Kolom
Selasa, 28 Juli 2015 - 08:40 WIB

GAGASAN : Islam Nusantara dan Indonesia Berkemajuan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Syamsul Bakri (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (27/7/2015), ditulis Syamsul Bakri. Penulis adalah dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam di IAIN Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Akhir-akhir ini wacana Islam Nusantara memperoleh popularitas seiring dengan keinginan membumikan Islam untuk Indonesia berkemajuan. Begitulah kira-kira kombinasi maknawi dari muktamar dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di negeri ini.

Advertisement

Term ”Islam Nusantara” diusung menjadi tema Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang Jawa Timur 1-5 Agustus 2015, sedangkan ”Indonesia berkemajuan” menjadi tema Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 3-7 Agustus 2015.

Islam Nusantara (baca: varian kebudayaan Islam Melayu) sesungguhnya hal yang natural, produk sejarah akulturasi Islam di tanah Melayu (Nusantara).

Peran kebudayaan Islam Nusantara dalam menuju Indonesia berkemajuan sudah tercata dalam sejarah yang kemudian menjadikan kebudayaan Nusantara diilhami oleh nilai-nilai Islam.

Advertisement

Identitas Melayu dan Islam menjadi identitas Nusantara. Hal ini dapat dilihat dalam pakaian Islam Melayu (peci hitam) serta bahasa Melayu (berunsur Arab-Islam) menjadi pakaian dan bahasa nasional di Indonesia. Pakaian dan bahasa itu bukan hanya milik umat Islam tetapi sudah dihibahkan untuk Indonesia.

Islam Nusantara yang bersifat natural, historis, dan menjadi konsekuensi dari perjalanan dakwah Islam di gugusan Nusantara kemudian menjadi wacana yang hangat. Awalnya wacana Islam Nusantara yang sudah puluhan tahun menjadi wacana akademik hanya menjadi kajian terbatas.

Akhir-akhir ini wacana Islam Nusantara begitu deras mengalir ke berbagai pojok kota dan sudut desa akibat media sosial di kampung global (global village). Sayangnya, banyak orang yang tidak mengerti sejarah dan kebudayaan Islam ikut memopulerkan Islam Nusantara.

Wacana Islam Nusantara menjadi bola liar yang bias karena ditafsir oleh siapapun, baik yang kebablasan semangatnya, atau yang bermata gelap menolaknya.

Advertisement

Ada yang menganggap Islam Nusantara itu aliran Islam lokal (seperti sekte), ada yang menyerupai Islam kejawen, ada yang menilai sebagai hasil sinkretisme dan sebagainya.

Kesalahanpemahaman orang-orang yang tidak mengerti Islam Nusantara tetapi bersemangat menyebarkan wacana Islam Nusantara sesungguhnya bersifat kotraproduktif. Begitu juga sebaliknya, banyak kelompok yang menolak Islam Nusantara secara tidak objektif akibat gagal paham dan bermata gelap.

Wacana Islam Nusantara tentu akan diterima oleh kaum ”melek huruf” karena wacana tersbut merupakan fakta sejarah yangt tidak dapat dibantah.

Wacana yang sebenarnya bagian dari eksplisitasi hal yang implisit tersebut menjadi tidak produktif ketika menggelinding di komunitas yang salah memahami dan komunitas yang gagal paham dan jadilah wacana yang tidak produktif.

Advertisement

Islam Nusantara adalah produk historisitas, anak dari sejarah Islam; lahir, berkembang, dan menjadi tua. Sendi-sendinya masih kuat (misalnya halalbihalal, peci ala Melayu, sarung, bahasa Melayu, dan sebagainya) walaupun sebagian akar-akarnya sudah rusak oleh arus modernisasi (western-isasi) dan fundamentalisme (arabisasi).

Islam Nusantara adalah tradisi natural dan kultural sebagai dampak dari dinamika historisitas Islam ketika keluar dari wilayah Irano-Semitik. Hal yang natural tersebut tidak perlu perlu dibesar-besarkan dengan istilah yang norak, seperti ”jemaah Islam Nusantara”.

Istilah tersbut bersifat provokatif dan mengundang reaksi orang-orang yang gagal paham dan bermata gelap untuk menolaknya. Biarlah kebudayaan mengalir sesuai rumusnya.

Untuk apa membesar-besarkan istilah dan klaim kelompok jika sendi-sendinya roboh? Hal yang lebih penting adalah mempertahankan sendi-sendi moral dan spiritnya.

Advertisement

Tidak sepantasnya wacana Islam Nusantara menjadikan kelompok tertentu mengkalim pewaris Islam Nusantara dan bergaya lebay (kelompok kagetan), juga jangan sampai masuk golongan katrok (nalarnya belum balig) yang bermata gelap dan menolak wacana Islam Nusantara akibat gagal paham.

Dalam memahami Islam Nusantara perlu sikap objektif, saintifik, dan substantif. Dengan mewacanakan Islam Nusantara secara objektif-saintifik maka dapat menjadi inspirasi untuk mewujudkan Indonesia berkemajuan.

Istilah Melayu untuk menyebut varian kebudayaan Islam sebenarnya lebih tepat karena Melayu bukan saja sebuah realitas geografis tetapi juga sebuah identitas kebudayaan Islam. [Baca: Anak-Anak Islam Nusantara]

 

Anak-Anak Islam Nusantara
Adapun Nusantara (nusa antara) sebenarnya menunjuk pada kepulauan-kepulauan di tanah air kita (konotasi geografis), akan tetapi karena kebudayaan Islam Melayu juga mencakup Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand selatan, dan suku Moro di Filipina selatan maka digunakan istilah Nusantara utk mengkhaskan (pengkhususan) agar lebih bersifat Indonesia.

NU dan Muhammadiyah adalah anak-anak Islam Nusantara (varian kebudayaan Islam Melayu). Keduanya kakak beradik, cucu Islam “universal” rahmatan lil ‘alamin.

Advertisement

Keduanya menjadi corong Islam sekaligus pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di samping mengedepankan sikap keindonesiaan. Keduanya ”menikah” dengan dinamika historis dan beda rumah tangga karena keduanya memang sudah dewasa.

NU menetap di desa dan pondok pesantren serta menjaga cagar budaya serta peninggalan sejarah (tradisi kultural dan kitab kuning), sedangkan Muhamamdiyah menjadi bagian masyarakat urban di perkotaan sambil mengembangkan Islam dengan pola-pola modern (rumah sakit, sekolah, dan badan amal).

Banyak santri Muhammadiyah berguru kepada dan di pondok pesantren kiai-kiai NU dan tidak sedikit kader NU dibesarkan di lembaga pendidikan Muhamamdiyah. Banyak ulama Muhammadiyah yang mengkaji ulumuddin kepada kiai-kiai NU, dan banyak pemikir NU yang dibesarkan dan mengabdi di lembaga Persyarikatan Muhammadiyah.

Keduanya telah berperan nyata dalam menusantarakan Islam dan mengislamkan Nusantara. Kalau ditanya di mana Islam yang lain, varian kebudayaan Islam yang lain seperti Islam Arab, Turki, Persia dan Afrika adalah saudara kandung Islam Nusantara.

Varian-varian itu adalah paman-paman dari NU dan Muhammadiyah yang ketemu pada silsilah kakek, yakni Islam “universal” rahmatan lil ‘alamin. Jadi tidak perlu membuat kelompokr jemaah Islam Nusantara karena hal ini justru mempersempit makna dan kebesaran Islam Nusantara. Istilah jemaah Islam Nusantara juga mengundang reaksi penolakan dari kelompok yang tidak memahami sejarah dan budaya dengan baik.

Istilah yang kontroversial, bersifat simplistis, dan tidak produktif semestinya disembunyikan sehingga Islam Nusantara dapat terlihat aslinya, bukan Islam Nusantara yang digambarkan oleh orang-orang yang tidak mengerti sejarah dan kebudayaan..

Apa yang harus dipahami tak lain bahwa Islam Nusantara adalah akumulasi dari tradisi, mazhab pemikiran, sejarah, etnografi, seni dan arsitektur, bahasa, identitas etnik dan  rasial (pakaian, makanan dan sebagainya), dan sendi-sendi peradaban lain, bukan sebuah aliran keagamaan.

Sayangnya, banyak orang yang tidak mengerti, ikut-ikutan secara fanatik dan membabi buta memopulerkan Islam Nusantara secara salah. Ketika Islam Nusantara dipopulerkan oleh orang yang tidak mengerti sejarah peradaban Islam maka memunculkan sikap penolakan terhadap Islam Nusantara dari orang-orang yang sama tidak mengertinya tentang Isalm Nusantara.

Wacana tentang Islam Nusantara menggelinding seperti bola liar. Hal ini karena sedikitnya pemahaman tentang Islam Nusantara, padahal yantg sedang berdebat adalah anak-anak Islam Nusantara.

Islam Nusantara dapat dilihat wajahnya di komunitas NU, Muhammadiyah, dan tentu juga termasuk organisasi-organisasi kemasyarakat Islam lain yang memiliki akar historisitas Islam dan dakwah di Nusantara.

Tentu pula yang tetap mempertahankan wajah Nusantara, yakni yang menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, konsisten berpegang pada tradisi Islam dan penjagaan NKRI, menjadi pilar NKRI, mengembangkan sikap moderat, dan memiliki prinsip-prinsip Islam yang mengindonesia.

Inilah Islam Nusantara, Islam ”universal” yang tumbuh dan berkembang di bumi pertiwi kita dan menjadi fondasi penting dalam menuju Indonesia berkemajuan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif