Kolom
Minggu, 5 Juli 2015 - 08:45 WIB

GAGASAN : Taman, Kota, dan Kita

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Setyaningsih (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (2/7/2015), ditulis Setyaningsih. Penulis saat ini aktif di Bilik Literasi.

Solopos.com, SOLO — Tulisan Halim H.D. Kesadaran Menjaga Ruang Publik Kota di Solopos (24/6) adalah keniscayaan ruang publik berupa taman sebagai penjawab krisis ekologi yang segar dan sehat. Solo mesti berterima kasih kepada Jokowi sebagai pemberi taman, bukan pemberi patung atau tugu peringatan. Hanya, keterbengkalaian sering berjodoh dengan taman. Taman Gajah Putih dan Taman Sekartaji meratapi keindahan yang menjadi suram pada hari-hari telah lelah oleh kerja, sekolah, bisnis, dan berkeluarga.

Advertisement

Sisa-sisa taman yang mati enggan dan hidup pun malas-malasan, jangan-jangan memang hanya menjadi sebentuk keangkuhan pemerintah kota untuk membangun. Taman itu telah ada tapi sulit menjadi representasi keinginan publik dan malah menjadi proyek ambisius. Gairah menaman hanya berpihak kepada pemerintah sang perancang identitas kota yang cantik dan menarik. Kita bisa melihat Solo dan sekitarnya jika dibandingkan dengan ruang hijau di Kota Jakarta atau Bandung, memang masih merasa asing dengan gagasan taman. Ada kecenderungan taman menjadi tempat wisata, bukan tempat lumrah layaknya kebun, rumah, lapangan, atau bahkan cakruk.

Namun, proyek taman memang bukan hanya milik Solo. Setiap kota tengah gencar membangun taman sebagai akses sosial dan hiburan. Taman dibuat dengan pelbagai tema merujuk pada fasilitas yang disesuaikan dengan keumuran. Proyek ambisius juga dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Boyolali dengan membangun taman di bekas kompleks Setda Boyolali di Jl. Merbabu dan membangun kebun raya di wilayah Kampung Indrakilo, Kemiri, Mojosongo. Kebun raya dengan anggaran sekitar Rp15 miliar akan memuat duplikasi air terjun Niagara. Fasilitas bumi perkemahan, hutan tanaman langka, dan plasa masuk dalam daftar rencana (Suara Merdeka, 25/6).

Buat siapa kebun raya Boyolali? Saya yang tinggal di pinggiran Boyolali dan jauh dari pusat kota tentu sulit memiliki kelumrahan untuk bertaman. Apalagi, Boyolali sudah memiliki Taman Kridanggo meski sulit dijadikan ruang publik bermakna. Orang-orang masih gamang dengan penciptaan peristiwa di taman kecuali berfoto, berkencan, atau berpacaran. Duduk-duduk pun orang-orang tidak merasa menikmati kondisi ekologis taman tapi lebih suka menyendiri dengan ponsel pintar di tangan. Sesekali ada anak bermain ditemani orang tua. Warga Boyolali agaknya masih percaya rumah atau kampung, tidak perlu pergi ke taman untuk menemukan ketenangan.

Advertisement

Hal ganjil yang berpotensi merusak imajinasi atas taman dan kebun adalah masuknya “plasa” sebagai fasilitas. Ruang publik tidak berkesungguhan ditunjukkan kepada publik tapi pemberi keuntungan bagi pemerintah. Orang-orang sengaja dialihkan ke taman dan kebun modern sebagai penikmat alam sekaligus penikmat belanja. Keramaian tidak boleh disiakan. Syukur bisa menambah ongkos bagi daerah. Kita tentu merasa lumrah bahwa kini banyak taman bersanding bahkan bergabung dengan pusat perbelanjaan. Pengusaha-pengusaha restoran membuat perjanjian agar bisa membuka peluang bisnis di kompleks taman. Pengunjung taman lebih banyak bukan dari warga sekitar tapi orang-orang asing yang tengah dalam perjalanan liburan atau berbisnis. Taman dan kebun menyiapkan orang-orang melakukan aktivitas beruang dan berbayar. [Baca: Peristiwa]

 

Peristiwa
Koran Tempo (21/6) pernah membahas taman di Jakarta. Taman Ayodya, Taman Menteng, Taman Situ Lembang, Taman Suropati, Lapangan Banteng, dan Taman Ria Rio menjadi idola yang masing-masing memiliki fasilitas unggulan. Taman hampir menjadi rumah kedua bagi wong kutha karena memang mustahil menemukan ruang hijau alami lagi. Krisis ruang hijau telah terjadi di rumah, kantor, kampus, dan lingkungan tempat tinggal. Taman menjadi ruang berolah raga, bermain anak, bersepeda, berkumpul komunitas, dan ber-wifi ria. Betapa sibuk orang Jakarta, mereka harus menaman sebagai cara mereduksi ketegangan menghadapi dunia penuh persaingan. Taman telah menjadi kebutuhan manusia modern untuk bersosial.

Advertisement

Kita tidak ingin taman berlalu untuk membunuh waktu. Taman mesti berkolaborasi dengan peristiwa untuk menciptakan makna. Seperti kemunculam taman bacaan masyarakat (TBM) adalah jalan lain ke kesadaran ekologi dan literasi. Di Jl. Manyar Surabaya ada TBM Taman Flora berlokasi di tengah hutan kota. Kenikmatan berliterasi ada di antara kesejukan taman, kicau burung, dan hawa segar (Republika, 15/5). Orang-orang tahu kenapa ada taman dan harus melakukan peristiwa di taman..

Tempat menjadi ingatan karena manusia menghendaki dengan laku dan rasa. Kini, taman dimuati misi hidup hijau, mengekspresikan seni, bersosialisasi di tengah impitan kesibukan, dan strategi mendefinisikan kota. Pemerintah tidak ingin dianggap egois dengan selalu mengamini pembangunan apartemen, hotel, pusat perbelanjaan, atau gedung perkantoran. Orang-orang membutuhkan waktu komunal berekologi, menghijau dalam ruang buatan ketika yang alami perlahan moksa.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif