Kolom
Minggu, 9 Agustus 2015 - 10:45 WIB

GAGASAN : Racun Pemilihan Kepala Daerah

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Agus Riewanto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (8/8/2015), ditulis Agus Riewanto. Penulis adalah Doktor Ilmu Hukum dan dosen di Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Solo.

Solopos.com, SOLO — Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember 2015 di 260 kabupaten/kota dan sembilan provinsi memasuki tahapan pendaftaran pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah.

Advertisement

Ada tujuh daerah yang saat ini hanya terdapat satu calon kepala daerah (calon tunggal), yakni Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kota Surabaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), Kota Mataram (Nusa Tenggara Barat), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), dan Kabupaten Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum bersedia mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) karena tak ada alasan mendesak. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merekomendasikan KPU memperpanjang masa pendaftaran calon kepala daerah.

KPU memperpanjang masa pendaftaran tiga hari, 9-11 Agustus. Tak ada jaminan perpanjangan masa pendaftaran ini tak berakhir pada calon tunggal. Para elite politik lokal akan menyiasati dengan memunculkan boneka atau penggembira, hanya sekadar untuk menggugurkan syarat agar pilkada tetap terlaksana.

Advertisement

Pasal 89 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 12/2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah menyatakan jika tak ada calon lain, pilkada di daerah dengan calon tunggal akan ditunda hingga pilkada serentak berikutnya.

Kandidat kepala daerah berstatus boneka merupakan produk rekayasa politik konspirasi antara petahana (incumbent) yang ambisius dengan elite politik lokal untuk mengeruk keuntungan ekonomi politik dari petanana.

Boneka dalam pilkada merupakan calon yang dihadirkan secara pura-pura agar petahana punya lawan tanding dalam pilkada. Boneka dalam pilkada merupakan politik tak etis dari petahana yang tak punya kompetitor dalam pilkada untuk menghadirkan kompetitor palsu. Itu semakna dengan menciptakan bungabunga demokrasi.

Calon tunggal dan boneka dalam pilkada sama-sama membahayakan demokrasi karena meracuni pilkada serentak dan berpotensi membunuh karakter kompetisi yang adil dan demokratis (free and fair) dan berubah wajah menjadi karakter kompetisi konspiratif antarelite politik. Rakyatlah yang akan menanggung kerugian atas ulah elite politik daerah ini.

Advertisement

Demokrasi sejati menuntut proses seleksi calon kepala daerah yang demokratis, transparan, dan akuntabel, bahkan publik dilibatkan dalam proses seleksi di internal partai politik maupun melihat rekam jejak kiprah sosial politik calon kepala daerah.

Boneka dalam pilkada merupakan calon kepala daerah yang dicomot elite politik lokal yang rakus kekuasaan untuk dijual dengan harga mahal kepada petahana supaya punya lawan tanding dalam pilkada.

Jelas, calon tunggal dan calon berstatus boneka sama-sama menjadi racun demokrasi, merusak roh demokrasi lokal. Elite politik tak mampu memunculkan calon-calon alternatif pemimpin di daerah akibat dari kuatnya konspirasi politik antara elite politik lokal dan petahana.

Jamak diketahui hampir semua pengurus partai politik yang merupakan aktor utama memunculkan calon tungal dan calon boneka adalah para saudagar kaya di daerah, bukan politikus sejati yang bersifat negarawan.

Advertisement

Politikus negarawan berpikir nasib generasi berikutnya. Politikus saudagar berpikir meraih kemenangan dan memetik konsesi ekonomi.

PKPU No. 12/2015 ihwal penundaan pilkada 2015 ke pilkada 2017 hanya karena calon tunggal telah memicu elite politik lokal dan para petahana merekayasa politik memunculkan calon tunggal dan calon boneka.

Sesungguhnya PKPU ini tidak sensitif terhadap implikasi politik dalam pilkada di tengah tingkat kesadaran rasional politik rakyat yang lemah dan etika (fatsun) politik para politikus di daerah yang masih buruk.

PKPU ini justru disiasati dengan memunculkan calon tunggal dan calon berstatus boneka yang sama-sama berpotensi menjadi parasit, bahkan meracuni pilkada serentak pada 9 Desember 2015. [Baca: Mengesahkan]

Advertisement

 

Mengesahkan
Seharusnya ketika hanya terdapat calon tunggal di daerah, solusinya bukan menunda pilkada serentak 2015 ke pilkada 2017, melainkan mencari jalan yang elegan, misalnya tetap mengesahkan calon tunggal pilkada dengan menerbitkan perppu.

Calon tunggal tetap diproses dalam pemungutan suara dikompetisikan dengan bumbung/kotak kosong. Dengan begitu, pilkada serentak tetap berlangsung pada 2015. Rakyat tidak kehilangan hak pilih pada 2015 dengan cara memilih melalui surat suara calon tunggal dan bumbung kosong. Calon tunggal yang menang melawan kotak kosong disahkan.

Model pilkada calon tunggal melawan bumbung atau kotak kosong ini secara substansial tidak melanggar logika demokrasi”dipilih secara demokratis” sesuai Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan payung hukum pilkada.

Esensi pasal ini menempatkan aspek ”langsung” yang ditonjolkan dalam pilkada. ”Langsung” ini berarti harus berasaskan langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil) berdasar putusan MK No. 72-73/PUU-II/2004 yang memberi makna demokratis dalam pilkada.

MK berpendapat UUD 1945 telah menetapkan pilkada secara demokratis, langsung maupun cara-cara demokratis lainnya, harus berpedoman pada asas luber dan jurdil.

Advertisement

Politik hukum frasa ”dipilih secara demokratis” menjadi kebijakan hukum terbuka untuk ditafsirkan oleh pembentuk UU (open legal policy) dalam menentukan mekanisme pilkada. MK pernah mengesahkan pilkada model ”noken” di Papua dan model ”penetapan” di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dari argumentasi yuridis ini sesungguhnya pilkada dengan calon tunggal yang dikompetisikan dengan bumbung kosong tidak melanggar UUD 1945. Dalam tradisi demokrasi lokal, model calon tunggal melawan kotak kosong pernah dipraktikkan dalam pemilihan kepala desa di Indonesia pada 1971-2004, hasilnya tetap demokratis dan berlegitimasi tinggi, bahkan menstabilkan politik lokal.

Memutuskan pilkada serentak 2015 ditunda pada 2017 hanya karena diikuti calon tunggal tidak tepat dan justru melahirkan instabilitas politik lokal sekaligus mendorong elite politik lokal terpaksa mencari boneka. Ini bukan praktik demokrasi berasaskan luber dan jurdil.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif