Kolom
Rabu, 8 Juli 2015 - 08:40 WIB

GAGASAN : Logika Sesat Dana Aspirasi DPR

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Agus Riewanto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (6/7/2015), ditulis Agus Riewanto. Penulis adalah dosen di Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Solo.

Solopos.com, SOLO — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ”gelap mata” karena mengajukan Usulan Program Pengembangan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi melalui pintu Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 senilai Rp 11, 2 triliun atau Rp15 miliar-Rp 20 miliar per anggota DPR.

Advertisement

Alasan utama permintaan dana aspirasi ini adalah untuk mewujudkan janji anggota DPR memperjuangkan kemakmuran dan pemerataan pembanganunan di 77 daerah pemilihan (dapil). Janji itu tentu mereka kemukakan dalam masa kampanye pemilihan umum (pemilu) pada 2014 lalu.

Anggota DPR berkeyakinan ada ketimpangan pembangunan antara satu dapil dengan dapil yang lain. Menurut rencana, dana aspirasi DPR bersumber APBN ini akan dikucurkan sendiri oleh setiap anggota DPR ke dapil masing-masing.

Berdasarkan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara ada ketentuan, antara lain, dalam penetapan model penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang berhak menjadi kuasa pengguna anggaran (KPA) adalah pemimpin lembaga negara, badan negara atau kementerian, atau satuan kerja (satker) vertikal, bukan per orang anggota DPR.

Advertisement

Pelaksanaan dan pertanggungjawabannya terlebih dahulu melalui pintu rencana kerja dan anggaran (RKA) kementerian negara/lembaga dalam satu tahun sebelumnya dan kelak dipertanggungjawabkan melalui audit keuangan internal oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan audit eksternal oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI).

Ketika perorangan anggota DPR hendak mengelola dana aspirasi yang berasal dari APBN, seolah-olah telah menempatkan diri mereka sebagai institusi, bukan lagi perorangan, padahal jamak diketahui berdasarkan ketentuan UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), antara lain, dinyatakan bahwa eksistensi anggota DPR yang diakui adalah perorangan.

Anggota DPR merupakan representasi rakyat melalui pemilu yang keanggotaannya berdasarkan mandat dari partai politik peserta pemilu. Siapa yang akan melakukan audit internal maupun eksternal terhadap penggunaan dana aspirasi ini?

Bagaimana logika hukumnya ketika lembaga legislatif (DPR) sebagai pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) dalam tradisi Trias Politika ala Montisquieu juga melakukan kinerja keuangan sebagaimana eksekutif?

Advertisement

Bukankah ini merupakan penyimpangan hukum ketatanegaraan sesuai ketentuan dalam Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 setelah amendemen yang dengan tegas memisahkan perbedaan tugas dan fungsi antara lembaga legislatif dan eksekutif dalam tradisi sistem pemerintahan presidensial murni?

Seandainya anggota DPR berhak mengelola dana aspirasi bersumber APBN maka sesungguhnya telah melawan ketentuan UUD 1945, sistem pemerintahan, UU MD3, dan telah melampaui eksistensi mereka berdasarkan logika representasi rakyat.

Ketika DPR tetap ngotot merasa berhak mengelola dana aspirasi dari APBN maka secara terang benderang DPR telah melawan ketentuan hukum dari Pasal 29 UU No. 27/2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pasal tersebut menyatakan dengan cukup tegas bahwa anggota DPR, baik langsung atau tidak, dilarang terlibat dalam proyek-proyek pengadaan barang dan jasa pada instansi pemerintahan, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Advertisement

Tidak dapat dimungkiri dana aspirasi adalah proyek negara yang bersumber APBN yang hanya dapat dikelola berdasarkan logika hukum, bukan logika politik.  Hukum administrasi negara telah memagarinya agar mekanisme penggunaan keuangan negara bersumber APBN yang akan digunakan untuk membantu keuangan daerah dilakukan secara rigid dengan mengatur model transfernya.

Model transfernya berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yakni UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Transfer dana APBN ke daerah telah diatur sedemikian rupa hanya menyangkut dalam tiga hal.

Pertama,  dana bagi hasil (DBH), yakni bagi dana yang berasal dari sumber daya alam daerah yang dapat diekspor. Dalam hal ini dana APBN bagi hasil hanya dapat ditransfer ke daerah-daerah yang menyumbang devisa negara di bidang sumber daya alam dari hasil eskspor. Jadi, tidak semua daerah dapat menerima jenis dana ini.

Kedua, dana alokasi umum (DAU), yakni bagi pembiayaan belanja pegawai dan dana block grant yang pengeluarannya didasarkan pada asas otonomi daerah. Jenis dana ini dapat ditransfer ke semua daerah dalam rangka membantu pendanaan pembiayaan rutin pegawai negeri sipil (PNS) daerah.

Advertisement

DAU ini juga untuk pendanaan pembangunan di daerah dengan memberi porsi otonomi daerah dalam pemajuan pembangunan daerah berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) sesuai rencana tata ruang dan wilayah (RT/RW) daerah dan berdasarkan perencanaan pembangunan daerah dalam lima tahun berjalan.

Ini sebagai wujud pemerintah pusat berkomitmen membantu daerah dalam kerangka asas otonomi daerah berdasarkan UU No. 23/2014 tentang Otonomi Daerah. Ketiga, dana alokasi khusus (DAK), yakni dana bagi pembiayaan program prioritas nasional yang tidak dapat didanai oleh daerah atau sumber dana lainnya.

Dana ini hanya dapat ditransfer oleh pemerintah pusat ke daerah-daerah yang menempati lokasi prioritas pembangunan nasional berdasarkan pada rencana pembangunan jangka panjang menengah (RPJM) yang disusun oleh pemerintah pusat melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), akan tetapi tidak dapat dibiayai oleh APBD. [Baca: Melawan UU Desa]

 

Melawan UU Desa
Berdasarkan ketentuan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara,  antara lain dinyatakan, transfer dana APBN ke daerah baik dalam bentuk DBH, DAU, dan DAK ini telah direncanakan sebelumnya dalam rencaka kerja pemerintah (RKP) yang telah dibahas bersama dengan DPR untuk menyusun RAPBN dalam satu tahun anggaran.

Pengelolaan keungan negara harus melalui RKP dan disetujui bersama DPR setahun sebelumnya untuk dilaksanakan pada tahun berikutnya. Uniknya, dana aspirasi yang diusulkan DPR ini tidak terdapat dalam RKP pada tahun anggaran 2015 yang dibahas bersama pemerintah.

Advertisement

Dana aspirasi ini muncul ketika DPR tiba-tiba meminta untuk dimunculkan dalam APBN 2016 mendatang. Lebih dari itu, berdasarkan UU No. 22/2004, dana aspirasi DPR yang hendak dipergunakan dalam pembangunan dapil anggota DPR itu tidak masuk dalam salah satu dari tiga model transfer APBN ke daerah. Argumentasi DPR meminta dana aspirasi adalah untuk memantu dapil dalam pemilu 2014, ketika distribusi pembangunana antardaerah tak seimbang dan timpang, adalah argumentasi politis yang berdasarkan pada logika hukum.

Berdasarkan ketentuan UU No. 6/2014 tentang Desa,  sesungguhnya program-program pembangunan di desa telah diakomodasi dengan menggunakan dana alokasi desa (DAD) yang nilianya ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah per desa setiap tahun anggaran. Berdasarkan aneka ketentuan perundang-undangan tersebut, dana aspirasi DPR ini merupakan bentuk tindakan melawan logika hukum.

Dana aspirasi DPR bertentangan dengan UUD 1945 dan aneka produk perudang-undangan organik lainnya tentang administrasi dan keuangan negara. Tak ada kata lain yang tepat merespons dana aspirasi DPR ini kecuali pemerintah menolak.

Penolakan pemerintah terhadap usulan pengucuran dana aspirasi ini demi efektivitas dan efisiensi penggunaan APBN: hanya dipergunakan secara tepat sesuai peraturan perundang-undangan dan bukan untuk ”pesta politik” para politikus di Senayan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif