Kolom
Selasa, 18 Agustus 2015 - 09:30 WIB

MIMBAR MAHASISWA : Pers dan Kemerdekaan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bahtiar Rizal Ainunnidhom (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar Mahasiswa, Selasa (18/8/2015), ditulis Bahtiar Rizal Ainunnidhom. Penulis adalah mahasiswa Ilmu Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Bersamaan dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 1908 ada sosok berpengaruh di balik kegemilangan Boedi Oetomo. Tokoh itu adalah R.M. Tirto Adhi Soerjo, pernah jadi mahasiswa STOVIA yang kini mendapatkan gelar Bapak Pers Nasional.

Advertisement

Ia pernah memimpin koran Medan Prijaji yang dikenal sebagai pelopor pers nasional. Sesuai dengan namanya, Medan Prijaji berbahasa Melayu (baca: bahasa Indonesia) dan merupakan pelantun suara golongan priayi pada waktu itu.

Tirto dengan ketajaman penanya menggunakan surat kabar sebagai alat membentuk pendapat publik. Kala itu Medan Prijaji menyediakan ruang khusus untuk Boedi Oetomo guna mempropagandakan program-programnya. Ini diungkapkan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Sang Pemula.

Advertisement

Tirto dengan ketajaman penanya menggunakan surat kabar sebagai alat membentuk pendapat publik. Kala itu Medan Prijaji menyediakan ruang khusus untuk Boedi Oetomo guna mempropagandakan program-programnya. Ini diungkapkan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Sang Pemula.

Kepopuleran Boedi Oetomo juga tidak lepas dari peran Douwes Dekker, penulis asal Belanda yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli. Melalui pemikiran-pemikirannya yang dituangkan dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, sebagimana diparkan dalam buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (2002), Douwes Dekker beranggapan pers berbahasa Melayu lebih penting daripada pers berbahasa Belanda.

Doowes Dekker mengatakan bahasa Melayu dapat bersentuhan langsung dengan penduduk bumiputra. Medan Prijaji  hanya bertahan lima tahun dan dalam masa kejayaan antara 1910-1912 itu mencapai tiras hingga 2.000 eksemplar, tiras yang cukup fantastis pada masa itu.

Advertisement

Sumbangsih pers terhadap pergerakan nasional di akhir pemerintahan Hindia Belanda semakin tampak jelas. Melalui pers dapat dipahami adanya pemikiran-pemikiran hebat orang Indonesia pada waktu itu.

Ketika pemerintahan Hindia Belanda berakhir dan digantikan kedatangan Jepang pada 1940, semua pers berada di bawah pengawasan pemerintahan militer Jepang dan dipergunakan sebagai alat propaganda perang Jepang melawan Sekutu.

Ketika Jepang kalah perang dan bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pers kemudian menjadi pendukung kemerdekaan. Pers menjadi saksi kemerdekaan Indonesia. Pada usia ke-70 ini bangsa Indonesia telah mengalami sejarah yang berdampak pada krisis moral pers.

Advertisement

Setelah kemerdekaan hingga saat ini pers diharapkan mampu mengisi kekosongan semangat kebangsaan. Saat ini bukan lagi penjajah dalam wujud tentara bangsa lain yang dihadapi. Di era globalisasi dengan persoalan yang begitu kompleks, negeri ini menghadapi tantangan cukup berat untuk merah masa depan yang lebih baik.

Tugas pers tidak sebatas memberi informasi tentang peristiwa-peristiwa terkini, melainkan juga ikut serta dalam pembangunan bangsa, mengawal setiap kebijakan pemerintah yang menyangkut kemaslahatan bersama. Pers harus bersikap independen, menyampaikan informasi secara akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.

Tentu masih segar dalam ingatan kita pada pemilihan presiden tahun lalu. Betapa hebohnya media saling sikut untuk mendukung dan memenangkan kandidat presiden. Selain melanggar kredo jurnalisme hal itu juga dapat mengganggu prinsip-prinsip media sebagai ruang publik yang semestinya bebas dari bentuk-bentuk politisasi dan penyalahgunaan. [Baca: Faktualitas dan Imparsialitas]

Advertisement

 

Faktualitas dan Imparsialitas
Dalam jurnalisme terdapat prinsip independensi yang wajib dipegang teguh. Jika ingin menjadi media yang baik, prinsip itu harus dijalankan. Westertahl menyatakan kegiatan penting jurnalisme antara lain mengungkapkan peristiwa secara objektif.

Pengungkapan peristiwa secara objektif terdiri atas dua dimensi. Pertama, faktualitas yang terdiri atas kebenaran, meliputi kelengkapan dalam pemberitaan, akurat, cermat, dan memiliki nilai berita. Kedua, imparsialitas yang mengacu pada praktik jurnalistik yang mengedepankan balance (keseimbangan) dan neutral presentation (netralitas).

Media yang mengemas pemberitaan suatu peristiwa dengan pendekatan bad news is good news karena hanya berorientasi mengejar sensasi memosisikan media hanya mengejar aspek komersial. Sosiolog media John H. Macmanus dalam bukunya Market Driven Journalism (1994) menyatakan media telah terbelunggu dorongan logika komersial semata.

Dalam laku demikian aspek dramatis yang berujung sensasional dianggap lebih menjual, menaikkan rating, dan pada akhirnya mampu mendatangkan iklan. Terdapat beberapa pihak yang beranggapan media tidak bisa independen. Pendapat tersebut tentu sah dalam konteks tertentu, semisal propaganda.

Medan Prijaji pada masanya memang ditunggangi kepentingan, kepentingan untuk kemerdekaan Indonesia. Menjelang pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember 2015, pers jelas memegang peran penting. Indepensi dan netralitas pers harus dipegang teguh. Semua harus dipandang secara objektif dan menjadi sajian bergizi bagi publik.

Pasal 58 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 7/2015, menyatakan media massa  cetak,  media  massa elektronik,  dan  lembaga penyiaran  dilarang menayangkan iklan kampanye pemilihan kepala daerah secara komersial selain yang difasilitasi KPU sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 32  ayat (1).

Media akan diuji dalam pilkada serentak mendatang, menjadi ruang publik yang memerdekakan masyarakat atau jadi media partisan yang berarti menggadaikan ”kemerdekaan pers” dan memberi masyarakat sajian berita yang tak berkualitas karena tak independen.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif