News
Selasa, 4 Agustus 2015 - 17:30 WIB

UNTUNG BESAR BANK INDONESIA : BI Dituding Pesta Pora, DPR Didesak Perintahkan Audit

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi uang tunai rupiah (Bisnis-Rachman)

Untung besar Bank Indonesia memunculkan desakan untuk mengaudit bank sentral.

Solopos.com, JAKARTA — Ekonom International Center for Applied Finance (InterCAFE) IPB, Iman Sugema, menyatakan DPR perlu memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit operasi moneter Bank Indonesia (BI). Muncul dugaan ada konflik kepentingan dalam pengelolaan moneter BI.

Advertisement

Menurut Iman Sugema, audit justru bisa memperkuat kredibilitas sekaligus kepercayaan investor terhadap otoritas moneter, dalam hal ini Bank Indonesia. Iman menjelaskan dengan adanya audit tersebut akan terlihat apakah selama ini konflik kepentingan itu nyata atau tidak.

Selain itu, perlu diaudit apakah prosedur yang selama ini dijalankan Bank Indonesia sudah sesuai ketentuan atau tidak. Dengan audit itu pula akan lahir rekomendasi hasil audit yang pada akhirnya akan memperkuat kredibilitas BI.

Advertisement

Selain itu, perlu diaudit apakah prosedur yang selama ini dijalankan Bank Indonesia sudah sesuai ketentuan atau tidak. Dengan audit itu pula akan lahir rekomendasi hasil audit yang pada akhirnya akan memperkuat kredibilitas BI.

“Saya kira DPR perlu menyadari adanya konflik kepentingan BI dan sekaligus memahami pentingnya audit tersebut. Selama ini kan operasi moneter BI tidak pernah diaudit. Kita hanya tahu dari klaim BI bahwa surplus itu bukan tujuan. Tapi apa iya benar begitu?” ujarnya di Jakarta, Selasa (4/8/2015).

Iman menambahkan audit itu bisa terjadi apabila DPR memerintahkan BPK. Pasal 59 UU No. 6/2009 tentang Penetapan Perppu No. 2/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU 23/1999 tentang BI menjadi undang-undang menyebutkan BPK dapat melakukan pemeriksaan khusus terhadap BI atas permintaan DPR apabila diperlukan.

Advertisement

Desakan kepada DPR untuk memerintahkan BPK mengaudit BI sebelumnya diungkapkan peneliti Garuda Institute, Roso Daras. “Jelas ada konflik kepentingan dalam pengelolaan moneter BI. Kian tinggi depresiasi dan volatilitas rupiah, kian besar pula laba kurs yang diraup BI. Dan inilah yang terjadi sekarang,” ujarnya.

BI meraih surplus Rp41 triliun pada 2014, dengan penghasilan Rp93 triliun, naik Rp22 triliun dari tahun sebelumnya Rp71 triliun. Kontributor utamanya selisih kurs transaksi valas, yang lompat Rp18 triliun dari Rp34 triliun jadi Rp52 triliun. Surplus, penghasilan, dan laba kurs itu rekor tertinggi dalam sejarah BI.

Namun, dalam laporan keuangannya, BI menyatakan pendapatan selisih kurs transaksi valas itu adalah dampak dari penjabaran transaksi valas ke rupiah dalam rangka pengelolaan devisa dan pelaksanaan kebijakan moneter. “Meningkatnya pendapatan itu bukan tujuan, namun dampak dari pelaksanaan kebijakan yang ditempuh BI.”

Advertisement

Laporan itu juga menyebutkan, pada 2014 BI menggunakan dana cadangan tujuan—yang bersumber dari surplus akibat laba kurs tadi—sebesar Rp806 miliar. Perinciannya, Rp757 miliar untuk pembaruan dan penggantian aset tetap, sisanya Rp49 miliar untuk pengembangan organisasi dan sumber daya manusia.

“Penggantian aset tetap dan pengembangan SDM itu apalagi kalau bukan tambahan fasilitas yang diterima pengelola BI di luar gaji tinggi dan tunjangan yang sudah berlimpah. Dan itu semua terjadi justru saat BI meminta kita mengencangkan ikat pinggang. Kita disuruh ikhlas menderita, mereka pesta pora,” kata Roso.

Roso menekankan dalam situasi ini DPR harus bisa melepaskan relasi spesialnya dengan BI. DPR harus bisa melihat bahwa independensi BI adalah independensi yang tidak tak terbatas. Artinya, independensi tersebut tidak boleh digunakan justru untuk melanggengkan konflik kepentingan yang mengakibatkan rakyat semakin menderita.

Advertisement

Audit operasi moneter itu penting karena di sisi lain undang-undang juga tak memaksa BI menyerahkan seluruh surplusnya ke pemerintah hingga berkontribusi ke penerimaan negara atau juga ke cadangan devisa. Sebaliknya, undang-undang malah memerintahkan pemerintah untuk menalangi BI apabila neraca keuangannya defisit.

“Dulu malah surplusnya itu tidak kena pajak. Apa enggak enak betul posisi BI. Kalau defisit dia minta pemerintah. Tapi kalau surplus dia simpan sendiri, sebagian dia bagi sendiri. Sementara kita rakyat Indonesia ini disuruh ikhlas menderita. Ini luar biasa. Kita menderita, mereka pesta pora, dan ini dilindungi undang-undang,” kata Roso.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif