Soloraya
Jumat, 24 Juli 2015 - 07:40 WIB

ASAL USUL : Asale Karanganyar Berawal dari Pertemuan Istri Pangeran Diponegoro

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Makam pendiri Karanganyar, Nyi Ageng Karang di Kelurahan Tegalgede, Kecamatan Karanganyar Kota, Kabupaten Karanganyar. (JIBI/Solopos/Dok)

Asal usul mengenai sejarah Karanganyar tak bisa lepas dari peran Nyi Ageng Karang.

Solopos.com, KARANGANYAR — Setiap HUT Karanganyar, jajaran Muspida di wilayah itu berziarah ke makam Nyi Ageng Karang. Sejarang Karanganyar tak bisa dilepaskan dari peran Nyi Ageng Karang.

Advertisement

“Sejarah Karanganyar tidak bisa lepas dari Nyi Ageng Karang. Makamnya ada di Kelurahan Tegalgede, Kecamatan Karanganyar,” kata Kustawa Esye, Ketua Komunitas Kiai Damar Sesuluh Karanganyar. Kustawa Esye biasa disapa Cak Kus memulai cerita sejarah Karanganyar, berawal dari pertemuan Nyi Ageng Karang dengan Raden Mas Said.

Nyi Ageng Karang adalah istri Pangeran Diponegoro dari Keraton Mataram di Kartasura, Sukoharjo. Sejarah mencatat suami dan istri itu berjuang melawan Belanda. Bahkan Nyi Ageng Karang membentuk laskar perempuan.

Advertisement

Nyi Ageng Karang adalah istri Pangeran Diponegoro dari Keraton Mataram di Kartasura, Sukoharjo. Sejarah mencatat suami dan istri itu berjuang melawan Belanda. Bahkan Nyi Ageng Karang membentuk laskar perempuan.

Seorang sesepuh masyarakat Karanganyar, Suparjono, mengatakan Nyi Ageng Karang juga dikenal sebagai Raden Ayu Diponegoro atau Raden Ayu Sulbiyah. Dia adalah istri Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda dan diasingkan ke Afrika Selatan maka Nyi Ageng Karang mengasingkan diri di hutan belantara.

“Cikal bakal Karanganyar adalah Nyi Ageng Karang yang bertapa di hutan setelah suaminya ditangkap penjajah Belanda,” katanya.

Advertisement

“Singkat cerita, Nyi Ageng Karang bertemu dengan Raden Mas Said. Nah, Raden Mas Said ini cucu Nyi Ageng Karang. Mereka bertemu di padepokan Nyi Ageng Karang,” tutur Cak Kus saat ditemui Solopos.com.

Sebagai tuan rumah, Nyi Ageng Karang menjamu cucunya yang juga dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa. Julukan itu diberikan kepada Raden Mas Said karena kelihaian dan kedigdayaan mengalahkan tentara Belanda.

Saat itu, Nyi Ageng Karang menyuguhkan jenang bekatul dan burung tekukur. “Raden Mas Said tidak menyadari bahwa Nyi Ageng Karang sedang mengajarkan filosofi perang melawan tentara Belanda. Ya, lewat suguhan yang disajikan itu.”

Advertisement

Raden Mas Said menyantap jenang bekatul. Dia menyendok jenang dari tengah. Diceritakan bahwa Raden Mas Said kepanasan. “’Nak Mas Said, kalau makan jenang bekatul itu dari tepi lalu perlahan ke tengah.’ Kurang lebih seperti itu yang dikatakan Nyi Ageng Karang. Filosofi itu sama dengan strategi melawan tentara Belanda,” jelas dia.

Nyi Ageng Karang menyarankan Raden Mas Said menyerang tentara Belanda dengan strategi gerilya. Nah, burung tekukur yang juga disuguhkan kepada Raden Mas Said memiliki makna berbeda.

Cak Kus menguraikan Nyi Ageng Karang menerima wangsit saat bertapa. Isi wangsit kurang lebih menyatakan barang siapa memakan burung tekukur akan menjadi raja.

Advertisement

“Raden Mas Said menjadi raja, yakni Raja Mangkunegara I. Raden Mas Said juga menuturkan tempat pertemuan itu akan menjadi keramaian zaman. Dia menamai Karanganyar karena merasa mendapat pencerahan baru,” urai Cak Kus.

Pria yang juga menjadi Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Kabupaten Karanganyar itu menceritakan Nyi Ageng Karang meninggal dan dimakamkan di barat masjid di Tegalgede, Karanganyar. Perluasan masjid membuat makam bergeser sekitar 2 kilometer. Lokasi makam Nyi Ageng Karang berada di tengah perkampungan.

“Bupati dan musyawarah pimpinan daerah [Muspida] pasti datang ke makam Nyi Ageng Karang setiap HUT Karanganyar. Itu agenda pertama sebagai penghormatan cikal bakal berdirinya Desa Karanganyar dan Kabupaten Karanganyar,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif