Kolom
Senin, 20 Juli 2015 - 16:25 WIB

GAGASAN : Etos Liberasi dan Idulfitri

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Joko Wahyono (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (20/7/2015), ditulis Joko Wahyono. Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Masjid dan Peradaban Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Idul Fitri bukan sekadar perayaan, bukan pula sebatas ritus berbagi kebahagiaan. Idul Fitri juga tidak cukup hanya dimaknai kembali kepada kehidupan alamiah, tidak berpuasa (bisa makan dan minum) selaras dengan alam.

Advertisement

Lebih dari itu, Idul Fitri secara asketis menyimpan pesan kembali kepada kesucian, kembali ke asal kejadian, persis seperti seorang bayi yang baru dilahirkan.

Idul Fitri bermakna tanpa dosa vertikal, setelah manusia mendapat maghfirah (ampunan) dari Tuhan, maupun dosa horizontal, setelah manusia berjiwa besar untuk saling bermaaf-maafan atas dasar kerelaan, kecintaan, dan kasih sayang.

Tuhan tidak akan mengampuni dosa sesama manusia jika masing-masing pihak belum saling memaafkan. Dalam konteks ini, risalah agama mengajarkan setiap orang memiliki kedudukan sejajar.

Advertisement

Tepat sekali jika Idul Fitri menjadi wahana pemutihan teologis dan sekaligus pemutihan sosial. Idul Fitri menjadikan manusia menjadi muslim baru: muslim tanpa dosa teologis dan sosial.

Demikian kecerdasan dan kearifan para wali dalam menangkap esensi dan relevansi Idul Fitri. Kemenangan Idul Fitri ini semakin sempurna dengan kesanggupan manusia untuk menuaikan zakat fitrah dalam rangka mempertajam kepekaan sosial.

Perayaannya yang bersifat masif, serentak, dan penuh suka cita sering kali menjauhkan umat Islam dari pemaknaan filosofis yang mendasari Idul Fitri itu sendiri.

Masyarakat lebih terpaku pada dahsyatnya Idul Fitri yang mampu menggerakkan arus besar migrasi masyarakat urban, perputaran uang saat mudik Lebaran, tren belanja busana, dan keperluan (material) lebaran lainnya sebagai ritus massal.

Advertisement

Tak jarang Idul Fitri malah dirayakan secara berlebihan dan penuh kemewahan, padahal tujuan utama berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadan tidak sekadar menahan lapar dan dahaga tetapi agar meraih predikat takwa. [Baca: Nafsu Libidis]

 

Nafsu Libidis
Implementasi takwa harus dijangkarkan pada pengertian menjaga diri, baik dari kehancuran fisik maupun mental (moral). Dengan disiplin berpuasa seseorang akan terbebas dari macam rupa kerakusan, baik terhadap benda maupun kekuasaan/jabatan.

Mahatma Gandhi berkata dunia cukup untuk menghidupi setiap orang, tetapi tak cukup untuk melayani si rakus. Puasa sejatinya mengantarkan pelakunya ke dalam pusaran ibadah sampai ke titik puncak, yakni takwa.

Advertisement

Dalam lanskap takwa ini, Idul Fitri menjadi ruang bagi manusia untuk menyelami pergumulan batin dengan riwayat-riwayat kehidupan masa silam.

Setelah itu, menginjeksikan sebuah keinsafan dengan harapan ada perbaikan dan kebaikan-kebaikan setelah itu. Rasulullah Muhammad SAW telah memberikan indikasi bahwa ketakwaan seseorang dapat dlihat dari perilaku sosialnya.

Derajat takwa akan terpancar dari aktualisasi simpul-simpul kemanusiaan. Tidak ada ketakwaan selain terbebasnya manusia dari keterpenjaraan nafsu libidis dunia yang selama ini telah menguasai segala lini kehidupan kita.

Dalam bergama, nafsu libidis ini terlihat dari berbagai praktik-praktik ”simulasi religius” (Baudrillard, 1983) yang semu, artifisial, dan penuh kepura-puraan.

Advertisement

Mereka menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol spiritualisme agama sebagai tindakan dan presentasi diri untuk berserah. Agama direduksi sebatas ajang ekspresi dan kreasi simbol spiritualisme untuk mencapai kepuasan dan kebahagiaan rohaniah manusia.

Dalam kehidupan sosial, nafsu libidis tampak pada hasrat kepemilikan (having) atas objek-objek konsumsi sebagai penanda kehormatan, status sosial, ekspresi gaya, dan citra kelas mewah.

Dalam politik, nafsu libidis juga mewujud pada hasrat berburu kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Hasrat berkuasa ditempatkan pada hierarki kebutuhan tertinggi (Maslow: 1968).

Menjabat seakan menjadi satu-satunya tafsir atas aktualisasi diri dan kebermaknaan hidup. Puncaknya, secara gamblang, dapat dilihat penyakit korupsi yang kini menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nafsu libidis membuat mausia tampil ”kemaruk”, rakus, selalu merasa kurang. Nafsu berkuasa didorong libido untuk menguasai sumber daya baik alokatif maupun otoritatif (Giddens: 1984).

Jabatan adalah penguasaan simbol (Bourdieu:1991)–kepuasaan, pencitraan, identitas sosial. Nafsu inilah yang selama ini menyumbat saraf sensitif manusia. Saraf ini tidak lagi peka terhadap penderitaan orang lain yang kurang beruntung.

Advertisement

Idul Fitri tak cukup dimaknai sebagai ”ritus suci”, tetapi harus menjadi etos bagi liberasi (pembebasan). Berpuasa Ramadan bertalian erat dengan kepasrahan kepada Tuhan sebagai lokus otentitas keagamaan. [Baca: Pembebasan]

 

Pembebasan
Autentisitas ini bisa direngkuh manakala Idul Fitri dijadikan suluh bagi pembebasan, yakni pembebasan manusia dari watak kebinatangan, pelepasan dari keterpenjaraan hasrat berkuasa, pemutusan dari keterikatan penuh terhadap pesona kebendaan (dunia/material), untuk kemudian hanya menyisakan Tuhan dan nilai-nilai kebaikan sebagai daulat utama.

Sebagai pembebas, roh Idul Fitri harus dihidupkan untuk melawan segala bentuk penindasan yang bersifat kultural maupun struktural. Ketakwaan tidak hanya berkelindan dengan kondisi rohani yang ”bebas”, tetapi sejauh mana ”bebas” itu dapat ditransformasikan untuk membangun kehidupan yang egaliter; mendobrak sekat-sekat sosial kaya-miskin, ningrat-jelata, majikan-sahaya, penguasa-rakyat, dan seterusnya.

Ketakwaan harus mendapatkan tautan kultural dengan membangun kesetaraan relasi manusia yang tidak dibatasi oleh perbedaan etnisitas, religiositas, atau aliran keagamaan.

Sikap ”ke-aku-an” harus lebur dalam ”ke-kita-an” untuk bersama menebarkan kedamaian dan kasih sayang. Bagi penguasa, Idul fitri menjadi modal rohaniah untuk mengembalikan kepada kesadaran etika, nurani, akal budi, dan konstitusi.

Etos liberasi mestinya juga terartikulasi ke dalam sikap asketis. Getaran penghayatan Idul Fitri terpantul menjadi energi pendorong lahirnya kehidupan penuh adab, meluber dalam wujud tata kelola negara dan birokrasi tertib dan bebas korupsi, ekonomi yang mendistribusikan kesejahteraan serta hukum yang tegak lurus dengan rasa keadilan. Semoga.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif