Kolom
Selasa, 11 Agustus 2015 - 08:00 WIB

GAGASAN : Kerja Bakti di Jawa

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M. Fauzi Sukri (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (10/8/2015), ditulis M. Fauzi Sukri. Penulis adalah peminat filsafat pendidikan, ekonomi politik, dan filsafat agama Giat di Bilik Literasi.

Solopos.com, SOLOPOS — Demi perjuangan bangsanya, orang tidak segan-segan membaktikan harta bendanya bahkan nyawanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, hal. 152).

Advertisement

Kutipan dari kamus bahasa Indonesia yang tebal dan harganya mahal itu, jika menggunakan perspektif kamus sebagai opini publik dan data historis, sebenarnya bukan dimaksudkan untuk memberikan contoh kalimat untuk kata ”bakti” atau ”berbakti”.

Dalam sejarah nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, perjuangan demi manusia  dan bangsa Indonesia memang banyak mengorbankan harta benda, waktu yang sangat berharga, keutuhan keluarga, bahkan satu-satunya yang tersisa: nyawa.

Generasi Indonesia yang hidup sekarang mewarisi makam-makam para pahlawan yang tidak dikenal yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Politik adalah kerja berbakti.

Advertisement

Di desa-desa atau kampung-kampung di seluruh Indonesia, peringatan hari kemerdekaan Indonesia biasa disambut dengan kerja bakti. Jalan-jalan, gardu ronda, gapura, lapangan, atau fasilitas publik milik bersama dibersihkan, dirapikan, atau dicat, dan dipasangi bendera merah putih.

Sebagian rumah dicat ulan g agar terlihat rapi, resik, segar, berbahagia, dan makmur. Iuran untuk merayakan peringatan kemerdekaan negeri dikumpulkan demi semarak perayaan. Semua urun dan bekerja bakti bersama-sama.

Tindakan ini mungkin tidak begitu berarti dibandingkan kebijakan pemerintah yang bisa berdampak secara masif dan nasional atau tindakan kerja bakti para pahlawan, tapi ada rasa solidaritas sosial dalam bentuk mengabdi dan memberi yang ditimbulkan oleh kerja bakti ini.

Hal ini yang bisa menjadikan sesuatu yang sangat penting dalam nasionalisme, yang menghasilkan kemerdekaan secara politik. Goenawan Mohamad (2008: 160) mengatakan kita tak mengatakan, ”Aku berpikir [berimajinasi] maka Indonesia ada.” Ada bekas ”tumpah darah” dalam laku bakti.

Advertisement

Kerja bakti yang dilakukan warga desa atau kampung (kota) memiliki akar sejarah yang panjang. Di Jawa, kerja bakti berakar pada sistem politik yang berpusat pada tata harmoni kosmologis.

Dalam kamus Baoesastra Djawa, selain digunakan dalam makna berbakti pada suami, W.J.S. Poerwadarminta (1939: 39) mengartikan ”bekti” (akar kata ”bakti”) sebagai paweweh (dhuwitt) katur marang lurah, marang kang uwe pelemahan ing nalikane didadekke bekel, nalikane ngulur prajanjen atau paweweh marang lurah lan sapiturute ing nalikane babat alas, mbeburu.

Bekti atau bakti memang sejak awal bernuansa politik dalam lingkup kekuasaan dan pengabdian (pemberian) rakyat kepada para penguasa.  Pemberian yang biasanya berbentuk kerja seperti membersihkan alun-alun, membantu di sawah, membangunkan rumah atau fasilitas publik (atau uang) adalah sebentuk pengabdian rakyat kepada penguasa yang biasanya dianggap sebagai penjaga harmoni dalam sistem politik kejaraan.

Pada awalnya hal ini dilakukan secara sukarela, murni pengabdian kepada orang yang telah berjasa menegakkan tata kosmologis alam raya, tapi bisa juga akhirnya hanya sebentuk eksploitasi tenaga rakyat.

Advertisement

Dalam novel yang menggemparkan Belanda dan menjadi buku wajib baca para pejabat kolonial Belanda dan para pejuang kemerdekaan Indonesia, Max Havelaar, yang terbit 1860 dan ditulis Multatuli, nama samaran Eduard Douwes Dekker, tokoh yang seharusnya dipatungkan di Indonesia sebagai penghormatan, kita mendapatkan gambaran praktik kerja bakti yang paling jelas. [Baca: Politik untuk Ngabekti]

 

Politik untuk Ngabekti
Seperti yang hendak dikritik dengan keras dan tajam oleh Multatuli, kerja bakti yang awalnya sebagai bentuk pengabdian rakyat atau warga menjadi penyalahgunaan kekuasaan secara sewenang-wenang terhadap rakyat.

Tidak mengheran jika, setelah acara pengangkatannya sebagai asisten residen, dalam pidato pertama Max Havelaar yang menggetar jiwa itu, salah satunya secara jelas menyinggung makna kerja, arti kemuliaan bekerja, kerja sebagai bakti.

Advertisement

Di hadapan para pejabat penguasa pribumi yang sudah keterlaluan menggunakan kekuasaan pada rakyat itu, Max Havelaar (Multatuli, 1991: 113) berpidato dengan mantap, ”Dia [Tuhan] utus aku ke satu tempat di mana pekerjaan belum selesai dan Dia anggap aku cakap untuk berada di sana sebelum panen. Kita bersuka cita bukan karena memotong padi; kita bersuka cita karena memotong padi yang kita tanam. Dan jiwa manusia bukan tumbuh karena upah, tapi karena kerja yang membikin ia berhak untuk menerima upah.”

Multatuli ingin mengubah makna kerja para penguasa menjadi bakti dan mengabdi, setidaknya bukan penguasaan, penindasan, pemerasan.  Kata ”bakti” sangat dekat dengan kata ”abdi” atau ”mengabdi”.

Sejak tatanan kosmologi kuasa Jawa diarahkan dan digantikan dengan sistem pemerintahan republik yang berbasis pada keutamaan, kebaikan, kebebasan, dan kesejahteraan rakyat-warga, kerja bakti mendapatkan artikulasi nasionalistis yang sangat pas dan kuat.

Para pendiri Republik Indonesia sejak awal banyak mendefinisikan politik sebagai bakti dan mengabdi. Dalam Demokrasi dan Leiderschap, buku yang bisa dengan jelas menunjukkan perubahan kosmologi Jawa ke nasionalistis-republik, Ki Hadjar Dewantara mengganti orientasi kawula-gusti pada penguasa menjadi ”keluarga” yang terdiri dari ”kawula” dan ”warga” dengan orientasi republik-demokratis.

Ki Hadjar Dewantara (1959: 11-12) mengatakan ”kawula” berarti abdi jang berkewajiban mengabdikan diri dan menyerahkan segala tenaganya kepada yang olehnja dianggap tuannya. ”Warga” berarti anggota yang berwenang ikut mengurus, ikut memimpin. dan ikut menetapkan segala apa yang perlu dilaksanakan.

Di sini, berbeda dengan kosmologi Jawa klasik, ”kawula” mendapatkan peran ”warga” yang merdeka dan partisipatoris. Dengan itu, perjuangan menjadi pengabdian bagi sesama warga negara, tidak menyempit bagi seorang raja atau penguasa, seperti makna kerja bakti.

Advertisement

Efeknya memang besar dan yang paling jelas adalah kemerdekaan Republik Indonesia. Barangkali yang paling kuat secara artikulatif, yang sering dikutip dalam berbagai kesempatan, dan yang layak untuk diingat oleh para pemimpin Indonesia adalah yang diucapkan Mohammad Hatta di Rotterdam pada 1928.

Saat itu Hatta ditahan akibat perjuangannya membela kemerdekaan Indonesia. Dalam pembelaannya di pengadilan, Hatta berseru: “Hanya satu tanah air yang dapat disebut Tanah Airku. Ia berkembang dengan usaha dan usaha itu ialah usahaku.”

Dalam kata-kata ini, tidak ada kehendak untuk mengambil apalagi mengorupsi secara licik dan kejam. Politik itu, seperti yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan dengan pengorbanan nyawa, tentu saja bekerja untuk ngabekti.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif