News
Rabu, 8 Juli 2015 - 10:15 WIB

PROGRAM SEJUTA RUMAH : Bukan PNS, Tapi Penjual Tahu-Tempe

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Seorang pekerja konstruksi tengah melewati deretan beberapa proyek rumah di Karanganyar, beberapa waktu lalu. (Adib Muttaqin Asfar/JIBI/Solopos/ilustrasi)

Program sejuta rumah memberikan peluang besar bagi PNS untuk memiliki rumah. Namun, tak ada jaminan PNS mendapatkan FLPP.

Solopos.com, SOLO — Suratini tak pernah menyangka bisa memiliki rumah sendiri. Ukurannya hanya 24 m2 di atas lahan 60 m2, tapi itu adalah aset pertamanya atas namanya sendiri. Oktober 2014, janda 49 tahun itu kali pertama membuka pintu rumah mungilnya di Turen, Pandeyan, Grogol, Sukoharjo.

Advertisement

”Buka pintu belakang, yang ada cuma sawah,” kata Supartini saat ditemui Solopos.com di lapaknya, tepi selatan Pasar Harjodaksino, Serengan, Solo, Kamis (25/6/2015).

Sebagai penjual tahu dan tempe, Suratini pantas berbangga bisa membeli rumah sendiri. Menjadi single parent sejak 11 tahun lalu, dia bekerja sendiri membiayai keluarga. Tak ada kendaraan selain sebuah sepeda onthel yang menjadi alat bantunya mencari uang setiap hari. Itu pula yang menjadi alasan tiga anaknya hanya lulus SMP.

Advertisement

Sebagai penjual tahu dan tempe, Suratini pantas berbangga bisa membeli rumah sendiri. Menjadi single parent sejak 11 tahun lalu, dia bekerja sendiri membiayai keluarga. Tak ada kendaraan selain sebuah sepeda onthel yang menjadi alat bantunya mencari uang setiap hari. Itu pula yang menjadi alasan tiga anaknya hanya lulus SMP.

Pembelian rumah pun terjadi di luar rencana. Suatu hari saat dia berjualan di pasar, seorang pelanggan memberi tahu ada perumahan murah yang segera dibangun di utara Sukoharjo.

Dua kali mendatangi lokasi perumahan, Suratini mulai punya keberanian. Menurutnya, itu jauh lebih baik daripada tinggal di rumah bambu di atas tanah negara di Kenteng, Semanggi, Solo, dekat sebuah permakaman. Empat tahun lalu, dia harus membayar Rp8 juta untuk menempati tanah bodong itu. Dalam hatinya dia berkata. ”Saya sudah tua. Sewaktu-waktu saya bisa digusur.”

Advertisement

Saat pertama dibangun, rumah tipe 24 itu memang hanya punya satu kamar, satu ruang tengah, dan sebuah toilet. Dia pun sempat ragu mengingat dia hidup bersama tiga anaknya. Sebenarnya dia ingin kavling yang 4 m2 lebih luas, tapi uangnya tak cukup.

Begitu mendaftarkan diri dan menyerahkan berkas pengajuan kredit perumahan rakyat (KPR) ke Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah Solo, Suratini mulai berhitung. Disiapkannya Rp32 juta hasil tabungannya selama bertahun-tahun menjadi penjual tahu-tempe. Namun dia mesti bersabar.

”Tiga bulan saya menunggu tak ada kabar, mungkin bank tak percaya saya mampu. Setelah saya telepon developernya, dan developer telepon bank, baru ada petugas datang,” kisah perempuan yang tak tamat SD ini. Saat itu, harapannya nyaris sirna.

Advertisement

Sebagai penjual tahu-tempe, Suratini tak punya pembukuan atau catatan yang bisa membuktikan pendapatan hariannya. Petugas bank yang datang akhirnya mendata berapa jumlah tahu-tempe yang dijualnya dalam sehari. Mereka sendiri yang menghitung keuntungannya. ”Kira-kira Rp250.000 sehari kalau lagi ramai, saat sepi seperti ini hanya Rp150.000.”

Di luar dugaan, beberapa waktu kemudian, pengajuan KPR bersubsidi dengan nilai pokok Rp70 juta itu diloloskan. Bahkan, BTN berani memberikan jangka waktu pelunasan delapan tahun. ”Itu yang paling pendek di kompleks saya. Tetangga yang pegawai kebanyakan 15 tahun, malah ada yang 20 tahun.”

Meski menjadi satu-satunya penerima KPR yang bekerja di sektor informal di kompleks perumahannya, Suratini justru menunjukkan kedisiplinannya menyetor angsuran. Malah, dia sudah mampu merenovasi bangunan rumah mungilnya itu. Dengan sisa tanah yang ada, rumah tipe 24 itu perlahan disulap menjadi 60 m2.

Advertisement

Tak Melulu PNS

Suratini adalah satu dari segelintir orang yang bekerja di sektor informal yang berani mengakses kredit bank, khususnya KPR. Di mata BTN Syariah, Suratini menjadi pelajaran baru.

”Dari situ, saya tahu bahwa mereka [orang-orang seperti Suratini] lebih layak daripada banyak pegawai dan PNS,” kata Consumer Financing Sevice Staff BTN Syariah Solo, Yahya Habibi El Makki, Selasa (23/6/2015). ”Mereka ini lebih kaya, tapi kebanyakan mereka minder [tak percaya diri] di depan bank.”

Yahya mengaku dirinya adalah salah satu orang di BTN yang mendorong agar pengajuan KPR Suratini diterima. Apalagi berdasarkan observasi, pendapatan Suratini dinilai sangat memenuhi persyaratan. ”Menurut saya, mereka yang ‘non bankable‘ inilah yang lebih layak mendapat KPR bersubsidi.”

Kontras dengan Suratini, akhir Mei lalu, seorang developer menyebut pengajuan KPR para calon konsumennya ditolak. ”Baru saja, ada empat orang calon konsumen saya ditolak bank, semuanya PNS!” kata Bambang Sriyanto, developer pengelola Griya Mutiara Mojolaban, sebuah kompleks rumah murah di Mojolaban, Sukoharjo, akhir Mei lalu.

Padahal, PNS adalah kelompok profesi yang paling banyak menerima fasilitas pemerintah dalam pemilikan rumah bersubsidi. Masalahnya klasik. ”Gaji mereka sebagian besar sudah habis untuk kredit lain,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif