Kolom
Sabtu, 4 Juli 2015 - 08:40 WIB

GAGASAN : Budaya Instan Mengguncang Dunia Pendidikan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sujiartono (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (2/7/2015), ditulis Sujiartono. Penulis adalah mahasiswa STAR BPKP 2014 Magister Akuntansi Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Beberapa pekan yang lalu kita dihebohkan dengan berita tentang Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M. Nasir menginspeksi mendadak sebuah kampus yang berada di Jakarta. Dari hasil inspeksi diketahui kampus tersebut mengeluarkan Ijazah yang diduga dinyatakan palsu.

Advertisement

Di zaman yang sudah sangat canggih ini, mendapatkan ijazah tanpa harus menyelesaikan sekolah maupun kuliah sudah sangat mudah didapat oleh berbagai kalangan di masyarakat dengan cara membuat ijazah palsu. Membuat ijazah dan menggunakan ijazah palsu ini adalah tindakan kejahatan yang melanggar hukum. Penggunaan Ijazah palsu bukanlah hal yang aneh lagi sekarang ini. Jumlah oknum yang menerima jasa pembuatan ijazah semakin banyak dan sangat mudah dapat ditemukan di dunia maya sekalipun. Mereka sering memasang iklan di berbagai situs internet untuk mendapatkan konsumen.

Pembuat dan pengguna ijazah palsu akan sama-sama berhadapan dengan sanksi dan ancaman hukuman yang sama beratnya, sesuai pada pasal 263 KUHP tentang pemalsuan data otentik. Bunyi Pasal 263 KUHP Ayat (1): Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun. Selanjutnya, ayat (2): Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barang siapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

Selain dapat dijerat pasal-pasal KUHP, para pembuat dan pengguna ijazah palsu juga dapat dikenakan ketentuan pidana yang termaktub dalam UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, akan terkena hukuman pidana. Khususnya pada Pasal 44 ayat (4) adalah penjara selama 10 tahun atau denda Rp1 miliar. Meskipun demikian tetap tidak membuat jera para pelakunya malah makin menjamur jasa pembuatan ijazah palsu.

Advertisement

Tindakan pemalsuan ijazah dipandang dari segi etika merupakan perbuatan negatif yang melanggar etika. Hal ini sesuai dengan prinsip utilitarianisme yang dikemukakan Jeremy Bentham, suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas sosial yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dapat dilakukan. Tindakan pemalsuan ijazah tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hak dan keadilan di mana keadilan pada hakikatnya adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (to give everybody his own).

Pemalsuan ijazah menjadi perhatian saat ini terkait terduganya para pemakai ijazah palsu adalah seorang PNS bahkan sampai bupati, politisi dan para pejabat negara yang mempunyai kedudukan penting dan strategis di negeri ini. Dengan adanya ijazah yang lebih tinggi, PNS memang sangat diuntungkan untuk mendapat golongan yang lebih tinggi. Kalau dia memiliki ijazah palsu S1, ketika mendaftar dan diterima sebagai CPNS dia akan langsung mendapat golongan IIIA. Hal ini tentu akhirnya tidak sesuai dengan prinsip etika di atas bahwa dia mendapatkan jabatan tidak sesuai dengan kapabilitasnya, tujuan pemerintah the right man and the right place tidak tercapai sehingga berpotensi merugikan negara. Selain itu juga melanggar keadilan dan jelas sangat merugikan bagi yang tidak memiliki ijazah S1 atau memiliki ijazah asli S1, karena mereka dilangkahi pangkatnya atau tidak memiliki kesempatan yang sama dengan mereka yang menggunakan ijazah palsu.

Hal ini juga membuat miris bagi orang tua yang dengan susah payah membanting tulang membiayai anaknya untuk kuliah dan atau bagi orang yang benar-benar menjalankan proses pendidikan di sekolah ataupun perguruan tinggi hingga mendapatkan ijazah. Bukankah sebuah ijazah sesungguhnya dan asli itu mudah untuk diperoleh, kita hanya perlu sekolah atau kuliah yang baik, tentu saja uang bukanlah masalah bagi pemakai ijazah palsu. Atau mungkin masalah waktu bagi mereka tetapi saat ini telah ada universitas yang bisa kuliah jarak jauh dan memakai sistem online di mana para pengajar dapat berkomunikasi dengan mahasiswanya dengan menggunakan media internet dan itu terdaftar di BAN-PT. [Baca: Kultur]

Advertisement

 

Kultur
Dari aspek kultural ada dua kultur negatif yang mempengaruhi munculnya kasus ijazah palsu. Pertama, kultur yang menganggap gelar ijazah sebagai sesuatu yang berstatus sosial, padahal itu adalah sebuah label administratif atas sebuah pencapaian. Kedua, budaya instan masyarakat sehingga muncul upaya-upaya membeli ijazah. Persepsi masyarakat ini harus diubah, jika hal itu tidak segera ditindaklanjuti pendidikan nasional akan terus tercoreng dan kecemburuan sosial di masyarakat akan meningkat. Sebagai langkah konkret diperlukan perbaikan sistem pengawasan pendidikan dan tindakan cepat serta tegas pemerintah dalam komitmen reformasi birokrasi untuk menegakkan integritas di jajaran aparatur negara dapat benar-benar segera diterapkan. [JIBI]

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif