Kolom
Sabtu, 15 Agustus 2015 - 08:00 WIB

GAGASAN : Perayaan Kemerdekaan dan Kohesi Sosial

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (13/8/2015), ditulis Aris Setiawan. Penulis adalah pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.

Solopos.com, SOLO — Kita telah memasuki bulan Agustus. Bulan ini bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan ke-70, tepatnya pada tanggal 17. Berbagai kegiatan sebagai wujud perayaan dan selebrasi dinamakan dengan ”17-an”.

Advertisement

Tentu saja merayakan hari kemerdekaan tak perlu dengan tangis dan haru. Semangat hari kemerdekaan Indonesia tahun ini diisi dengan pelbagai perlombaan dan kegiatan.

Dari lorong desa hingga penjuru kota diwarnai adegan-adegan lomba panjat pinang, balap karung, tarik tambang, joget, memasukkan paku ke dalam botol, makan kerupuk, dan lain sebagainya.

Gapura-gapura kampung atau desa dicat ulang, umbul-umbul dan bendera merah putih dikibarkan, tembok-tembok diwarnai dengan gambar pahlawan atau tulisan bertema perjuangan dan kemerdekaan.

Advertisement

Gang-gang kampung ramai oleh lalu-lalang anak-anak yang menghias sepeda onthel mereka dengan kertas berwana merah putih. Bambu runcing menjadi senjata yang dipamerkan sambil berucap kalimat bernada nasionalisme.

Selebrasi hari kemerdekaan menjadi oase yang menyejukkan. Selebrasi yang berisi kemeriahan dan kebahagiaan. Selebrasi yang sejenak menjadi pelepas dahaga dan pelipur lara masyarakat di balik hiruk-pikuk impitan ekonomi serta ketidakjelasan politik dan hukum di negeri ini. [Baca: Lomba]

 

Lomba
Sebagaimana lazimnya, pelombaan biasa digelar dengan tujuan kompetisi untuk saling mengalahkan dan merebut kemenangan. Peserta dipersiapkan matang dengan berlatih serius dan intensif untuk menjadi nomor satu atau yang terdepan.

Advertisement

Ada yang berbeda dalam lomba ”17-an”. Lomba di momen ini tidak dimaksudkan untuk mencari siapa yang menang dan kalah. Lomba-lomba pada Agustus sepenuhnya hanya diisi dengan canda tawa dan suka cita.

Tak ada tangis atau luka karena kalah dan terlalu jemawa karena menang dalam semua lomba ”17-an”. Zaman boleh berubah, namun lomba-lomba tersebut tetap hadir setiap tahun. Lomba ”17-an” tak hanya berisi kisah tentang pesta kemerdekaan, namun juga komunikasi dan kohesi sosial.

Anak-anak yang selama ini larut dalam gadget dan game online di kamar mereka kemudian keluar rumah untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebanya. Mereka menemukan ulang arti kebersamaan yang dewasa ini semakin hilang.

Mereka mencoba memaknai kembali arti toleransi, berbagi, silaturahmi, dan kerja sama. Dengan saling menentukan peran, anak-anak itu bahu-membahu berusaha memenangi setiap perlombaan.

Advertisement

Di sekeliling mereka, para penonton dan orang tua menyoraki tanpa lelah. Kejadian-kejadian lucu tak dapat terelakkan. Kadang jatuh, salah arah, atau muka belepotan cat adalah pemandangan yang mengundang tawa. Hari kemerdekaan menjadi pesta bagi anak-anak Indonesia.

Lebih penting lagi, anak-anak diperkenalkan kembali dengan permainan-permainan tradisional yang selama ini mengalami bangkrut eksistensi. Permainan itu menuntut fisik, keringat, tenaga, serta tubuh, tidak semata otak dan strategi.

Mereka harus banyak bergerak. Di momen ”17-an” permainan itu laku dan menjadi pemikat tersendiri. Pemenang tidak memperoleh hadiah muluk atau mewah. Hadiahnya sederhana. Kadang berupa buku tulis, permen dan coklat.

Itu tak jadi soal, yang terpenting adalah kebersamaan dan keikutsertaan dalam memeriahkan peringatan hari kemerdekaan. Setiap kampung melangsungkan pesta secara mandiri, dibiayai dari urunan semua warga.

Advertisement

Ini mempresentasikan keguyuban dan kerukunan sosial. Lomba-lomba digelar dengan misi luhur. Lomba itu tak semata-mata bermakna keriangan dan kebahagiaan, namun ada misi tentang perjuangan dan ketangkasan.

Hampir semua lomba ”17-an” menguras fisik dan energi tubuh. Ini menegaskan sesuatu harus diraih dengan pengorbanan dan laku serius. Panjat pinang, misalnya, membutuhkan kerja sama yang intensif, tak mudah menyerah untuk meraih hadiah (tujuan).

Mahal dan murahnya hadiah bukanlah hal penting. Hal utama adalah nilai-nilai kemanusiaan dan kerja sama itu dapat diwacanakan kembali. Inilah misi yang hendak ditekankan. Sejenak kemudian kita ikut merasakan bagaimana berharganya kemerdekaan yang telah diraih bangsa ini. [Baca: Ekspresi Kejujuran]

 

Ekspresi Kejujuran
Tembok dan gapura dilukis ulang dengan pelbagai kata dan karikatur. Bisa jadi itulah ”karya seni” masyarakat akar rumput yang paling jujur, netral, dan tanpa tendensi. Mereka tidak terkontaminasi kepentingan politis apa pun.

Wajah kampung menjadi semakin indah dan ramai. Lomba kebersihan dan keunikan menghias kampung juga digelar. Puncaknya di malam sebelum 17 Agustus, warga melangsungkan tradisi tirakatan, yakni tidak tidur hingga tengah malam.

Advertisement

Mereka berkumpul, membuat tumpeng untuk dimakan bersama, saling bertukar pengalaman dan berdoa. Doa bukan semata-mata demi keselamatan mereka serta bumi Indonesia, namun juga untuk para pejuang yang telah memerdekakan negeri ini.

Sering kali mereka memutar film-film perjuangan tempo dulu. Mereka berkehendak merasakan betapa berat dan susahnya merebut kemerdekaan negeri ini. Perayaan “17-an” menjadi momen penting untuk menelisik kembali tentang arti penting masa lalu.

Di ruang itu tak ada sekat perbedaan agama, golongan, dan suku. Perayaan hari kemerdekaan mampu menyatukan semua lapisan masyarakat. Perayaan ”17-an” dapat menjadi model upaya menepis sikap dan arogansi diri atas nama suku, agama, rasa, dan antargolongan (SARA).

Bendera merah putih yang dikibarkan di bulan ini adalah simbol sejatinya kita satu nusa, bangsa, dan bahasa. Sayangnya, nilai positif itu sering kali hanya muncul di bulan Agustus atau ”17-an”, setelah itu kita kembali ke aktivitas masing-masing dan melupakannya.

Rumah-rumah semakin berpagar tinggi menjulang, membatasi wilayah antara luar dan dalam, kamu dan aku, asing dan tidak. Lingkungan seolah tak lagi aman dan nyaman.

Menyendiri adalah jalan keluar yang dianggap penting. Semakin menebalkan rasa individualisme. Anak-anak kembali nyaman di dalam rumah dengan banyak perangkat teknologi yang memanjakan.

Kita juga sering dimanjakan dengan slogan-slogan pemerintah saat perayaan kemerdekaan. Kewajiban saat upacara diisi dengan seremoni pembacaan pidato yang seragam dari pusat. Pesan yang disampaikan kadang terlalu muluk dan hiperbolis.

Rutinitas upacara dan mendengarkan pidato terasa begitu formal dan justru sering kali menjemukan. Pesan dan nilai-nilai yang hendak diungkapkan justru dapat dengan lentur kita jumpai dalam hubungan komunikasi dan kohesi sosial di masyarakat saat menyambut hari kemerdekaan dalam balutan tema ”17-an”.

Banyak nilai yang dapat dipetik dan menjadi ruang kontemplasi bagi terbentuknya pribadi dan karakter diri yang tangguh. Hal-hal yang terlihat sederhana, seperti perlombaan, menghias gapura, memasang umbul-umbul, tirakatan justru menjadi salah satu ekspresi penghargaan atas kemerdekaan yang jujur dan tak bertendensi pamrih berlebih.

Dengan demikian semarak perayaan kemerdekaan patut disyukuri sebagai sebuah berkah dan keteladanan hidup berbangsa, bernegara, sekaligus berkemanusiaan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif