Kolom
Selasa, 7 Juli 2015 - 08:40 WIB

GAGASAN : Becermin dari Krisis Utang Yunani

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Desmon Silitonga (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (3/7/2015), ditulis Desmon Silitonga. Penulis adalah analis senior PT Millenium Capital Management.

Solopos.com, SOLO — Pemerintah Yunani akhirnya mengalami gagal bayar (default) karena tidak dapat melunasi utang jatuh temponya kepada International Monetary Fund (IMF) senilai 1,5 miliar euro pada 30 Juni lalu.

Advertisement

Sebenarnya, pemerintah Yunani bisa membayar utang itu karena kreditur bersedia mengucurkan dana talangan baru (bailout) senilai 7,2 miliar euro yang merupakan bagian dari dana talangan 2010 senilai 240 miliar euro. Namun, Perdana Menteri Alexis Tsipras menolaknya karena beratnya syarat yang diberikan.

Untuk itu, referendum harus dilakukan Minggu (5/7) untuk meminta pendapat rakyat Yunani, apakah menerima atau menolak dana talangan baru itu. Hasil referendum inilah yang dinantikan oleh banyak pihak.

Jika hasil referendum menyatakan menerima, Yunani tetap di zona euro, bisa membayar utangnya meski tetap jadi “hamba” kreditur dan tidak memberikan dampak apa pun pada perbaikan ekonomi Yunani yang sudah morat-marit.

Advertisement

Setelah terjerumus dalam krisis utang 2010, PDB Yunani terpangkas sekitar 25%, pertumbuhan makin merosot, di mana tahun ini diperkirakan di level minus 6,4%, tingkat pengangguran terus melonjak ke level 25%.

Lebih memprihatinkan lagi, tingkat pengangguran usia muda mencapai 60%. Kaum muda banyak yang melakukan eksodus. Yunani menjadi negara maju yang rentan secara politik, ekonomi, dan sosial.

Sebaliknya, jika hasil referendum menolak, Yunani akan terlempar dari zona euro, dana kreditur menguap, khususnya dari Jerman dan Prancis, dan menjadi sumber ketidakpastian baru yang akan menimbulkan gejolak di pasar keuangan global dan mengganggu stabilitas ekonomi global yang amat dibutuhkan saat ini.

Advertisement

Meski begitu, ini juga menjadi momentum baik bagi Yunani untuk menentukan masa depan sendiri. Menata kedaulatan ekonominya secara mandiri, tanpa diintervensi oleh pihak lain. Yunani bisa kembali ke mata uang drachma, dapat menjalankan kebijakan devaluasi untuk mendorong daya saing ekspornya. [Baca: Hasil Manipulasi]

 

Hasil Manipulasi
Terjeratnya Yunani ke dalam pusaran utang sesungguhnya telah lama terjadi. Setelah rezim junta militer berakhir 1974 dan berganti menjadi rezim sosialis, kebijakan anggaran defisit ditempuh. Saat itu, pemerintah terus memompa utang untuk membiayai berbagai subsidi, melipatgandakan gaji PNS, membayar tunjangan pensiun, dan tunjangan sosial lainnya.

Alhasil tingkat per kapita Yunani naik meningkat. Meski begitu, ini tumbuh berkat dukungan utang, dan bukan hasil dari produktivitas ekonomi. Akumulasi utang terus berlanjut. Hingga di era 1990-an, total utang melampaui nilai produk domestik bruto (PDB). Saat ini total utang Yunani mencapai US$356 miliar (165% dari PDB).

Pada 2001, Yunani diterima jadi bagian zona euro. Padahal, Yunani tidak memenuhi kualifikasi karena total utangnya dan defisitnya jauh di atas yang disyaratkan 60% dan 3% terhadap PDB.

Mengapa Yunani tetap diterima? Ini tidak terlepas dari manipulasi yang dilakukan oleh rezim saat itu terhadap data statistik makro ekonominya, khususnya defisit dan utang. Bahkan, lembaga pemeringkat turut dilibatkan agar memberikan assessment yang baik.

Masuknya Yunani ke dalam zona euro berimplikasi positif bagi ekonominya. Yunani bisa mendapatkan akses pendanaan murah. Ini membuat moral hazard untuk menumpuk utang. Bukan itu saja, aliran modal global mengalir masuk. Alhasil, pertumbuhannya melejit.

Hingga krisis 2008 mengubah segalanya. Hasil manipulasi terkuak. Yunani tumbuh di atas fundamental yang rapuh. Peringkat Yunani terpangkas dan melejitkan yield surat utang Yunani di pasar modal.  Yunani pun makin kesulitan membayar utangnya. Pada saat bersamaan, penerimaan pajak merosot, akibat maraknya praktik penghindaran pajak yang turut dibekingi oleh birokrasi yang korup.

Pada 2010, Yunani resmi mengajukan dana talangan kepada Troika (Komisi Eropa, ECB, dan IMF) senilai 240 miliar euro dengan bunga yang tinggi dan syarat yang sangat ketat. Perekonomian Yunani justru tidak membaik tetapi makin terperosok ke dalam krisis yang berkepanjangan.

Apa yang terjadi terhadap Yunani bisa jadi cerminan bagi pemerintah, betapa pentingnya mengendalikan utang dan memacu produktivitas perekonomian.

Memang, saat ini rasio total utang terhadap PDB masih relatif aman (25%). Namun, jika menggunakan ukuran lain, kondisi utang Indonesia saat ini justru mengkhawatirkan. Pertama, rasio pembayaran utang terhadap penerimaan ekspor (debt to service ratio/DSR) cenderung naik. Pada 2011, DSR masih di level 21,1% namun saat ini sudah di atas 50%.

Kedua, total utang selalu lebih tinggi dari penerimaan pajak. Sampai Mei 2015, total utang pemerintah mencapai Rp2.843,2 triliun. Padahal, total penerimaan pajak hanya Rp1.489,3 triliun. Pemerintah harus mengalokasikan dana di APBN-P 2015 senilai Rp155,7 triliun untuk membayar bunga utang.

Ketiga, frekuensi penarikan utang baru makin cepat. Dalam lima bulan ini saja, pemerintah menarik utang baru Rp189,3 triliun dari target Rp452,2 triliun. Padahal, salah satu butir dalam Nawacita ialah mewujudkan kemandiran ekonomi. Apakah terus menambah utang sebagai manifestasi dari kemandirian ekonomi?

Memang, pembiayaan dari utang bukanlah strategi yang salah. Malah sesuatu yang strategis, jika itu mengacu pada kriteria seperti memberikan bunga yang kompetitif, tenor yang panjang, memiliki syarat yang lunak, dipakai untuk hal yang produktif, dan dapat melunasinya dari hasil produktivas utang itu.

Nah, saat ini utang baru yang ditarik pemerintah belum sepenuhnya mengacu pada kriteria itu. Pemerintah masih memberikan yield yang relatif tinggi dari setiap penerbitan Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan. Inilah yang membuat itu sangat tertarik mengakumulasi SUN.

Kedua utang selama ini belum ditujukan untuk membiayai sektor-sektor yang produktif. Ini terlihat nyata saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan total utang bertambah sekitar Rp941,5 triliun dan belanja subsidi BBM mencapai Rp1.297,9 triliun. Semoga pemerintahan Joko Widodo-JK tidak terus terlena oleh utang. Sebaliknya, terus memperkuat fundamental ekonomi dan memacu produktivitas ekonomi agar mampu berdiri di kaki sendiri. (JIBI)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif