Kolom
Sabtu, 15 Agustus 2015 - 17:30 WIB

GAGASAN : ”Untung” di Alam Kemerdekaan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tundjung W. Sutirto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (15/8/2015), ditulis Tundjung W. Sutirto. Penulis adalah pemerhati budaya dan dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Apa yang dapat kita katakan dengan kata ”untung” pada saat kemerdekaan Indonesia mencapai  70 tahun? Tidak lain yaitu untung Indonesia masih ada. Untung Indonesia masih berdiri. Untung bangsa Nusantara ini masih bersama dalam negara kesatuan.

Advertisement

Selain itu, untung republik ini masih punya presiden. Kita pun masih bisa mengatakan untung bisa hidup walaupun seadanya di saat ekonomi melemah, nilai tukar rupiah menyerah. Mengapa perlu mengatakan ”untung”?

Fakta sejatinya negara dan bangsa ini sudah kehilangan martabat, kewibawaan, dan harga diri. Negara ini sudah tidak lagi menjadi berkah melainkan menjadi beban bangsa.

Bukankah dahulu negara ini didirikan untuk pencerahan bagi segenap bangsa dari penindasan kolonialisme, imperialisme, fasisme, dan kapitalisme? Untung Indonesia masih ada meskipun kehilangan api kemerdekaan.

Advertisement

Merdeka itu artinya bermartabat. Jika negara ini masih punya martabat, seharusnya punya matra yang jadi ukuran kapan kita ini tersinggung, terhina, dan terzalimi.

Masihkan negara ini punya harga diri dan tersinggung melihat para tenaga kerja Indonesia (TKI) diusir-usir oleh negara tetangga yang dahulu pernah kita ganyang itu?

Masihkan negara ini punya harga diri ketika TKI kita di negeri orang banyak mengalami pelecehan dan kekerasan? Di mana martabat kedaulatan itu ketika atas nama investasi kita mengundang modal asing disertai dengan perencanaannya, infrastrukturnya, sekaligus tenaga kerjanya secara besar-besaran?

Coba saja cermati dengan saksama negara dan bangsa mana yang berinvestasi di sektor keamanan, politik, ekonomi, dan perdagangan, serta humaniora di Indonesia saat ini ?

Advertisement

Fakta investasi yang dilakukan secara paripurna tersebut membahayakan kedaulatan dan martabat negara. Kita saat ini tidak berani dengan lantang mengulang kata-kata Bung Karno dahulu ”ini dadaku, mana dadamu” yang diserukan kepada Malaysia pada 1963.

Kata-kata yang menggelegar yang menjadikan negara-negara takut kepada Indonesia. Bukan kata-kata sombong atau congkak tetapi kata-kata yang menunjukkan betapa martabat, kewibawaan, dan harga diri sebagai negara merdeka adalah harga mati.

Di mana martabat kita sebagai negara yang merdeka ketika pemimpin kita tidak merasa malu lagi menengadahkan tangannya kepada negara-negara donor untuk utang?

Nilai utang luar negeri kita per April 2015 adalah Rp4.003 triliun. Masihkah kita berani dan lantang mengatakan ”ini dadaku, mana dadamu”?

Advertisement

Masihkah kita berdaulat penuh dengan segenap martabat ketika industri perkebunan kelapa sawit Indonesia dikuasai tujuh negara dan yang paling utama adalah Malaysia?

Perusahaan Malaysia Guthrie Berhad menguasai perkebunan sawit di Aceh, Riau, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah. Perusahaan Malaysia yang lain menguasai perkebunan di Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.

Penguasaan sumber daya alam oleh dominasi negara asing sama saja dengan menggadaikan kemerdekaan itu sendiri.  Pastilah kita akan takut berseru seperti  Bung Karno dengan kata-kata go to hell with your aid kepada negara-negara kapitalis.

Coba saja simak siapa pemilik saham perusahaan air minum dalam kemasan yang menjadi brand di Indonesia saat ini? Ternyata perusahaan air minum dalam kemasan yang dipromosikan sebagai air yang paling jernih itu 75% sahamnya dimiliki Danone, Prancis.

Advertisement

Itu artinya  kita tidak sadar di negara yang berdaulat ini harus minum air dari bumi kita tetapi harus membayar kepada negara asing. [Baca: Daya Tawar]

 

Daya Tawar
Ketika kita harus mandi, keramas, dan sikat gigi ternyata sabun, sampo dan pasta gigi yang kita pakai itu buatan perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai Unilever, Inggris.

Begitu juga ketika anak-anak dan bayi harus meminum susu formula yang instan ternyata diproduk perusahaan yang sahamnya dimiliki Numico, Belanda. Susu kental manis yang dahulu dikenal dengan sebutan susu ”Tjap Nona” adalah produk perusahaan Nestle yang berpusat di Swiss.

Semakin tidak bermartabat lagi ketika seorang pemimpin negeri ini dahulu diagung-agungkan sebagai simbol kebangkitan produk mobil nasional ternyata ketika sudah berada di puncak kekuasaan justru ke lain hati dengan memilih perusahaan otomotif Proton milik Malaysia.

Mobil Esemka tinggal kenangan dan menjadi simbol belaka karena tidak ada regulasi yang dibuat untuk memartabatkan Esemka di negeri sendiri. Esemka adalah upacara dan tidak menjadi tatacara.

Advertisement

Apakah martabat dan kewibawaan serta kedaulatan negara ini hanya disimbolkan dengan membunuh warga negara asing berstatus narapidana narkoba dan menenggelamkan perahu-perahu asing pencuri ikan di laut kita?

Faktanya kebutuhan hidup sehari-hari kita diproduksi oleh kapitalis asing dari perusahaan di hulu sampai hilir. Kita sebagai bangsa yang 70 tahun merdeka dari penjajahan  bangsa asing ini benar-benar terjajah secara ekonomi yang berakibat pula terjajah secara politik karena bukan lagi berhadapan di medan perang fisik tetapi perang di medan struktur dan suprastruktur.

Artinya jika benar kita berdaulat dan bermartabat secara politik, ekonomi, budaya, dan pertahanan maka regulasi, kebijakan, dan konsepsi negara terhadap warga negaranya harus berdaya tawar yang tinggi terhadap negara lain.

Faktanya, saat ini banyak regulasi dan kebijakan yang hampir tidak punya daya tawar sama sekali. Coba saja cermati bagaimana pasal-pasal dalam Undang-Undang Pelayaran yang diberlakukan negara kita.  Apakah undang-undang itu benar-benar menguntungkan perusahaan pelayaran asing atau perusahaan pelayaran milik Indonesia ?

Kita patut bertanya di usia 70 tahun ini apa yang telah dan harus kita perbuat untuk mengembalikan muruah sebagai bangsa dan negara? Jangan sampai ada lagi pelecehan terhadap martabat kita seperti helikopter Malaysia blusukan ke wilayah Indonesia lantas kita tidak bisa berbuat apa-apa karena kita terlena blusukan sendiri ke pasar-pasar.

Ada baiknya kita lantang mengulang kata-kata Bung Karno ”ini dadaku, mana dadamu” agar kita benar-benar bermartabat sebagai bangsa dan negara. Dirgahayu kemerdekaan Indonesia…

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif