News
Minggu, 23 Agustus 2015 - 20:00 WIB

FENOMENA GO-JEK : Ramai-Ramai Jadi Tukang Ojek, Mau Juga?

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Adib Muttaqin Asfar/JIBI/Solopos)

Fenomena Go-Jek mendapatkan respons luar biasa besar dari masyarakat yang berburu penghasilan baru.

Solopos.com, SOLO — Teriknya panas matahari dan padatnya lalu-lintas Ibu Kota tak menghalangi niat Welly untuk bertandang ke Hall B Basket Senayan, Jakarta Selatan. Dengan mengenakan kemeja batik berwarna ungu dan celana bahan hitam, pria berusia 33 tahun tersebut tak lupa membawa map berwarna cokelat yang berisi lembaran riwayat hidupnya.

Advertisement

Kedatangan Welly dan ribuan orang lain ke kawasan Senayan Jumat (14/8/2015) siang itu untuk melamar pekerjaan. Lulusan Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sejarah Universitas Indonesia tersebut tak pernah membayangkan dirinya rela mengantre berjam-jam demi mendapatkan pekerjaan baru, yakni pengemudi Go-Jek.

Ayah satu anak itu menuturkan niatnya mengikuti rekrutmen perusahaan aplikasi digital yang menawarkan jasa ojek tersebut tak lain untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Keinginan tersebut timbul lantaran biaya hidup di Jakarta makin lama makin tak masuk akal.

“Saya baca dari berita-berita ada driver Go-Jek yang sukses mengantongi penghasilan sampai Rp10 juta per bulan. Saya penasaran, apa benar bisa dapat sampai segitu? Meski memiliki ijazah S1, saya tak malu jadi tukang ojek asal bisa memberikan istri dan anak saya kehidupan lebih layak,” kata Welly ketika ditemui Bisnis di acara Job Fair Go-Jek di Senayan, Jakarta Selatan Jumat (14/8/2015).

Advertisement

Niat untuk memperbaiki kondisi ekonomi juga menjadi alasan Sulasih melamar sebagai driver Go-Jek. Perempuan asal Lampung yang kini bekerja sebagai buruh konveksi tersebut rela mendobrak stigma sosial yang melekat di tubuh kaum hawa, yaitu menjadi tukang ojek.

Semua itu dilakukan Sulasih demi menghidupi dirinya dan dua anaknya yang saat ini bersekolah di bangku SMA dan SD. “Semua keluarga saya ada di Lampung. Sepuluh tahun di Jakarta, saya sendirian jadi tulang punggung keluarga,” paparnya.

Selain membutuhkan ketahanan fisik, pekerjaan ngojek juga berisiko bagi perempuan karena tingginya tingkat kecelakaan dan kekerasan di jalan raya. Meski begitu, perempuan yang akrab disapa Asih ini tetap membulatkan tekad untuk mendaftar sebagai driver Go-Jek.

“Saya gak takut ngojek karena perusahaan memberikan asuransi untuk menjamin keselamatan. Selain itu, kami diberikan handphone yang ada GPS-nya sehingga kantor bisa tahu keberadaan saya ketika terjadi hal-hal yang tak diinginkan,” ungkap Asih.

Advertisement

Pemikiran untuk memperbaiki kondisi perekonomian dengan menjadi tukang ojek tak hanya dilakukan oleh Welly dan Asih, tetapi ribuan warga Ibu Kota dan Sekitarnya. Booming ojek berbasis aplikasi di beberapa kota besar di Indonesia saat ini tak pelak mengubah persepsi masyarakat akan ojek.

Siapa sangka, tukang ojek yang dulunya dipandang sebagai pekerjaan tak bonafid kini berubah menjadi ladang usaha yang menawarkan besaran gaji cukup menggiurkan. CEO Go-Jek Nadiem Makarim mengatakan perekrutan pengemudi Go-Jek secara massa ini dilakukan lantaran besarnya antusiasme masyarakat yang ingin mendaftar sebagai pengemudi Go-Jek.

Selain itu, dia menuturkan saat ini jumlah masyarakat yang menggunakan jasa Go-Jek terus bertambah. Berdasarkan pemantauan Nadiem, jumlah pengguna Android dan iOS yang mengunggah aplikasi Go-Jek telah melampaui 2 juta unduhan.

Berangkat dari data tersebut, Nadiem merasa armada dan jumlah pengendara yang saat ini beroperasi tak mampu memenuhi semua pesanan konsumen. “Banyak konsumen mengeluhkan susahnya dapat Go-Jek dalam beberapa pekan terakhir. Padahal, total pengemudi Go-Jek saat ini sudah mencapai 35.000 orang. Ini artinya ada back log pengemudi, makanya kami membuka lowongan besar-besaran bagi warga yang berminat jadi driver Go-Jek” ujar lulusan Harvard, Amerika Serikat ini.

Advertisement

Dia menilai besarnya antusiasme warga untuk menjadi pengemudi Go-Jek lantaran saat ini sektor formal di Indonesia tengah mengalami penurunan drastis. Hal ini terlihat dari banyaknya perusahaan yang gulung tikar sehingga harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah pengangguran yang masih berusia aktif pun bertambah.

Di tengah perlambatan ekonomi, Nadiem menawarkan solusi bagi warga untuk bekerja sama dengan Go-Jek. Berbeda dengan pekerjaan formal yang menuntut pola kerja teratur, pengemudi Go-Jek justru bisa mengatur ritme kerja sesuai kondisi dan target yang ingin dicapai.

“Kami menawarkan sistem bagi hasil, yaitu 80-20. 80% masuk ke kantong pengojek, sementara 20% disetorkan ke perusahaan. Go-Jek juga memberikan perlengkapan berupa helm, jaket, smartphone Android, dan asuransi untuk pengemudi,” paparnya.

Selain menguntungkan driver, Nadiem mengatakan konsep aplikasi Go-Jek buatannya juga memberikan solusi bagi para pengguna. Menurutnya, saat ini masyarakat Jakarta dan beberapa kota besar lainnya belum mendapatkan akses transportasi massal yang aman dan nyaman.

Advertisement

Dia juga mengklaim keberadaan Go-Jek mampu menekan jumlah kendaraan pribadi yang lalu-lalang di jalanan. Kemacetan ruas jalan Ibu Kota yang semakin tak terkontrol membuat warga kelas menengah atas kian enggan membawa kendaraan pribadi untuk beraktivitas di luar rumah.

“Saya bisa bilang ini life style baru. Kalangan menengah atas mau pakai Go-Jek karena bisa menembus kemacetan. Meski agak berpanas-panas sedikit, mereka rela naik Go-Jek karena jelas identitas pengojek yang mengantar mereka,” paarnya.

Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan fenomena banyaknya masyarakat yang mendaftar menjadi tukang ojek berbasis aplikasi tak lepas dari besarnya komisi yang didapat. Dia mencontohkan, Go-Jek menawarkan sistem bagi hasil dengan porsi 80%-20% dimana persentase terbesar dikantongi oleh pengojek. Sementara itu, Grab Bike justru menawarkan pendapatan dengan pola 90%-10%.

“Misalnya, pengemudi ojek aplikasi bisa dapat Rp30ribu untuk sekali jalan. Hitunglah, per hari dia bisa angkut 10 orang. Berarti pendapatannya berkisar Rp240ribu-Rp270ribu. Kalikan 25 hari kerja saja bisa kantongi Rp6juta sebulan,” ujarnya.

Selain besarnya penghasilan yang didapat, Yayat mengatakan keberadaan Go-Jek dan Grab Bike bisa membantu para tukang ojek untuk mengerti soal penggunaan aplikasi digital sekaligus mengajarkan mereka untuk menabung. Pasalnya, dengan sistem non-tunai yang ditawarkan Go-Jek dan Grab Bike, tukang ojek biasanya menunggu uang mereka terkumpul dalam jumlah tertentu hingga bisa diambil kembali.

Sayangnya, Yayat mengatakan booming ojek berbasis aplikasi digital tak dibarengi dengan kesigapan pemerintah untuk membuat sistem baru. Meski memiliki potensi untuk berkembang dan diikuti oleh pelaku usaha lain, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Dinas Perhubungan Daerah terkesan belum bergerak cepat menghadapi perubahan zaman.

Advertisement

Dia memaparkan saat ini yang dibutuhkan oleh pengusaha dan pengemudi ojek aplikasi adalah payung hukum yang jelas.

“Jika dilihat dari kacamata hukum mereka memang melanggar aturan, tetapi perlu diingat bahwa masyarakat membutuhkan ojek aplikasi karena pemerintah belum bisa menyiapkan transportasi umum yang memadai. Ini sekaligus kritik untuk pemerintah agar mempercepat pembangunan,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif