbaiki situasi dan kondisi Indonesia maupun dunia tak perlu diakui. Saya punya keyakinan bahwa para almarhum pendiri NU menangis di hadapan Allah SWT melihat perilaku itu,” katanya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif