Lifestyle
Rabu, 29 Juli 2015 - 06:00 WIB

INFO SOLO : Inilah Pesona Museum Pertama di Indonesia, Radya Pustaka

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ketua Komite Museum Radyapustaka Solo Purnomo Subagyo mengamati miniatur kapal Rajamala Museum Radya Pustaka (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Info Solo kali mengupas Museum Radya Pustaka yang merupakan museum pertama di Indonesia.

Solopos.com, SOLO – Museum Radya Pustaka berdiri sejak 125 tahun lalu, karena itulah museum ini tercatat sebagai museum pertama di Indonesia. Museum yang dibahas dalam Info Solo ini menyimpan berbagai artefak penting budaya Jawa, termasuk banyak karya pustaka kuno.

Advertisement

Bangunan museum yang berada di kompleks Sriwedari Solo ini dulunya merupakan kediaman orang Belanda, Johanes Busselar. Rumah itu dibeli Paku Buwono X seharga 65.000 gulden untuk digunakan sebagai museum oleh Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV. Ia adalah pepatih dalem—wakil penguasa pemerintahan—pada masa bertahtanya Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat Paku Buwono IX dan Paku Buwono X.

Sebelum memanfaatkan rumah bekas Johanes Busselar, museum itu pada mulanya berlokasi di Dalem Kepatihan alias Pura Mangkunegaran Solo yang diresmikan pada 28 Oktober 1890 dengan rintisan koleksi buku sastra kuno. Buku sastra kuno tersebut dahulunya dihasilkan dari diskusi di Paheman Radya Pustaka—kumpulan para sastrawan—setiap Rabu malam Kamis.

Sejak 1 Januari 1913, museum itu dipindahkan ke rumah bekas Johanes Busselar di tepian jalur jalan kerajaan di kompleks Taman Kebon Raja Sriwedari. Setelah jalur jalan kerajaan itu disebut Jl. Brigjen Slamet Riyadi, Solo, pada 11 November 1953, museum itu kembali diresmikan oleh Ir. Soekarno selaku presiden Republik Indonesia.

Selanjutnya, benda koleksi museum itupun lebih variatif ketimbang naskah-naskah kuno milik Paheman Radya Pustaka. Museum Radya Pustaka dari waktu ke waktu dilengkapi dengan senjata kuno, wayang, arca, dan benda bersejarah lainnya.

Disambut Ranggawarsita

Museum Radyapustaka Solo (JIBI/Solopos/Sunaryo Haryo Bayu)

Pengunjung mendengarkan keterangan pemandu wisata di teras Museum Radya Pustaka (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Advertisement

Saat singgah ke museum tertua di Indonesia ini, pengunjung akan menjumpai Patung Raden Ngabehi Ranggawarsita yang menjadi ikon selamat datang museum itu. Patung dada pujangga Jawa tersebut diletakkan di tugu batu, tengah halaman depan museum.

Ranggawarsita dikenal sebagai pujangga penutup di Keraton Solo, sebab setelahnya tidak ada lagi pujangga kerajaan. Banyak hasil karya tulisnya yang dimuseumkan di perpustakaan Museum Radya Pustaka. Karyanya yang termasyhur adalah Serat Kalatidha yang secara harfiah berarti Zaman Edan atau “zaman gila” pernah dilukis dengan aksara Jawa pada tembok rumah orang Belanda di Kota Leiden.

Setelah disambut oleh Patung Ranggawarsita, pengunjung yang mengendarai sepeda motor atau mobil, dapat menempatkan kendaraan di lokasi parkir di sayap kiri halaman. Sedangkan mobil bsa parkir di halaman depan museum.

Dari tempat parkir, pengunjung dapat langsung melihat gedung museum yang dikelilingi pagar besi bercat hijau-kuning. Penjaga loket di dekat pintu masuk akan menawarkan tiket sebagai syarat administrasi masuk museum yang dibuka setiap hari Selasa-Minggu pada pukul 08.30 WIB-13.00 WIB itu. Pengunjung diwajibkan membayar tiket seharga Rp2.500 untuk pelajar, Rp5.000 untuk dewasa, dan Rp10.000 untuk warga negara asing.

Menginjak teras museum, mata pengunjung akan disambut saksi bisu sejarah berupa meriam dan patung koleksi Radya Pustaka. Tiga pintu terbuka yang tingginya sekitar tiga meter dilengkapi kaca dengan ornamen ukiran kayu pada setiap bagian akan menarik mata pelancong untuk terus menilik lebih dalam museum yang terbagi atas lima ruangan itu. (Fitria Julestri/JIBI/Solopos.com)

 

KLIK DI SINI untuk Masuk Ruang Pertama

Advertisement

Ruang Pertama

Benda-benda koleksi ruang pertama Museum Radya Pustaka (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Memasuki pintu pertama, ruangan sisi kanan museum terlihat 37 topeng wayang berwarna merah, putih dan hijau tua dalam etalase kaca. Di sebelah kiri topeng terdapat etalase berisi kuluk, yakni kopiah kebesaran yang sekarang dapat dilihat saat mempelai pria memakainya dalam upacara perkawinan. Di depan etalase yang berisi kuluk, terdapat kotak kayu berisi beberapa koleksi wayang. Tepat di atas kotak wayang terpajang beberapa Wayang Kokar di dalam bingkai kaca.

Pada ruangan sisi kiri museum juga terduduk dua kotak wayang bersangga dua bangku panjang yang berisi wayang campuran. Ketua Komite Museum Radya Pustaka, Purnomo Subagyo mengungkapkan untuk beberapa wayang sengaja tidak dipajang karena jika seluruhnya dipajang akan memenuhi ruangan. Pemajangan koleksi wayang memang dilakukan dengan cara bergilir sedangkan yang lainnya disimpan. Di samping kanan kotak wayang, terdapat beberapa miniatur patung, tongkat, tombak, antihan (alat untuk mengantih).

“Permisi,” ujar seorang anak berbadan lebar dengan i-pad dalam genggamannya sedang melintas di depan saya. Menandakan bahwa koleksi museum itu cukup berhasil memenuhi ruangan. Pengunjung itu kemudian tidak lupa mendokumentasi hasil tangkapan inderanya.

Di tengah-tengah ruang utama (sisi kanan dan kiri), dipenuhi satu set tempat duduk terdiri dari tiga kursi yang alas duduknya terbuat dari rotan dilengkapi meja bundar di tengahnya. Dua alas duduk pada kursi di ruangan bagian kanan terlihat sudah bolong. Hanya satu buah yang masih utuh, yakni kursi yang terbuat dari kayu. Sedangkan di sisi kiri, ketiga kursi masih terlihat dalam kondisi baik.

Advertisement

Tak luput dari pandangan sebelum memasuki ruang kedua, pengunjung akan mendapati beberapa bingkai foto dokumentasi peresmian Museum Radya Pustaka oleh presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang menempel pada dinding. Di bawah foto dokumentasi, berdiri tegak tempat lilin dari kayu yang panjangnya sekitar satu meter. Tak kalah menariknya, ada tanaman bunga berwarna kecokelatan seperti telah hidup lama yang diabadikan dalam kotak bermotif bunga dan dikurung dalam almari kaca. Benda ini bernama Orgel yang didapatkan dari hadiah Napoleon Bonaparte kepada Susuhunan Paku Buwono IV. (Fitria Julestri/JIBI/Solopos.com)

 

KLIK DI SINI untuk Masuk Ruang Kedua

Ruang Kedua

Sejumlah mahasiswa Sejarang UNS mengamati koleksi senjata di Ruang Kedua Museum Radya Pustaka (Ivanovich Aldino/JIBI/Solopos)

Ruangan kedua sendiri terbagi atas tiga ruangan kecil . Ruangan pertama adalah lorong sebagai penghubung antara ruangan pertama menuju ruangan ketiga. Di bagian kanan dan kiri lorong dibuka ruangan yang digunakan untuk menyimpan benda pusaka. Jika pengunjung menapaki lorong kedua, akan menjumpai beberapa benda pusaka seperti pajangan tombak dalam almari kaca tepat berada di antara pintu masuk ruangan benda pusaka.

Advertisement

Pada ruangan sayap kanan, pengunjung akan mendapati penerangan yang cukup dari lampu untuk melihat tombak, keris, pedang dan pisau belati. Hal itu disebabkan karena jendela yang tersedia tidak dibuka sehingga cahaya yang masuk dari luar sangat minim. Kendati demikian, museum juga memfasilitasi pengunjung dengan air conditioner supaya pengunjung tidak kegerahan.

”Yang ini udah [difoto],” ujar pemotret pada kawannya yang sedang bergaya di dekat koleksi senjata kuno. Pengunjung itu berlanjut mendekati koleksi benda kuno yang lain.

Pada ruangan bagian kiri terdapat pemajangan beberapa bolo pecah seperti gelas, mangkuk, piring dan beberapa piringan sebagai bentuk peringatan wafatnya beberapa tokoh. Di tengah-tengah bolo pecah di pajang beberapa guci dan piala porselin di dekat pintu masuk ruangan sayap kiri itu. Piala porselin tersebut merupakan pemberian Napoleon Bonaparte kepada Paku Buwono IV. Ketika mendongak ke atas, pengunjung akan menyaksikan 13 buah piringan lukis berwarna biru yang tersebar dan tertempel acak pada tembok bagian atas. (Fitria Julestri/JIBI/Solopos.com)

 

KLIK DI SINI untuk ke Ruang Ketiga

Ruangan Ketiga

Advertisement

Pengunjung mengamati koleksi logam di Ruang Ketiga Museum Radya Pustaka (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Layaknya ruangan kedua, sebelum memasuki pintu ruangan sayap kanan dan kiri, di ruangan ketiga akan didapati koleksi benda pusaka seperti tombak yang dipajang di dalam almari kaca. Beberapa pengunjung tampak sibuk ber­-selfie dengan berbagai patung koleksi maupun benda di dalam rak yang dipajang.

Di ruangan sayap kanan, disusun beberapa mangkuk, wadah buah, cangkir, prasasti dan replika patung. Beranjak ke sayap ruangan kiri, pengunjung dapat memasuki library museum Radya Pustaka yang berisi berbagai koleksi buku kuno. Di ruangan itu, pengunjung dapat mempelajari beberapa koleksi yang berisi pengetahuan sejarah, tradisi, seni sastra dan budaya khusus berbahasa Jawa Kuno.

Di perpustakaan Radya Pustaka itu, terlihat beberapa pengunjung silih berganti untuk menanyakan hari baik menikah, pendirian dan pindahan rumah, sunatan dan silsilah keluarga kepada Totok Yasmiran selaku Transliterature Perpustakaan Kuno Radya Pustaka. Beberapa pengunjung yang berkonsultasi percaya, bahwa di Radya Pustaka seseorang dapat menanyakan silsilah keluarga yang dapat ditemukan sejak keturunan Nabi Adam hingga Pakubuwono IX.

Totok memasukkan amplop putih ke dalam benda yang mirip dengan kotak infak di dekat meja kerjanya, seusai dua orang yang selesai berkonsultasi beranjak dari pintu perpustakaan. Tak lama kemudian datang seorang wanita bersama putranya duduk bersimpuh di depan meja kerja Totok. “Kami [pengelola perpustakaan] hampir tidak pernah istirahat untuk melayani pengunjung,” ungkapnya saat ditemui Solopos.com, Jumat (31/7/2015).

“Dulu malah ada orang asing yang tanya silsilah ke sini. Ternyata ditemukan keluarganya juga [turut andil dalam] pendiri Radya Pustaka,” sahut Kurnia Pengelola Perpustakaan Kuno dengan keheranan lalu tertawa memecahkan suasana, Jumat.

Beberapa buku kuno dibuat dari bahan kertas Eropa sehingga mudah rapuh, bahkan beberapa di antaranya sudah robek. Kendati demikian, pengelola museum juga sedang mengadakan digitalisasi untuk mengamankan beberapa naskah kuno yang sudah mulai rusak.

Advertisement

Naskah kuno yang sudah berhasil didigitalisasi, beberapa di antaranya dibuatkan katalog kemudian dideskripsikan untuk diinfokan melalui website maupun facebook resmi yang dikelola oleh museum Radya Pustaka. Tujuannya agar orang-orang yang belum sempat berkunjung ke Radya Pustaka dapat mengetahui apa saja koleksi buku kuno yang dimiliki.

Www.radyapustaka.com adalah website dan Radya Pustaka Surakarta merupakan facebook resminya. Melalui media sosial, para pengunjung dapat mengetahui berbagai koleksi yang tersimpan dalam museum tertua itu. Tak hanya katalog, terkadang pengelola facebook Radya Pustaka juga meng-share kegiatan museum mendatang. Hanya saja saat ini, website yang dimiliki Radya Pustaka memang sulit diakses dikarenakan sedang ada trouble. (Fitria Julestri/JIBI/Solopos.com)

 

KLIK DI SINI untuk ke Ruang Keempat

Ruangan Keempat

Pengunjung mengamati peranti pertunjukan tradisional di Ruang Keempat Museum Radya Pustaka (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Ketika memasuki ruangan keempat, pengunjung akan disambut dua patung harimau belang yang terletak di belakang masing-masing pintu. Di tengah-tengah ruangan, terdapat Gamelan Ageng Radya Pustaka yang saat ini masih sering digunakan untuk pertunjukan wayang. Gamelan itu disangga panggung kayu yang membuat ruangan keempat terlihat penuh. Selain itu, ada pula pajangan pakaian kebesaran Bupati yang dipakaikan pada maneken di dalam almari kaca.

Di sisi kanan, terdapat ruangan khusus untuk menyimpan beberapa canthik perahu. Canthik yang berarti hiasan pada haluan perahu itu dapat ditemukan di Museum Radya Pustaka dengan berbagai bentuk kepala hewan seperti gajah, naga, ular dan bentuk lainnya. Di depan ruangan penyimpanan canthik perahu itu, pengunjung akan menghirup aroma kemenyan yang sengaja disuguhkan untuk Canthik Kyai Rajamala. Kyai Rajamala dipercaya sebagai penunggu museum. Sedangkan di sisi luar ruangan bagian kanan terdapat Replika Pelana Kuda dan wayang.

Pengunjung mengamati canthik Raja Mala di Ruang Khusus Museum Radya Pustaka (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Lo, deloken [lo, lihatlah]!” ujar seorang ayah kepada dua anaknya sambil menengokkan kepala bermaksud menunjuk Canthik Kyai Rajamala yang berkumis dan bermata besar. Kedua anaknya pun mendekat kepada lelaki bertopi yang tangannya bersedekap seperti merasakan kengerian.

Di sisi kiri ruangan, pengunjung dapat melihat satu ruangan khusus, yakni Ruang Memorial Kantor K.G. Panembahan Hadiwijaya yang berisi tatanan ruang kerja dan beberapa foto para pemimpin kerajaan di masa lalu. Di bagian kiri ruangan juga terpajang beberapa wayang dalam etalase kaca seperti Wayang Beber, Wayang Golek, Wayang Menak, Wayang Gedhog dan sebagainya. Di bagian paling belakang ruang ketiga mendekati pintu ke empat akan didapati berbagai alat rumah tangga kuno dalam almari kaca. (Fitria Julestri/JIBI/Solopos.com)

 

KLIK DI SINI untuk Masuk Ruang Kelima

Ruangan Kelima

Pengunjung mengamati busana adat Jawa di Ruang Kelima Museum Radya Pustaka (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Pengunjung akan disambut dua Patung Ganesha yang sedang duduk saat memasuki ruangan kelima yang berada tepat di belakang kanan dan kiri pintu. Patung Ganesha ini berbentuk gajah berwarna hitam yang kedua tangannya terlihat berlubang karena biasa digunakan sebagai tempat alat senjata. Khusus patung Ganesha bagian kiri, dipasangkan payung kuning pada genggaman tangan kirinya.

Pada ruangan kelima, di sisi kiri terdapat pintu terbuka yang terhubung dengan pintu keluar. Pintu ini terbuka dapat menghubungkan jalan menjuju ke toilet, ruang kerja ketua komite museum Radya Pustaka dan tempat koleksi arca. Jika pengunjung melalui jalan menuju pintu keluar, akan dijumpai beberapa koleksi arca dewa maupun batu-batu peninggalan prasejarah.

Menengok sisi kiri ruangan kelima, terdapat mata uang kuno Indonesia maupun dari berbagai negara yang dikoleksi atas kerjasama dan sumbangsih masyarakat.

“Mbiyen awake dhewe ngalami dhuwit kayak ngene, ya? Kelingan ndek cilik [dulu kita mengalami masa uang seperti ini,ya? teringat masa kecil],” tunjuk wanita setengah baya ke arah koin mata uang kuno kepada familinya.

Dalam display almari kaca diletakkan butiran kapur barus seperti mutiara dalam mangkuk merah kecil. Kendati sudah mendapati fasilitas air conditioner, mangkuk berisi butiran kapur barus itu juga ditempatkan di berbagai koleksi seperti baju kuno agar koleksi tetap apik. Di samping koleksi mata uang kuno ditempelkan gambar beberapa wayang dan Pawukon Horoskop Jawa, yaitu hitung-hitungan kalender Jawa.

Di dekat pajangan gambar wayang, terbuka pintu masuk ruangan kapustakan yang di dalamnya berisi buku kuno dari berbagai bahasa. Bedanya dengan perpustakaan kuno yang ada di ruangan ketiga, di dalam ruang kapustakan berisi buku dari berbagai koleksi bahasa Indonesia, Belanda dan bahasa asing lainnya sedangkan di perpustakaan ruangan ketiga seluruhnya berisi buku berbahasa Jawa.

Pada sisi kanan ruangan kelima, pengunjung akan melihat delapan maneken yang berdiri tegak dengan pakaian beskap sebagai busana adat keraton. Pakaian beskap itu terdiri atas beskap atela, beskap krowok, beskap landhung, beskap sikepan, beskap takwa, beskap krowok dan beskap langen harjan. Beberapa jenis beskap tersebut memiliki fungsi masing-masing yang dikenakan oleh orang-orang tertentu. Seperti beskap takwa yang khusus digunakan untuk seorang raja.

Di samping kanannya lagi terpajang beberapa helai jarit batik dengan berbagai motif disertai maknanya. Seperti motif Wahyu Tumurun, Truntum, Parang Kusuma dan Sida Wirasat. Berjajar dengan helaian batik yang dipajang, terdapat Joli Jempono atau tandu sebagai tempat duduk bangsawan terdahulu. Terdapat pula Kremun, mirip minimatur rumah-rumahan yang sebenarnya adalah tempat duduk puteri bangsawan saat bepergian yang diangkat oleh dua orang atau lebih.

Arca-arca batu di lorong samping timur Museum Radya Pustaka (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Menelusuri lebih ke belakang museum, pengunjung akan melihat Jodag Sesaji, yakni tempat mengangkat sesaji yang dibawa dari rumah para bangsawan ke suatu tempat sakral. Pengunjung juga dapat menyaksikan miniatur Makam Imogiri yang tidak lain adalah makam raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Tak kalah menariknya, terhampar miniatur Masjid Demak yang dulunya didirikan Raden Patah bersama Wali Songo. Berdiri tegak pula miniatur Panggung Sangga Buana yang hingga sekarang masih dianggap sakral karena masih dipakai pertapaan para raja untuk berkomunikasi dengan Ratu Pantai Selatan, Nyai Roro Kidul. Panggung Sangga Buana ini dapat dijumpai di lingkungan sekitar Keraton Surakarta.
(Fitria Julestri/JIBI/Solopos.com)

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif