Kolom Jogja
Senin, 17 Agustus 2015 - 00:20 WIB

ANGKRINGAN PAKDHE HARJO : Jangan Jadi Negara Tanpa Bangsa

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Redaktur Pelaksana Harian Jogja, Amiruddin Zuhri (JIBI/Harian Jogja/dok)

Angkringan pakdhe harjo kali ini ditulis oleh Redaktur Pelaksana, Harian Jogja, Amiruddin Zuhri

Bisnis.com, JOGJA-Angkringan pakdhe harjo kali ini mengenai makna kemerdekaan RI.

Advertisement

“Malem Senin aku tidak jualan ya, Le,” ujar Pakdhe Harjo seperti memberi pengumuman kepada pengunjung angkringannya. Suto dan Noyo yang hadir malam itu di tempat itu menanggapi dengan reaksi biasa-biasa saja.

“Lha mau ngapain kok tidak buka itu Dhe. Mau ikut tirakatan?” akhirnya Suto bertanya juga sambil meletakkan gelas berisi teh yang yang baru saja dia teguk .

Advertisement

“Lha mau ngapain kok tidak buka itu Dhe. Mau ikut tirakatan?” akhirnya Suto bertanya juga sambil meletakkan gelas berisi teh yang yang baru saja dia teguk .

“Ya begitulah,” sambil membenarkan peci hitam yang sudah lumayan pudar warnanya, Pakdhe Harjo menjawab singkat. “Masa yang lain tirakatan aku buka angkringan. Ndak dikira tidak menghargai peringatan kemerdekaan. Lagian aku juga butuh srawung sama tetangga ta, Le.”

“Sebenarnya kalau sekadar tirakatan juga bisa dilakukan sambil jualan Dhe,” sambil mengambil sebungkus kacang godog, Suto berkata. “Wong kerap terjadi tirakatan itu isinya juga cuma ngobrol bahkan main kertu remi,” lanjutnya.

Advertisement

“Sudah 70 tahun ya kita ini jadi bangsa merdeka,” bukannya melanjutkan pembicaraan soal tirakatan, Suto sedikit membelokkan arah pembicaraan. “Eee…semoga setelah umur 70 tahun kahanan semakin membaik. Hidup rakyatnya semakin sejahtera, gampang golek sandang pangan, sehat, reregan juga tidak naik terus, lak ya begitu ta, No?”
“Mestinya begitu,” jawab Noyo sambil membuang bungkus kacang yang sudah habis dia makan sambil melanjutkan perkataannya. “Kita ini rakyat kecil ya harapannya cuma sederhana seperti itu. Meski untuk mencapainya juga tidak mudah. Malah kadang-kadang semakin berat. Tetapi ya piye meneh. Kita ini kan bisanya cuma menerima dan menjalani nasib,” lanjut laki-laki yang kesehariannya ngayuh becak tersebut.

Pakdhe Harjo cuma tersenyum kecil mendengar perkataan Noyo sebelum kemudian berujar,”Tetapi ulang tahun kemerdekaan kali ini menurutku malah istimewa lho Le.”
“Istimewanya di mana?” tanya Suto
“Istimewa apanya?” sambung Noyo. “Menurutku ya biasa-biasa saja. Orang-orang ngibarkan bendera dan umbul-umbul, lomba-lomba, tirakatan, terus nanti upacara. Tiap tahun kan begitu,” lanjutnya.

“Bukan itu maksudku,” ujar Pakdhe Suta sambil memandang Noyo dan melanjutkan kalimatnya,”Sekarang ini sudah hampir tidak ada orang yang merasakan jaman sebelum kemerdekaan,” sambungnya. Suto dan Noyo terdiam belum menangkap maksud orang tua di depannya itu.
“Makdute piye kuwi?” Suto yang bertanya.

Advertisement

“Sekarang dipikir,” Pakdhe Harjo menggeser duduknya sedikit ke kanan sebelum melanjutkan pembicaraannya,”Orang yang merasakan jaman penjajahan berarti umurnya harus lebih tua dari 70 tahun. Yaa paling tidak 80 tahun. Dan tidak banyak orang Indonesia yang bisa berumur sampai segitu. Ada, tetapi tidak banyak. Itu artinya, generasi yang pernah merasakan penjajahan atau berjuang merebut kemerdekaan itu sudah hampir habis,” katanya.
“Paham maksudku?” lanjut Pakdhe Harjo ketika melihat kedua orang yang ada di depannya hanya diam.
“Tetapi kan itu masih ada simbah-simbah veteran itu to Dhe,” kata Suta, “Mereka kan juga saksi sejarah.”
“Iya. Aku bilang mungkin masih ada. Tetapi aku yakin sekarang ini semakin sedikit dan akan segera habis. Negara kita akan kehilangan generasi yang benar-benar merasakan jaman penjajahan dan jaman kemerdekaan,” ujar Pakdhe Harjo.
“Terus istimewanya di mana? ya wajar kan, orang pasti mati. Di mana-mana juga seperti itu,” sergah Suto.
“Ya artinya, setelah ini maka seluruh orang Indonesia akan lahir, besar dan mati dalam negara yang merdeka. Dia tidak pernah merasakan susahnya hidup di negara yang dijajah. Dan bahayanya, orang yang hidup dalam situasi seperti itu kemudian menganggap kemerdekaan itu hal yang biasa dan tidak perlu dihargai. Namanya juga sudah biasa. Begitu, paham?”

Suto dan Noyo manggut-manggut tanda mulai mengerti apa yang dimaksud Pakdhe Harjo. “Tetapi kan ada catatan sejarah Dhe yang bisa digunakan orang untuk mengingat tentang beratnya mencapai kemerdekaan itu. Sehingga generasi mendatang akan tetap menghargai kemerdekaan negaranya,” kali ini Suto yang berkata.

“Bener itu. Dan itu yang menjadi tantangan terbesar. Mau tidak anak-anak kita belajar tentang sejarahnya sendiri atau lebih suka belajar sejarah orang lain. Mau tidak sekolah mengajarkan sejarah dengan lebih serius . Atau tetap hanya sekadar menghapal tokoh tanggal dan tahun saja. Mau tidak televisi dan media itu membuat acara yang terus mengingatkan pada sejarah dan membangun rasa bangga pada bangsa sendiri atau lebih suka menayangkan budaya negara lain?” sejenak Pakdhe Harjo terdiam.

Advertisement

“Kayake kok gak pada mau,” guman Suto. “Anakku itu kalau pelajaran sejarah cuma menghapal Perang Diponegoro terjadi pada tahun sekian sampai sekian. Markasnya di sini dan di sini, ditangkap di Magelang, dibuang ke Makassar. Sudah begitu saja itu. Malah sejarah itu dianggap tidak penting. Nyatanya justru tidak masuk ke ujian nasional.”

“Sekarang seni dan tradisi juga makin langka di televisi dan media. Pilih menayangkan budaya orang lain. Akhirnya anak-anak muda juga lebih suka budaya orang lain daripada budaya sendiri. Ketoprak hampir mati, tidak pernah nonton wayang, ludruk makin tidak disuka,” timpal Noyo.

“Nah itu yang aku khawatirkan. Padahal itulah Indonesia,” sergap Pakdhe Harjo. “Semakin ke sini, Indonesia itu semakin tidak dikenal oleh rakyatnya sendiri. Kalau seperti ini terus-terusan maka nantinya Indonesia itu hanya akan menjadi negara tanpa bangsa. Negaranya ada tetapi rakyatnya lebih berjiwa negara lain. Lebih suka cara negara lain. Lebih suka berbudaya cara lain. Bersikap seperti orang lain. Sementara yang asli Indonesia telah tidak ada. Dan kalau sudah begitu jangan berharap Indonesia menjadi negara hebat. Dan itu sejarah sudah membuktikan itu. Negara-negara yang dulu lemah tetapi memegang teguh jati dirinya dia akan menjadi negara besar.”
“Contone?” tanya Suto.
“Lihat saja India, merdekanya duluan kita, tetapi sekarang menjadi negara yang mulai disegani. Bisa bikin mobil sendiri, pesawat sendiri, sudah ngirim pesawat ke mars segala katanya. Karena mereka teguh dengan ajaran kemandirian Gandhi. Teguh memegang tradisi. Bahkan dalam hal berpakaianpun India masih teguh dengan gayanya. Itu juga bisa dilihat di China, Jepang, Vietnam. Mereka maju karena teguh memegang nilai dan tradisi sendiri tetapi tetap tidak anti dengan nilai lain. Nah, kalau Indonesia tidak seperti itu, ya susah untuk menjadi negara besar. Dan itu harus diawali dengan tidak pernah melupakan sejarah,” tegas Pakdhe Harjo.

Suto dan Noyo cuma terdiam mendengarkan kuliah dari pemilik angkringan yang lumayan jlimet itu. Tetapi dalam hatinya, mereka manggut-manggut tanda setuju. Dan seperti biasa, obrolan itupun berakhir tanpa solusi atau kesimpulan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif