Kolom
Selasa, 11 Agustus 2015 - 10:30 WIB

GAGASAN : Pasal Penghinaan terhadap Presiden

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Gunoto Saparie (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (11/8/2015), ditulis Gunoto Saparie. Penulis adalah fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah.

Solopos.com, SOLO — Kita ingat pada 4 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Advertisement

Permohonan judicial review itu diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

Baru-baru ini publik negeri ini dibikin terkejut ketika pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasal tersebut kembali mengemuka, tercantum dalam draf rancangan undang-undang (RUU) KUHP, dan telah diajukan kepada Komisi III DPR melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly.

Kendati demikian, Presiden Jokowi menjamin niat ”menghidupkan” kembali pasal tersebut bukan untuk membungkam rakyat. Jokowi mengatakan pasal penghinaan presiden justru untuk melindungi mereka yang kerap mengkritik pemerintah lewat cara yang baik demi kepentingan umum.

Advertisement

Presiden Jokowi menilai aturan yang ada saat ini hanya pasal karet yang bisa memidanakan semua pengkritik pemerintah, tergantung pada interpretasi aparat penegak hukum.

Kita ingat pula, MK justru menolak judicial review usulan Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis. Pasal-pasal 310 ayat (1) dan (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP dinyatakan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Konklusi MK menyatakan kehormatan pribadi, nama baik, martabat individu warga negara dan pejabat yang tengah bertugas adalah hak konstitusional (constitutional  right) yang harus dilindungi  hukum.

Pengkajian ulang terhadap tanggung jawab yang timbul atas dasar kesalahan (liability based on fault) oleh MK dilakukan melalui legislative review. Artinya tempatnya bukan melalui judicial review di MK, tetapi lewat jalur legislative jurisdiction dengan upaya amendemen atau revisi materi muatan undang-undang.

Advertisement

Putusan MK ini tentu saja mengundang kontroversi. Putusan MK terakhir bertolak belakang dengan putusan MK tentang pencemaran nama baik presiden atau wakil presiden yang juga potensial berkaitan dengan persoalan hukum akibat  pemberitaan  pers.

Tatkala memutuskan judicial review Pasal 134, 136 b, dan 137 KUHP tentang  penghinaan presiden dan wakil presiden, MK justru menyatakan pasal–pasal penghinaan tersebut harus dicabut.

Sebaliknya, ketentuan pasal-pasal yang memenjarakan wartawan akibat pemberitaan yang dianggap dapat mencemarkan nama baik pribadi dan pejabat biasa malah tetap diberlakukan.

Ini berarti, mengacu pada putusan MK tersebut, menghina dan mencemarkan pribadi dan pejabat biasa adalah hak konstitusi. Menghina dan mencemarkan nama baik dan kehormatan presiden bukan hak konstitusi.

Advertisement

Menghina dan mencemarkan nama baik individu dan pejabat biasa dapat dihukum karena ketentuan pidananya  masih berlaku, sedangkan menghina dan mencemarkan nama baik presiden tidak bisa dipidana karena ketentuan pidananya sudah dicabut.

Begitu juga dari sudut berat ringannya hukuman, pelanggaran pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dibandingkan dengan pencemaran dan penghinaan terhadap individu juga mengundang pertanyaan.

Menghina presiden dan wakil presiden sesuai ketentuan Pasal 134 KUHP ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun, sedangkan sanksi maksimal pelanggaran Pasal 310 KUHP adalah satu tahun empat bulan; Pasal 311 dengan sanksi maksimal empat tahun; Pasal 316 dengan sanksi ditambah 1/3 dari pasal sebelumnya.

Presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung rakyat Indonesia. Presiden Indonesia dalam kurun waktu tertentu pernah begitu menikmati kekuasaan dan kewenangan yang tanpa kontrol. [Baca: Tanda Tanya]

Advertisement

 

Tanda Tanya
Selain menempati kekuasaan dan kewenangan yang besar, presiden Indonesia juga sangat istimewa karena secara khusus dilindungi oleh hukum pidana.

Ada masa ketika aturan pidana tentang perlindungan presiden ini tidak masif digunakan, karena pada saat yang sama ada regulasi yang ”lebih sempurna” untuk melindungi tidak hanya presiden tapi juga penguasa secara keseluruhan, yaitu UU Antisubversi.

Keberadaan regulasi antisubversi menyebabkan presiden tak perlu sering-sering menggunakan ketentuan pidana yang melindunginya, namun apa boleh buat UU Antisubversi harus dicabut karena tak lagi sesuai dengan iklim perbedaan pendapat, keterbukaan, dan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Sejak regulasi antidemokrasi tersebut dicabut pada 19 Mei 1999 melalui UU No. 26/1999, mulai marak pemidanaan terhadap para pengkritik presiden dengan menggunakan Pasal 134, Pasal 136 b, dan Pasal 137 KUHP.

Tercatat setidaknya enam kasus yang diajukan ke muka persidangan karena tindakan dan/atau ekspresi politik yang dianggap sebagai menghina presiden.

Advertisement

Pada akhir 2006, MK menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 b, dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi. Sejak putusan itu, tak ada lagi aktivis yang dijerat dengan pasal-pasal tersebut, sekeras apa pun kritik yang mereka kemukakan.

Sesungguhnya orang yang menduduki jabatan presiden, dalam kualitas sebagai pribadi, masih dapat mengajukan tuntutan pidana bagi orang-orang yang dianggap telah menghinanya sebagaimana diatur dalam Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, dan Pasal 316 KUHP.

Ini memang sedikit merepotkan bagi presiden karena polisi tak lagi dapat secara otomatis mengajukan tuntutan tanpa ada laporan dari kepala negara dan dibutuhkannya pemeriksaan/permintaan keterangan terhadap diri orang yang menduduki jabatan presiden.

Kita tak tahu persis apa sebab munculnya gagasan ”menghidupkan” kembali aturan kolonial yang sempat “dimatikan” oleh MK itu.

Memang tak ada basis teori dan penjelasan ilmiah yang dapat diterima akal sehat kecuali hanya penjelasan tentang adanya kejanggalan apabila penghinaan orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan kepala negara sahabat saja dijadikan tindak pidana, sedangkan terhadap presiden/wakil presiden secara khusus tidak.

Mengapakah MK membikin dua putusan yang bertolak belakang? Kita tertegun di depan tanda tanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif