Soloraya
Jumat, 24 Juli 2015 - 15:50 WIB

GERAKAN WAJIB BELAJAR : Solo Kaji Larangan Bermain di Malam Hari

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi orang tua mendampingi belajar anak (JIBI/Solopos)

Gerakan wajib belajar sedang dikaji pelarangan bermain saat malam hari.

Solopos.com, SOLO—Gerakan wajib jam belajar (GWJB) dinilai semakin mengendur beberapa tahun terakhir. Masyarakat cenderung abai terhadap misi pencerdasan dan kedisiplinan yang dicanangkan dalam program. Kebijakan berani berupa pelarangan anak bermain pada malam hari pun dikaji untuk menghidupkan GWJB.

Advertisement

Wakil Wali Kota (Wawali) Solo, Achmad Purnomo, saat mengikuti kegiatan Sosialisasi GWJB di Balai Kota, Jumat (24/7/2015), tak menampik program GWJB belum berjalan riil di masyarakat. Hal itu dibuktikan dengan masih banyaknya anak yang bermain di jalanan saat jam belajar. GWJB diberlakukan pukul 18.30 WIB-20.30 WIB.

“Itu fakta yang tidak bisa kita nafikan,” ujar Wawali.

Advertisement

“Itu fakta yang tidak bisa kita nafikan,” ujar Wawali.

Purnomo menilai imbauan dan fasilitas seperti papan pengumuman dan sirene selama ini belum cukup memantik kesadaran akan GWJB. Untuk penguatan program, pihaknya bakal menjajaki pelarangan anak bermain saat jam belajar. Menurut Wawali Magelang telah sukses menerapkan aturan tersebut.

“Jadi arahnya anak-anak dilarang bermain di jalanan pada malam hari, baik berduaan maupun mengelompok. Pengecualian saat akhir pekan. Kemarin warga juga ikut mengusulkan,” ucapnya.

Advertisement

“Ketika masuk jam belajar, televisi hendaknya dimatikan.”

Tiru Jerman

Praktisi pendidikan dari Pesantren Al Muayyad, Windan, Makamhaji, M. Dian Nafi, mengatakan banyak ekses negatif ketika anak menghabiskan waktu di luar rumah pada malam hari. Selain berdampak pada prestasi belajar, Dian menyebut perilaku anak bisa ikut terpengaruh.

Advertisement

“Apa yang didapat anak dari berkeliaran di jalanan saat malam? Ini harus menjadi perhatian,” kata
dia.

Dian mengusulkan penguatan GWJB lewat koordinasi intens orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat dan motivator. Menurutnya, Pemkot mesti mampu merangkul stakeholder agar terjadi gerakan yang masif.

“Peningkatan partisipasi masyarakat menjadi wajib. Kita bisa meniru Jerman yang gerakan wajib belajarnya sudah mendarah daging.”

Advertisement

Dian melihat pemerintah telah proaktif mencerdaskan masyarakat dengan komitmen 25% APBN untuk pendidikan. Dengan demikian, ia mendorong masyarakat giliran aktif menyokong program tersebut.

“Jangan sampai pemerintah sudah berinisiatif, rakyatnya malah klewa-klewa. Kalau begitu dana yang digelontor bisa mubazir,” ujarnya.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif