Kolom
Jumat, 10 Juli 2015 - 08:40 WIB

GAGASAN : Posisi Sekolah Seni dalam Dunia Pendidikan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Albertus Rusputranto P.A. (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (7/7/2015), ditulis Albertus Rusputranto P.A. Penulis adalah pegiat forum budaya Pinilih dan Pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Intitut Seni Indonesia Solo.

Solopos.com, SOLO — Masih jelas teringat di kepala saat salah seorang bibi (bulik) saya menyampaikan alasan menolak menyekolahkan anaknya di sekolah kesenian.

Advertisement

Sepupu saya ini, setelah mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Solo di Jurusan Seni Rupa. Bibi saya berkata bahwa sepupu saya ini tidak seperti saya yang bisa hidup di dunia kesenian.

Bulik melarang anaknya belajar kesenian dan mengalihkannya ke bidang ilmu lain yang dipandangnya akan lebih mudah mendapat pekerjaan (nafkah).

Alasan-alasan serupa, menganggap bahwa bersekolah di perguruan tinggi seni kurang menjanjikan masa depan cemerlang (nafkah), sampai sekarang masih kuat berakar di kepala banyak orang tua.

Advertisement

Kecuali tentu para orang tua yang memang dalam kehidupan keluarganya, sehari-harinya, sudah berakar tradisi kesenian yang kuat. Pendidikan tinggi kesenian kurang diminati masyarakat umum, terutama para orang tua.

Kecuali bidang-bidang kesenian yang dibayangkan berpotensi nantinya, mudah mendapatkan pekerjaan, seperti misalnya bidang desain komunikasi visual (periklanan) dan desain interior. Bidang-bidang kesenian yang lain kurang populer.

Belum lama ini, bahkan mungkin juga masih di hari-hari ini, para orang tua, yang mempunyai putra putri yang lulus SMA/SMK, menimbang-nimbang akan menyekolahkan anak mereka ke mana.

Biasanya mereka membuat proyeksi satu dua langkah lebih jauh. Bukan hanya perguruan tinggi mana yang bagus tetapi juga bidang apa yang nantinya bisa menjanjikan pekerjaan yang bagus, dengan penghasilan yang, syukur, lebih dari cukup.

Advertisement

Menyekolahkan anak diidentikkan dengan menyiapkan mereka masuk ke dalam dunia kerja. Sekolah untuk mendapat pekerjaan, bukan mendapat pengetahuan.

Mindset atau pola pikir inilah yang membuat lembaga-lembaga pendidikan tinggi kesenian kurang diminati dan sebaliknya lembaga-lembaga pendidikan tinggi bidang ekonomi berlimpah peminat.

Bagi lulusan SMA/SMK sedikit agak beda melihatnya. Angkatan ini lebih beragam dalam menimbang. Banyak yang berpikir sama dengan orang tua mereka, bagaimana bisa mendapatkan perguruan tinggi yang ijazahnya kelak laku di bursa tenaga kerja, tetapi tidak sedikit pula yang lebih rileks dengan tuntutan hidup serupa itu.

Memilih melanjutkan sekolah di perguruan tinggi seni bagi sebagian lulusan sekolah menengah ada banyak ragam alasan. Ada yang memang atas keinginan pribadi yang tertata.

Advertisement

Mereka membayangkan nantinya akan meniti karier di bidang pendidikan kesenian, misalnya mengajar sebagai guru kesenian di sekolah-sekolah dasar atau menengah; ada yang memang ingin menjadi seniman (juga desainer, penari, musisi, koreografer, dalang, manajer seni, perajin, aktor, sutradara dan sebagainya).

Tidak sedikit juga yang datang ke perguruan tinggi seni karena merasa bahwa dunia pergaulan mahasiswa seni itu cool, bebas, eksotis dan keren; tetapi ada pula yang asal terdaftar, pokoknya jadi mahasiswa.

Saya bisa mengetahuinya karena kadang-kadang saya menanyakan hal ini kepada mahasiswa-mahasiswa saya, yang baru saya jumpai di kelas, pada awal perkuliahan di Jurusan Seni Rupa Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.

Niat-niat tersebut nantinya relatif turut menentukan tingkat keseriusan mereka, mahasiswa, dalam menempuh pendidikan. Bukan tidak mungkin keseriusan seseorang dalam menempuh pendidikan muncul setelah lebih dalam mengenal bidang yang digelutinya. Tidak tumbuh sejak awal.

Advertisement

Sebagaimana juga di lembaga-lembaga pendidikan lain, yang serius dalam mencari pengetahuanlah yang nantinya relatif berhasil dalam hidupnya. Tentunya yang disebut sebagai pengetahuan ini tidak terbatas hanya pada praktik belajar mengajar di kelas saja.

Pengetahuan juga mencakup pergaulan kesenian di sekitarannya dan banyak hal lain yang mendukung, misalnya luasnya jaringan kesenian dan ”pasarnya”.

Umumnya para orang tua suka menaruh standar minimal dalam memproyeksikan masa depan anak-anak mereka ketika memberi restu dan kesanggupan membiayai sekolah: ijazah yang laku di dunia kerja.

Seakan-akan anak hanyalah mesin industri pencetak uang, meskipun hasilnya juga untuk mereka sendiri. Hampir bisa dibilang tidak ada orang tua yang mengharap balas budi anak-anaknya.

Langkah ini tidak salah, tetapi kadang-kadang langkah ini berpotensi membuat anak kurang bisa mengembangkan diri dan mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lain. [Baca: Benalu Pragmatisme]

 

Advertisement

Benalu Pragmatisme
Sering kali orang tua lupa bahwa bersekolah pertama-tama adalah untuk mencari pengetahuan. Pengetahuan akan menentukan kualitas kemanusiaan orang-orang yang bertekun di dalamnya.

Pengetahuan menentukan peradaban manusia. Dari pengetahuan inilah yang membuat kita berbeda dengan makhluk yang lain, misalnya binatang, yang hanya sibuk dengan persoalan makan dan kawin.

Saya tidak bermaksud mempromosikan lembaga pendidikan tempat saya mengajar, tetapi sedikit banyak memprihatinkan cara berpikir kita umumnya yang menganggap bersekolah identik dengan upaya untuk mendapatkan nafkah yang baik.

Dengan demikian akhirnya kita justru membuat dunia pendidikan yang merupakan salah satu penopang pertumbuhan peradaban manusia menjadi kering dan mandul gara-gara pragmatisme yang tumbuh seperti benalu di antaranya.

Dalam kasus ini, pragmatisme pendidikan, sekolah-sekolah kesenian (di antaranya ISI Solo) tentu bakal dianggap kurang populer. Kesenian dianggap terlalu jauh dari realitas kehidupan sehari-hari (baca: nafkah) meskipun sebenarnya dari bangun tidur sampai lelap kembali kita tidak pernah lepas dari bidang seni ini.

Sekadar ikut-ikutan pragmatis, kalau diukur dari kacamata potensi pasar kira-kira berapa banyak angkatan kerja yang dibutuhkan untuk menjalankan roda industri yang berkait dengan kemampuan seni ini?

Sekali lagi, sekolah tidak identik dengan penciptaan tenaga kerja. Sekolah adalah tempat untuk mencari pengetahuan, menumbuhkan manusia-manusia yang berkualitas, unggul dan berbudaya, untuk menciptakan kehidupan yang semakin beradab.

Ini seperti ungkapan St. Sunardi dalam bukunya Tahta Berkaki Tiga. Ia mengutip ungkapan berbahasa Latin “sapientia est virtus magna”, pengetahuan adalah keutamaan yang besar.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif