Soloraya
Rabu, 5 Agustus 2015 - 06:40 WIB

WISATA KARANGANYAR : Mondosiyo, Rasa Syukur Warga Atas Rezeki

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - KEJAR AYAM -- Warga berebut mencoba menangkap ayam yang dilemparkan ke atas atap sebagai bagian tradisi Mondosiyo di Desa Pancot, Tawangmangu, Karanganyar, Selasa (21/2/2012). (JIBI/SOLOPOS/Farid Syafrodhi)

Wisata Karanganyar kali ini terkait upacara adat Mondosiyo, yang digelar warga Tawangmangu

Solopos.com, KARANGANYAR–Ribuan orang dari 11 RT dan 4 RW di Dusun Pancot, Kelurahan Blumbang, Tawangmangu memadati jalan kampung, Selasa (4/8/2015). Ada yang berkumpul di teras rumah warga. Ada pula yang berkumpul di balkon di lantai dua milik salah seorang warga. Mereka penasaran akan seperti apa upacara adat yang dilaksanakan rutin setiap tujuh bulan itu.

Advertisement

Sementara itu, sejumlah pria mengenakan pakaian serba hitam bersiap-siap. Mereka mengecek setiap gamelan dan dadak merak reog yang akan dimainkan. Sebanyak sembilan dadak merak reog dari kelompok Reog Ponorogo berjalan beriringan menuju Punden. Lokasi upacara adat Mondosiyo. Setiap kelompok akan menampilkan atraksi secara bergantian. Upacara adat Mondosiyo menjadi wujud syukur sekaligus perayaan hari jadi Dusun Pancot. Hari jadi Dusun Pancot jatuh pada Selasa Kliwon, Wuku Mondosiyo.

Hal itu sesuai perhitungan kalender Jawa. Sejumlah tokoh dan sesepuh masyarakat mempercayai upacara adat Mondosiyo sebagai wujud syukur atas tewasnya raja lalim, Prabu Baka. Raja yang dikisahkan sebagai kanibal karena doyan makan daging dan darah manusia.

Namun, tradisi yang berjalan turun temurun itu sempat terusik oleh ulah sejumlah orang kurang bertanggung jawab. Tiba-tiba suasana di depan punden memanas. Salah satu kelompok reog tidak segera menyelesaikan pertunjukan. Padahal giliran kelompok lain sudah tiba. Lantas, seorang pemuda yang mengenakan jaket kulit warna cokelat tua tampil ke tengah arena. Dia menggenggam ikat pinggang. Dia menyabetkan ikat pinggang yang juga berwarna cokelat ke salah seorang pemain reog.

Advertisement

Bukan malah dilerai, pemuda itu malah dihujani jotos dari pemain reog lainnya. Situasi dapat dikendalikan setelah sejumlah anggota perlindungan masyarakat berseragam warna hijau itu melerai. Bahkan, sejumlah tokoh masyarakat dan pemain reog lain ikut melerai. Upacara adat berlanjut dengan tradisi menyiramkan banyu badek atau air tape yang sudah dibuat sejak Kamis (30/7/2015) ke situs Batu Gilang.

Acara puncak dari upacara adat Mondosiyo adalah saat ribuan warga dari Kelurahan Blumbang maupun dari wilayah lain berebut ayam jantan maupun betina. Empat pasang ayam atau delapan ekor ayam dilepaskan ke atap joglo Pasar Dusun Pancot. Pasar berada di tengah dusun. Raturan orang turun ke medan pertempuran. Mereka mendelik atap pasar dusun untuk menangkap ayam-ayam.

“Mereka tidak boleh menangkap ayam dengan menaiki atap. Mereka hanya boleh berpegangan pada tepi atap saat mencoba menangkap ayam. Sejumlah orang memilih mengusir ayam agar turun dari atap sehingga dapat diperebutkan,” kata Kepala Lingkungan (Kaling) Dusun Pancot, Sulardiyanto, saat ditemui wartawan di sela-sela acara, Selasa (4/8/2015) .

Advertisement

Menurut Sulardiyanto, sejumlah warga meyakini apabila mampu menangkap ayam itu maka akan membawa berkah. Ayam-ayam itu tidak akan disembelih, tetapi dikembangbiakkan. “Kalau dapat ayam jantan ya jadi pejantan yang tangguh. Kalau ayam betina ya akan berkembang biak dengan baik dan banyak. Itu ada sejumlah warga yang menyumbang ayam karena nazar dan lain-lain,” tutur dia.

Sulardiyanto juga menambahkan sejumlah warga iuran Rp12.000 dan satu kilogram beras untuk membuat makanan khas Dusun Pancot, yakni jadah. Mereka juga membuat sesaji. Terlepas dari itu semua, Sulardiyanto menyampaikan upacara adat itu menjadi simbol syukur karena warga terbebas dari bencana dan memperoleh rejeki melimpah dari Tuhan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif