Kolom
Rabu, 8 Juli 2015 - 07:30 WIB

KOLOM : Menikmati Pilkada

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suwarmin (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (6/7/2015), ditulis wartawan Solopos Suwarmin.

Solopos.com, SOLO — Sejumlah daerah di Soloraya tahun ini akan menggelar pemilihan kepala daerah atau pilkada. Pemungutan suara akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015.

Advertisement

Siasat tentu saja sudah diatur jauh-jauh hari. Mulai saat ini atau bahkan beberapa tahun lalu, sejumlah orang sudah menata kekuatan untuk maju mencalonkan diri sebagai penguasa daerah.

Tak perlu cemas akan terjadi sesuatu yang tidak kondusif. Masyarakat kita sudah cukup terlatih mengikuti dan menikmati pilkada. Terutama setelah pemilihan presiden (pilpres) tahun lalu.

Rasanya, sepanas apa pun pertarungan di pilkada tahun ini, tak akan mampu mengalahkan panasnya persaingan pilpres tahun lalu. Seperti lazimnya pertarungan politik, kita juga akan melihat adu taktik dan strategi, psywar, adu klaim, dan mungkin juga akan banyak black campaign, adu fitnah, dan lain-lain.

Advertisement

Tentu kita harus hati-hati dan waspada. Jangan mudah terpancing emosi, lalu terprovokasi, main hakim sendiri, dan akhirnya rugi sendiri. Bagi masyarakat, saran pertama agar kita bisa menikmati pilkada secara sehat adalah hati perlu dijaga agar selalu dingin, jangan mudah terkejut, jangan gumunan, jangan kagetan.

Di Indonesia, apa pun bisa terjadi dalam arena pemilu atau pilkada. Seseorang yang bukan anggota partai politik bisa saja tiba-tiba bisa mengantongi kartu tanda anggota (KTA).

Dua orang yang semula berteman baik bisa saja pecah karena beda pilihan politik. Kan sudah lazim disebutkan, tak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik.

Seseorang bisa saja memutar langkah dari tidak berpikir menjadi kandidat  kepala daerah menjadi kandidat terkuat, dari tidak nyalon menjadi nyalon, dari tidak bersedia menjadi bersedia.

Advertisement

Jangan sebut itu semua karena lidah tak bertulang alias mencla-mencle. Dalam ranah politik Indonesia, itu namanya siasat. Bukankah politik adalah siasat?

Saran kedua, jangan terlalu berharap hasil pesta demokrasi di tingkat lokal ini akan melahirkan penguasa yang kelak akan membawa daerah berkembang lebih baik.

Sekali lagi, jangan banyak berharap. Bukankah lazim pula kita dengar, demokrasi tidak selalu dimenangkan calon terbaik dan tidak selalu dimenangkan oleh tokoh yang baik.

Hakikatnya, pilkada adalah sekumpulan kehendak dan cita-cita dari warga masyarakat untuk membangun daerah menjadi lebih baik yang dimulai dari pemilihan pemimpin.

Advertisement

Si pemimpin kelak akan memandu rakyat membangun daerah, mencari terobosan pemberdayaan ekonomi warga, mendorong kemakmuran seluruh warga, menemukan potensi daerah, dan mengurai semua masalah di daerah.

Fakatnya, demokrasi kita sering kali tidak memberi tempat untuk tipikal pemimpin seperti itu. Kenapa? Bukankah panggung pilkada sering kali bukan panggung tokoh-tokoh terbaik daerah?

Sebagian tokoh yang sebenarnya mampu dan pintar lebih dulu membuang jauh-jauh keinginan memimpin daerah. Mereka menganggap politik kita terlalu riuh, rumit, dan kotor.

Pilkada juga tidak memberi tempat bagi calon berkualitas tetapi tak punya modal kapital yang memadai. Tanpa fulus, rasanya sulit untuk bersaing di arena pilkada. [Baca: Patron]

Advertisement

 

Patron
Kontes pilkada kahirnya hanya diisi para kandidat dari kalangan pengusaha, birokrat senior, pemilik darah biru politik, dan sedikit aktivis partai politik yang telanjur mempunyai patron politik yang kuat.

Patronase politik itu bisa terjadi antara kanidat kepala daerah berstatus incumbent atau petahana dengan pejabat birokrasi. Wujudnya bisa kontrak politik. Si incumbent mengikat pejabat birokrat dengan janji-janji jika kelak terpilih lagi akan mengangkatnya ke jabatan yang lebih tinggi.

Jadi, kalau dalam pilkada si birokrat harus repot-repot membantu kampanye, kalau perlu harus setor uang, semua itu pertaruhan politik. Bisa berhasil, bisa juga tidak.

Panggung pilkada juga bukan melulu pertarungan partai politik karena partai-partai politik sering kali gagal menjalankan tugas agregasi dalam menelurkan kader pemimpin terbaik.

Yang lebih berperan adalah figur-figur. Perekrutan figur calon pemimpin itu akan menjadi jebakan Batman bagi pelaksanaan pemerintahan kelak jika dia terpilih.

Advertisement

Pilkada kita sebagian besar juga belum sepenuhnya merupakan pertemuan antara harapan rakyat dengan malaikat kebaikan pada diri pemimpin.

Sebelum memenuhi harapan pemilihnya, penguasa biasanya akan lebih dulu memenuhi harapan para sponsor yang mendukungnya. Harapan rakyat terpinggirkan, proyek-proyek titipan berjalan, dan pemerintahan berjalan sebagaimana biasanya.

Saran ketiga agar kita bisa menikmati pilkada adalah jadilah orang merdeka di bilik suara. Itu kesempatan terbaik yang kita punya untuk mengubah semuanya.

Jika kandidat kepala daerah berstatus petahana dianggap lebih baik daripada kandidat yang lain, pilihlah dia sekali lagi. Jika calon pemim pin lain memang kita anggap lebih baik, jangan ragu-ragu untuk memberikan satu suara kita.

Ketika setiap pemilih adalah orang yang bebas dan merdeka di bilik suara, tak mempan godaan, rayuan, dan intimidasi, rasanya kita masih bisa berharap demokrasi kita akan tumbuh subur melahirkan peradaban baru yang lebih bermartabat.

Sayangnya, dengan angka melek politik masyarakat kita yang rendah dan jumlah penduduk miskin yang masih relatif tinggi, kita tidak bisa berharap banyak “kemerdekaan” di bilik suara itu akan tercipta di semua pemilih.

Orang bilang, bagi sebagian masyarakat kita, pilkada atau pemilu bukan soal kepala atau hati, namun soal perut. Saran terakhir, mari kita berdoa agar seluruh rangkaian pilkada berjalan aman, tertib, lancar.

Tak perlu terlalu sedih jika yang dipilih kalah, tak perlu terlalu gembira jika yang dipilih akhirnya menang. Toh siapa pun yang menang, kita tetap hanya bisa bergantung pada diri kita sendiri.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif