Kolom
Kamis, 6 Agustus 2015 - 08:00 WIB

GAGASAN : Muhammadiyah dan Revitalisasi Kebudayaan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Fadjar Sutardi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (5/8/2015), ditulis Fadjar Sutardi. Penulis adalah perupa yang aktif di Komite Seni Rupa Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah Sragen.

Solopos.com, SOLO — Sebuah ikhtiar untuk melahirkan peradaban utama tampaknya merupakan  cita-cita besar Muhammadiyah  ketika memasuki milennium ke-2 dengan rancangan  membuat  sebuah ”tenda besar” sebagai rumah kebudayaan yang berkemajuan dan mencerahkan.

Advertisement

Tenda besar  yang bernuansa Islam tersebut termuati  nilai-nilai kekarimahan yang nantinya diharapkan dapat  digunakan bersama-sama sebagai rumah ”dialog pemikiran dan pertukaran amaliah” masyarakat  Indonesia dan bahkan bangsa-bangsa.

Tentu bangsa-bangsa lain itu adalah yang menghendaki  lahirnya peradaban yang mengutamakan  ketinggian ilmu, kesalehan, pemuliaan akhlak serta budi pekerti, dan praktik amaliah nyata untuk mengangkat persoalan manusia yang terkalahkan oleh kemajuan global yang menimbulkan problem besar bagi kemanusiaan itu sendiri.

Tenda besar peradaban utama tersebut juga akan dikukuhkan dengan pilar-pilar penyangga yang terbangun dari kontruksi yang memperkuat akhlak kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni kekuatan semangat  ”al-ma’uniyah” yang pada awal berdirinya Muhammadiyah telah dikonsep Kiai Ahmad Dahlan yang terbukti menjadi praktik amaliah yang mengagumkan.

Kekuatan ”al-ma’uniyah” menjadi fondasi bagi empat pilar yang mendasari  tenda besar Muhammadiyah, yakni pilar keteguhan dalam memberi (charity) berupa gerakan zakat untuk pencerahan bangsa, pilar kekuatan pemberdayaan masyarakat  untuk  kesadaran akan pentingnya kebudayaan (ekonomi, politik, teknologi, sains dan seni) yang menyejahterakan.

Kemudian pilar kekuatan kecerdasan dalam menghadapi bencana-bencana  baik bencana alam dan kemanusiaan, seperti  dahsyatnya tsunami, erupsi gunung berapi, terorisme, peperangan,  korupsi dan berbagai kejahatan yang memusnahkan nilai-nilai moral manusia.

Yang tak kalah penting adalah pilar kekuatan ekonomi yang menggerakkan dinamika kesadaran sosial untuk memakmurkan dan menyejahterakan bangsa dan mengatasi rongrongan ekonomi kapitalis modern yang menjadi hegemoni kemajuan lahiriah yang terkadang merusak tatanan mental masyarakat.

Keempat pilar penyangga tenda besar itu diyakini sebagai kekuatan untuk mewujudkan peradaban yang berkeadilan  dan  kemakmuran yang meninggikan harkat kemanusiaan. Uraian di atas adalah inti kajian atau tausiah yang disampaikan Dr. Fattah Santosa pada pembukaan Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) Muhammadiyah Sragen pada 28 Juni 2015 di Pondok Pesantren Darul Ihsan Sragen.

Advertisement

Tausiah dan kajian tersebut menjadi penting untuk direnungkan, khususnya warga Muhammadiyah yang menyambut kegembiraan Muhammadiyah, yakni Muktamar Muhammadiyah ke-47  di Makassar 3–7  Agustus 2015.

Muhammadiyah telah bergerak melintasi berbagai zaman, mulai zaman Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Indische Partij. Ketika itu bangsa ini masih sangat tipis saf keintelektulitasannya dan kesadaran politik nasionalismenya sampai dengan zaman teknologi modern Barat sekarang ini.

Meminjam teks pidato  Ruslan Abdul Gani (1965), api kebangunan nasionalisme Indonesia semakin berkobar ketika Muhammadiyah yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan menyuarakan nilai-nilai keislaman yang menjadi gelombang pemukul imperialisme dan materialisme yang memang bertentangan dengan nilai harkat dan martabat kemanusiaan.

Muhammadiyah dengan gerakan untuk  kembali kepada sumber-sumber agung kemanusiaan, yakni Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW, secara nyata telah membebaskan dari belenggu-belenggu kemunduran bangsa ini, yakni kultur kekolotan yang sengaja dipelihara penjajah sebagai pembendung kemajuan kecerdasan bangsa ini. [Baca: Kuantum Kemanusiaan]

 

Kuantum Kemanusiaan
Kobaran api Islam yang mengutamakan nilai-nilai sosial, yakni kedamaian, keselamatan, dan kebersamaan,  perlu terus diembuskan dengan amal praktik di tengah masyarakat luas sehingga pada saatnya, sesuai dengan causa waktu, masyarakat dapat dengan tulus ikhlas menghadirkan nilai-nilai keilahian dalam bentuk ucapan, tindakan, dan perbuatan sehari-hari  dalam frame keimanan yang mendalam.

Keterkaitan atau ketergantungan manusia dengan Allah dalam rangka pemeliharaan alam, dengan dasar ketauhidan yang kuat, pada akhirnya akan terwujud sebuah kehidupan dengan memuliakan kuantum kemanusaan yang saleh, bermanfaat, bermartabat, dan menghormati perbedaan-perbedaan sebagai media cermin keseimbangan.

Advertisement

Ketika tenda besar peradaban yang diinginkan Muhammadiyah harus berhadapan dengan tenda-tenda lain yang lebih besar serta megah dan bisa menghanyutkan tata nilai kemanusiaan dan melupakan budi akhlak manusia pada umumnya, kemudian harus melakukan apa?

Di kalangan masyarakat awam dan akar rumput, nilai-nilai keagamaan yang disampaikan para pemuka agama hanya pada kisaran teks fikih belaka yang terkadang menyuburkan benturan-benturan dalam masyarakat.

Sebagian besar masyarakat lainnya hanya tergantung pada buku-buku terjemahan dan bukan nilai-nilai ajaran agama yang diterjemahkan langsung dalam alam keseharian kehidupan mereka.

Pada masyarakat lapisan lainnya terkadang untuk mempraktikkan nilai-nilai moral keagamaan harus berlari mundur kebelakang untuk menemukan kesunyian romantisme masa lalu dengan tampilan pada kebudayaan gurun pasir.

Dalam lapangan politik dan ekonomi, amal kemuliaan seakan tak berdaya menghadapi praktik-praktik pembiaran kejahatan ekonomi dan politik yang semakin merangsek kehidupan masyarakat.

Mochtar  Lubis  (1977) menganggap praktik-praktik kejahatan itu telah menjadi bagian kebudayaan bangsa ini. Yasraf Amir  Pilliang (2013) menggambarkan secara paradoksal bahwa masyarakat modern sedang terjangkit  kebanalan kompleks yang menjauhkan nilai-nilai spiritualitas agung kemanusiaan dan tentu menyesatkan realitas kebenaran yang dharapkan.

Rasa pesimistis seperti pertanyaan dan gambaran di atas tentu diperbolehkan, senyampang tidak berlebihan. Tenda besar Muhammadiyah yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan masih kokoh dan kuat walaupun umurnya sudah seabad.

Advertisement

Kuntowijoyo (2002) menyatakan dengan tajam dan mendalam bahwa kita tidak perlu takut dengan industrialisasi, monetisasi, komersialisasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat kita yang digerakkan oleh ideokrasi-ideokrasi tertentu yang bukan idiolatri, Muhammadiyah telah lulus melampui zaman dengan tegar dan semakin mekar.

Yang perlu perlu dijaga adalah semangat mengembangkan pembaruan. Perlu terus merevitalisasi kebudayaan. Jangan takut mengadakan eksperimen besar dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kreativitas, inovasi, etos ekonomi, dan persoalan urbanisme perlu terus dijaga oleh seluruh amal usaha dan warga Muhammadiyah.

Yudi  Latif (2015) mempertegas  bahwa industrialisasi ekonomi tidak perlu ditakutkan, tetapi justru harus direbut oleh Muhammadiyah agar mekanisme redistributive justice beralih untuk amal saleh bagi bangsa kita yang terus tertinggal dengan bangsa lain. [Baca: Usaha Sendiri]

 

Usaha Sendiri
Dari sini jiwa entrepreunership menjadi penting bagi warga Muhammadiyah. Pada era sekarang ini Muhammadiyah digerakkan oleh mental  birokrat dan bukan mental self help atau usaha sendiri.

Untuk itu perlu terus-menerus merevitalisasi kebudayaan dalam Muhammadiyah. Tenda besar tersebut juga perlu dilengkapi ruangan kebudayaan yang nyata, misalnya diperlukan konsep mendasar tentang bangunan realitas ekonomi, realitas politik, realitas kebahasaan (lisan maupun tulisan), realitas sains dan ilmu pengetahuan, realitas kesenian, realitas sosial kemasyarakatan, dan realitas produk/mata pencaharian.

Semua realitas itu saling menguatkan dan meneguhkan tenda besar peradaban yang diimpikan Muhammadiyah sehingga tenda-tenda orang lain tidak mampu menembusnya. Ideokrasi Muhammadiyah perlu di sebarkan secara nyata ke masyarakat luas.

Advertisement

Titik berangkat pengalokasian realitas kebudayaan Muhammadiyah bisa mengacu pada konsep keluarga sakinah yang sudah mengakar dalam masyarakat yang perlu dikembangkan sesuai tuntutan zaman.

Gambaran praktik kebudayaan Islam yang berkemajuan dalam Muhammadiyah setidaknya ada lima persona kebudayaaan. Pertama, persona kepribadian dan keluarga. Persona kepribadian yang dibutuhkan pada era kekinian, adalah persona kejujuran dan kepercayaan.

Keduanya menjadi tolok ukur bagi mentalitas dan bukti keimanan seseorang. Kejujuran akan menumbuhkan kepercayaan (trust) dan tentu akan menghalau ke-fujur-an ( kejahatan/kesesatan). Jiwa kepercayaan menjadi roh amal yang amat mendasar bagi keberlangsungan postur kemukminan dan keislaman dalam tatanan keluarga Muhammadiyah.

Kedua, persona keluasan wawasan dalam keilmuan. Wawasan keilmuan perlu terus disuarakan kepada masyarakat, utamanya bersumber Quran dan sunah sebagai dasar pijakan dalam melaksanakan muamalah ilmiah.

Paradigma keilmuan yang mengacu ketauhidan juga amat penting digalakkan sehingga ketika para ilmuwan Muhammadiyah terjun ke masyarakat tidak terjebak pada pusaran kemusyrikan amal yang menumbuhkan jiwa rakus, tamak, dan sombong.

Seandainya mereka memegang amanah kekuasaan, para ilmuwan Muhammadiyah tetap mendasarkan pada imamun ‘adilun (pemimpin yang adil) dan bukan memperkuat mental birokrat yang korup.

Dunia pendidikan Muhammadiyah, dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, penting untuk terus direvitalisasi dengan berbagai model, misalnya kewajiban bagi anak didik dan mahasiswa untuk mondhok dan nyantri pada pesantren Muhammadiyah, sekaligus sebagai bekal ke medan  kuliah kerja nyata bagi amal karimah  di lokasi qoriyah thayyibah nantinya.

Advertisement

Ketiga, persona kekuatan dalam kekaryaan/produktivitas. Dalam lapangan kehidupan, manusia berkewajiban menjaga, memelihara, dan  merawat alam. Menyuburkan dan memakmurkan alam menjadi suatu keniscayaan.

Manusia yang berkebudayaan tentu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan menemukan berbagai cara atau metode pemeliharaannya. Saking banyaknya lahan pemeliharaan yang harus ditempuh manusia, mereka menciptakan pengetahuan tentang pekerjaan sebagai medan pengalaman.

Berbagai pengalaman dan temuan melahirkan efek profesi atau keahlian. Manusia yang memiliki keahlian diabdikan kepada kehidupan. Mereka dibayar dengan barter barang, kehormatan, dan alat tukar yang bernama uang sepadan dengan keahliannya. [Baca: Bersyukur atau Kufur]

 

Bersyukur atau Kufur
Manusia bisa dikatakan sebagai ahli pertanian, pertukangan, perkebunan, kehutanan, kelautan, pergunungan, sampai disebut sebagai ahli mesin, konstruksi, jasa, desainer, keartistikan, dan sebagainya.

Intinya, manusia diberi kuasa Allah untuk menciptakan pekerjaan atau produksi. Kekuatan berproduksi  atau berkarya menjadikan manusia dihargai dan berharga di mata Allah. Persona kekaryaan menjadi alat bukti manusia bersyukur atau kufur.

Kuasa kekaryaan  bisa langgeng untuk kemanusiaan asalkan tidak bersekutu dengan kekuasaan politik yang korup. Keempat, persona kesalehan sosial. Persona kesalehan dapat di ukur dari kesuntukan memaknai tujuan pengabdian dalam pengelolaan hidup.

Advertisement

Saleh sosial dapat terwujud bila hanya diabdikan  kepada Tuhan dengan jiwa berperikemanusiaan. Kesatuan pikiran, hati, dan perbuatan yang diwujudkan dengan tindakan nyata tanpa dibarengi kesombongan tentu akan mengekalkan makna kesalehan-kesalehan. Kesalehan bukan hanya diukur dengan penampilan persona jasmani seperti peci, gamis, atau celana jigrang.

Kesalehan lebih dari sekadar basa-basi keagamaan yang tertempel dalam ritual keagamaan. Kelima, persona kebudayaan. Dewasa ini telah lahir berbagai sebutan yang membanggakan tetapi belum  melengkapi kemauan kehidupan, seperti ekonom, guru besar, teknokrat, birokrat, seniman, politikus, insinyur, selebritas. dan sebagainya.

Sebutan–sebutan itu  bisa tiba-tiba dan serta-merta  tenggelam karena tergelincir oleh  kemauan yang menjauhkan nilai-nilai keilahian. Seharusnya kita melengkapi keahlian dengan kebiasaan-kebiasaan yang meneguhkan dan memenuhi panggilan kehidupan.

Persona sebagai budayawan lebih lengkap dan  mendalam untuk memenuhi tugas dalam kehidupan. Persona budayawan berbeda dengan persona kesenimanan. Budayawan mengabdi pada kemauan keimanan, keilmuan, kebudipekertian, yang dibadikan kepada kemasyarakatan dan bukan diabdikan kepada kemuliaan diri sendiri. Budayawan berwawasan setinggi langit dan mempraktikan kemampuannya untuk kemauan kemanusiaan seluas bumi tempat dia berpijak.

Persona–persona di atas dapat memenuhi konsep tenda besar peradaban yang dicanangkan Muhammadiyah asalkan kita mampu dan mau mengerti aspek-aspek tuntutan kehidupan yang perlu di garap dengan sungguh–sungguh dan sepenuh hati.

Dalam rumah besar Muhammadiyah, tak ada pensiun karena garapan sangat banyak dan kompleks. Semua garapan tak bisa diabaikan salah satu dari sekian lainnya. Semua harus dibagi rata untuk memenuhi kebahagiaan dan kebersamaan dalam kehidupan agar tercerahkan dan berkemajuan sesuai panggilan roh Islam.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif