Kolom
Minggu, 12 Juli 2015 - 10:10 WIB

GAGASAN : Politik Dinasti dan Defisit Kepemimpinan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Isharyanto (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (11/7/2015), ditulis Isharyanto. Penulis adalah dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum  Universitas Sebelas Maret Solo.

Solopos.com, SOLO — Mahkamah Konstitusi (MK) memberi angin segar kepada para keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak Desember 2015. Keluarga kepala daerah kini bebas maju sebagai calon kepala daerah.

Advertisement

Pasal ihwal konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam UU No. 8/2015 Pasal 7 huruf r dianggap MK inkonstitusional. MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon terutama yang berkaitan konflik kepentingan dengan kepala daerah.

MK menganggap Pasal 7 huruf r cenderung diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28 j ayat (2) UUD 1945. MK mempertimbangkan Pasal 7 huruf r akan sulit dilaksanakan oleh pembuat undang-undang maupun penyelenggara pilkada.

Frasa tidak memiliki konflik kepentingan dinilai sangat subjektif sehingga berakibat tidak adanya kepastian hukum. Mencalonkan diri sebagai kepala derah merupakan hak konstiusional.

Advertisement

Pengajuan permohonan uji materi Pasal 7 huruf r UU Pilkada ini dilakukan Adnan Purichta Ichsan. Adnan saat ini menjabat sebagai anggota DPRD  Sulawesi Selatan. Dia merupakan anak Bupati Gowa, Sulawesi Selatan, Ichsan Yasin Limpo, yang juga keponakan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo.

Ketentuan Pasal 7 huruf r mengatur seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan kepala daerah yang menjabat tidak diperbolehkan maju menjadi calon kepala daerah.

Dalam aturan ini, yang dimaksud ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah yang masih menjabat” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

Sidang putusan perkara No. 33/PUU-XIII/2015 itu menganulir larangan seorang calon kepala daerah berkonflik kepentingan dengan kepala daerah yang sedang menjabat yang ada dalam UU No. 8/2015. Peraturan tersebut batal sebelum diterapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Advertisement

Perjuangan membuat larangan keluarga kepala daerah yang masih menjabat mencalonkan diri sebagai kepala daerah telah dimulai sejak UU No. 8/2015 disahkan pada 9 Februari lalu.

Setelah disahkannya UU itu, KPU bereaksi dengan menyusun draf peraturan KPU (PKPU). Enam PKPU berhasil diselesaikan oleh lembaga penyelenggara pemilu itu sebelum semester I 2015 berakhir.

PKPU yang mengatur pencalonan kepala daerah belum kunjung diselesaikan oleh KPU sampai saat ini. Dalam Pasal 4 huruf (q) PKPU No. 9/2015, KPU mengatur bahwa calon kepala daerah harus tidak memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah yang masih menjabat.

Segera setelah UU No. 8/2015 dan beberapa PKPU diselesaikan, larangan keluarga kepala daerah mencalonkan diri sebagai kepala daerah menuai reaksi publik. Menurut kuasa hukum Adnan, yang merupakan mantan komisioner KPU Sulalawesi Selatan, Mappinawang, larangan bagi keluarga kepala daerah menjadi calon kepala daerah telah menyalahi hak asasi berpolitik seseorang.

Advertisement

Putusan MK tersebut menurut saya secara formal menjunjung tinggi demokrasi dengan mempertegas larangan diskriminasi. Pada sisi lain, putusan itu justru mendorong kekelaman baru dalam kepemimpinan lokal. Menurut saya, tidak semua kelembagaan politik yang hendak kita bangun harus berpaham kesamaan, kesetaraan, dan antidiskriminasi.

Peluang menutup politik dinasti sesungguhnya upaya bagus untuk mencapai kelembagaan demokrasi yang kita idealkan. Demokrasi menggagas kuasa etika dalam proses dan prososedurnya.

Dalam konteks pilkada, kuasa penentuan kepala daerah tidak semestinya hanya berdasarkan rumus umum: silakan semua maju, silakan semua bersaing, siapa yang menghasilkan angka dukungan terbanyak dia akan menjadi pemenang.

Pikiran demikian bernuansa liberal warisan abad ke-18. Menjadi kepala daerah artinya menjadi pengelola sumber daya ekonomi dan politik lokal dengan sukma kepentingan publik dan kewajiban akuntabilitas. [Baca selanjutnya: Simbol-Simbol]

Advertisement

 

Simbol-Simbol
Dengan politik dinasti apakah hal itu dengan segera berjalan lancar tanpa rintangan? Jaring kelindan keragu-raguan menyeruak tatkala politik dinasti—yang relatif terbuka lewat pemilu—bergandengan dengan birokrasi dinasti yang acap kali muncul di lingkungan pemerintahan lokal walau samar dan tiada terang benderang.

Dengan kacamata politik dan demokrasi, tangga kekuasaan dapat diraih seseorang dengan berbagai cara, termasuk memanfaatkan simbol-simbol tradisional dan isu primordial.

Pada masyarakat politik yang belum banyak menganut budaya partisipasi, simbol tradisi dan isu primordial akan sangat signifikan memengaruhi preferensi publik dalam menentukan pilihan politik.

Pada masyarakat politik yang didominasi budaya partisipasi, preferensi politik lebih dipengaruhi pilihan rasional sebagaimana teori rational choice. Secara alamiah, tiap zaman akan melahirkan pemimpin yang sesuai dengan zamannya.

Ada tiga kepemimpinan masyarakat, yakni kepemimpinan tradisonal, kharismatik, dan legal-rasional. Kepemimpinan kharismatik selalu muncul tanpa diduga, muncul sesuai dengan momentum.

Advertisement

Kharisma seseorang bukanlah karena keturunan, kepintaran, atau ketampanan, melainkan lebih karena anugerah Allah SWT. Kepemimpinan kharismatik diakui secara teori ataupun empiris.

Terkait dengan kepemimpinan politik, banyak mazhab dalam kajian sosiologi politik. Terjadi perdebatan apakah seseorang menjadi pemimpin itu karena hereditas (keturunan) atau pemimpin itu dilahirkan oleh kondisi tempat ia tumbuh dan berkembang.

Di antara dua arus kuat ini, terdapat pandangan kepemimpinan seseorang bisa diperoleh dari keturunan sekaligus dari lingkungan yang membesarkannya. Mungkin itu sebabnya mengapa dalam dunia politik di beberapa negara, anak presiden bisa jadi presiden.

Walau MK sebagai penafsir konstitusi melegalkan politik dinasti, bangsa kita tidak boleh mengalami defisit pemimpin. Partai politik dan elemen bangsa lainnya harus serius melakukan pengaderan sehingga melahirkan calon pemimpin masa depan yang lebih banyak dan bervariasi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif