Kolom
Kamis, 6 Agustus 2015 - 13:35 WIB

GAGASAN : Islam, Muktamar, dan Isu-Isu Kebangsaan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mudhofir Abdullah (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (6/8/2015), ditulis Mudhofir Abdullah. Penulis adalah dosen IAIN Surakarta serta peminat masalah sosial, politik, dan keagamaan.

Solopos.com, SOLO — Tema muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur, dan muktamar Muhammadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan, menarik perhatian publik.

Advertisement

Muktamar NU mengusung term Islam Nusantara. Sementara Muhammadiyah mengusung term Islam berkemajuan. Term-term ini sebenarnya sudah lama menjadi wacana publik, bahkan sudah banyak ditulis dalam buku serta karya ilmiah populer.

Dengan teknologi informasi dan diusung dua organisasi besar di Indonesia, tema-tema tersebut menggerakkan banyak analisis dan komentar. Persoalannya, apakah penyebutan Islam dengan kata sifat itu punya pengaruh bagi masa depan umat dan bangsa yang lebih baik?

Islam adalah konsep besar dan universal. Tak perlu heran kalau dalam penjabaran operasionalnya Islam mengejawantah dalam bentuk lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, dan praktik-praktik kehidupan sosial yang beragam.

Setiap bangsa yang menerima Islam tidak bisa melepaskan unsur lokal dalam menyerap ajaran Islam. Itulah sebabnya Islam di beberapa negara memiliki kekhasan. Islam di Iran dan Irak lebih menyerap ajaran Syiah karena tradisi panjang bangsa tersebut mewariskan model seperti itu.

Di India, di Turki, di kalangan suku Kurdi, di Afghansitan, di Eropa Timur, dan bahkan di Amerika Serikat, Islam secara sosiologis dan teologis ditampilkan dengan cara yang berbeda. Unsur-unsur abadi yang melingkupi bangsa sering menempel dalam praksis kehidupan.

Dalam konteks Nusantara, Islam tampil dalam wajah yang beragam. Sejarah panjang dinamisme,nanimisme, Hinduisme, dan Buddhisme membalut kosmologi manusia Nusantara. Ada gen-gen sosiohistoris abadi yang turun kepada generasi berikutnya yang tidak bisa lepas begitu saja ketika Islam datang ke Nusantara.

Dilihat dari asal-usulnya, agama-agama yang ada dan dipeluk manusia Nusantara adalah agama impor. Ini adalah fakta historis sehingga kita sesungguhnya disatukan oleh apa yang disebut sebagai commons values yang mengikat kita untuk saling bersinergi dan saling membutuhkan.

Advertisement

Islamisasi di Nusantara juga diakui terjadi secara damai tanpa kekerasan. Setelah berabad-abad Islam menjadi agama arus utama, Islam tetap melahirkan dinamika melalui gerakan-gerakan keagamaan. Islam kini dipahami dalam perspektif yang jauh lebih kaya dan berbeda-beda. [Baca: Pola Dasar]

 

Pola Dasar
Keberagaman pemahaman Islam menentukan pola dasar pemeluknya dalam pilihan-pilihan organisasi, pandangan dunia, kecenderungan-kecenderungan politik, dan bahkan ideologi. Inilah yang oleh Bernard Lewis disebut sebagai Islam historis dan Islam yang telah ada dalam bentuk sejarah serta peradaban.

Lewis meneorikan Islam terbagi ke dalam tiga kategori: Islam sebagai agama—Islam yang masih murni dalam Alquran dan hadis; Islam sebagai teologi—Islam yang sudah ditafsirkan dari keduanya; dan Islam historis—Islam yang sudah ada dalam bentuk peradaban.

Ketika NU mengusung term Islam Nusantara, sesungguhnya sedang berusaha menafsirkan Islam dalam perspektif lokal. NU berharap Islam dapat terus tumbuh dan hadir dalam gemuruh kehidupan Nusantara. Islam yang menjalin keakraban yang berani dengan persoalan-persoalan umat dan kebangsaan, bukan Islam yang lari dari fakta-fakta sosial.

Penambahan kata ”Nusantara” di belakang kata ”Islam” sesungguhnya sebuah autokritik terhadap realitas Islam yang kurang peduli pada masalah-masalah kebangsaan seperti perilaku korupsi, penegakan hukum, pemihakan kepada keadilan, dan radikalisme agama.

NU ingin agar Islam praksis benar-benar menyajikan Islam yang membumi dan hadir dalam kehidupan.  Di sisi lain, Muhammadiyah menekankan Islam yang berkemajuan. Maksudnya adalah Islam terus menjadi spirit bagi idea of progress.

Advertisement

Diksi ”berkemajuan” menyorongkan makna yang sangat kuat di tengah-tengah pragmatisme Islam praksis. Ini juga menjadi autokritik bagi umat Islam Indonesia yang kehilangan daya gebrak dalam melahirkan civil society yang dapat mengontrol berjalannya politik pemerintahan yang lebih beretika dan berbasis demokrasi.

Tema ini mengartikulasikan harapan Muhammadiyah agar umat Islam lebih responsif terhadap masalah-masalah kebangsaan dan perubahan-perubahan sosial. Tema dan term muktamar yang sangat aktual dengan masalah kebangsaan menunjukkan para elite dua organisasi itu ingin berjuang bersama membangun bangsa yang lebih baik.

Tantangan terbesarnya adalah bagaimana tema-tema tersebut diturunkan dalam praksis kehidupan. Konkretisasi visi ke dalam kenyataan sering kali menjadi ujian terbesar. Di sini lalu terjadi pengulangan kegagalan dari muktamar ke muktamar. Kegagalan dalam arti relatif.

Saya kira, tema-tema yang diusung dalam muktamar dua organisasi itu adalah sebuah tafsir Islam kontemporer yang mengakomodasi unsur-unsur lokal dan kekinian. Berbicara Islam adalah berbicara tentang konsep besar yang rumit.

Artinya, orang bisa melihatnya dari sudut yang beragam dengan argumen-argumen yang canggih. Islam, misalnya, sudah banyak dikaitkan dengan isu-isu krisis lingkungan, demokrasi, Pancasila, keadilan, ekonomi, dan bahkan sains. Tema-temanya bisa direlevankan dengan getar-getar kehidupan nyata.

Dalam pengertian ini, visi Islam sangat bergantung pada moralitas para penafsirnya. Makin cerdas, jujur, dan bermoral penafsirnya maka Islam akan makin cerdas dan berkemajuan.

Sebaliknya, makin sempit dan tidak bermoral penafsirnya maka Islam akan makin sempit dan terkucil dari arus utama peradaban.Yang saya maksud dengan para penafsir adalah mereka yang berusaha mewujudkan Islam dalam kehidupan praktis.

Advertisement

Di sinilah organisasi-organisasi Islam sangat penting perannya dalam membawakan jenis atau warna Islam. Istilah-istilah seperti Islam moderat, Islam radikal, Islam liberal, Islam Nusantara, Islam berkemajuan, dan lain-lain adalah kategorisasi elite agama dalam memahami Islam dalam konteks-konteks sosial serta sejarah. [Baca: Beberapa Tantangan]

 

Beberapa Tantangan
Islam yang diterjemahkan oleh dua organisasi terbesar di Indonesia ini telah lama menjadi harapan dunia. Dua organisasi ini menyajikan ajaran-ajaran Islam yang moderat, menerima demokrasi, terbuka, dan inklusif.

Sikap-sikap tersebut menjadi dasar bagi organisasi untuk bekerja sama dan menjalin hubungan global. Dengan demikian, dua organisasi ini bisa menjadi jangkar bagi pembangunan masyarakat madani.

Masyarakat madani atau sering dipadankan dengan istilah civil society memiliki modal-modal sosial atau social capital yang penting. Modal-modal itu adalah sikap saling percaya, bekerja sama, jujur, dan adil.

Menurut Robert Putnam, nilai-nilai ini bisa menjadi perekat bagi perkembangan sosial yang berkeadaban. Saya kira, dua organisasi besar ini memiliki modal-modal itu sehingga dapat diharapkan berada di garda depan dalam pembangunan peradaban bangsa.

Keduanya bisa menjadi model dunia dalam hal etika, demokrasi, dan moderasi Islam yang rahmatan lil alamin. Bisa dikatakan dua organisasi ini adalah representasi dari civil society yang bisa memainkan peran kebangsaan dan peran-peran lain yang lebih strategis.

Advertisement

Sebagai organisasi yang memiliki lembaga-lembaga, massa, dan sumber daya, tantangannya tidaklah ringan. Kita ketahui bahwa dua organisasi ini memiliki “anak turunan” politik, yaitu partai-partai politik peserta pemilihan umum: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Kedua partai politik itu tidak menjadi bagian dari organisasi, namun dalam realitas politik benturan selalu ada dan bisa mengancam integrasi bangsa. Kepemimpinan yang berintegritas dari dua organisasi ini sangat diharapkan sehingga mampu menjadi panduan moral bagi massa akar rumput.

Politik partisan organisasi, tentu saja, harus dihindari agar keharmmonisan intra dan antarumat beragama tetap terjaga. Pesan-pesan muktamar diharapkan tidak hanya berhenti di tataran konsep, tetapi justru harus dibuktikan dalam kehidupan nyata.

”Islam Nusantara” bisa menjadi jembatan bagi solidaritas antara suku, agama, ras, dan antargolongan yang menjadi ciri kemajemukan bangsa kita. Sementara ”Islam berkemajuan” menjadi spirit umat untuk terus belajar tentang cara-cara baru berkehidupan yang lebih beretika, inklusif, menghargai kemanusiaan, dan nilai-nilai keadaban.

Kalau tema-tema muktamar bisa dijabarkan dan dioperasionalkan, kehidupan berbangsa dan bernegara kita memiliki daya topang yang sangat kuat dari dua organisasi ini—dan tentu saja organisasi-organisasi lainnya.

Selain itu, kesadaran tentang ”Islam Nusantara” dan “Islam berkemajuan” dengan segala makna yang terkandung di dalamnya hendaknya tidak hanya dimiliki para elite organisasi itu, tetapi justru yang terpenting adalah dimiliki oleh massanya.

Ini memang pekerjaan sangat sulit karena massa adalah orang-orang yang berinteraksi langsung dengan massa lain di medan yang lebih terbuka. Bisa saja para elite berteriak tentang moralitas dan keadilan, tetapi di tingkat akar rumput belum tentu sama.

Advertisement

Apalagi organisasi adalah tempat paling gampang untuk menjadi alat dan sasaran konflik. Dalam anekdot yang sangat kuno, konon ada percakapan purba antara Tuhan dan setan. Inti dari percakapan itu adalah Tuhan menyatakan setan tak akan sanggup menggoda manusia karena manusia punya moral dan akal pikiran.

Setan menjawab dengan menyatakan akan menggoda manusia melalui masjid, gereja, pura, organisasi, dan lembaga-lembaga politik. Dalam sejarahnya, manusia memang berkonflik melalui organisasi dan lembaga-lembaga agama.

Anekdot ini bisa menjadi peringatan ketika organisasi-organisasi itu rapuh dalam visi dan kepemimpinan maka justru akan menjadi alat konflik, disintegrasi, dan demoralisasi kehidupan umat serta bangsa.

Organisasi memiliki kemanfaatan yang sangat strategis. Organisasi bisa menjadi alat untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi NU dan Muhammadiyah dengan peran masing-masing telah ikut menyumbang pembangunan bangsa.

Mereka juga telah ikut berjuang melawan penjajah. Di alam pembangunan ini, keduanya ikut menciptakan stabilitas, menjadi mitra pemerintah dalam pemberantasan korupsi, terorisme, kerusuhan antarumat beragama, dan melakukan peran civil society.

Kini dengan muktamar yang ke-33 untuk NU di Jombang dan ke-47 untuk Muhammadiyah di Makassar, keduanya diharapkan tetap konsisten mengusung tema-tema yang membangkitkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Di masa depan, muktamar yang diselenggarakan secara tematis perlu mengusung tema-tema yang lebih strategis lagi seperti krisis lingkungan, kerja sama global, demokratisasi, dan lain sebagainya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif