Soloraya
Jumat, 3 Juli 2015 - 20:50 WIB

JAMINAN HARI TUA : Serikat Pekerja Siapkan Aksi Massa, Buruh di Solo Siap Turun ke Jalan

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Petugas BPJS melayani tenaga kerja. (JIBI/Bisnis/Dok)

Jaminan hari tua dari BPJS menuai kontroversi setelah peraturan pemerintah menetapkan pencairan baru bisa dilakukan setelah 10 tahun.

Solopos.com, SOLO—Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Solo menentang penerapan aturan baru Jaminan Hari Tua (JHT) dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Pekerja mulai menyiapkan aksi massa apabila aturan baru tak segera direvisi.

Advertisement

Wakil Ketua KSPSI Solo, Wahyu Rahadi, saat berbincang dengan solopos.com, Jumat (3/7/2015), mengatakan penerapan aturan baru JHT sudah menjadi isu bersama yang harus ditanggapi kritis kalangan buruh. Pihaknya mendesak pemerintah merevisi UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan PP No.46/2015 yang melandasi model baru pencairan JHT.

Regulasi baru mengatur pengambilan JHT setelah masa kepesertaan 10 tahun dengan pengambilan JHT hanya 10% atau 30% untuk pembiayaan perumahan. Saldo JHT baru bisa diambil penuh memasuki usia 56 tahun. “Kalau pemerintah tidak merevisi aturan yang merugikan buruh ini, turun ke jalan adalah keniscayaan,” ujarnya.

Wahyu mengaku mulai melakukan kontak dengan para aktivis pekerja terkait penyikapan aturan JHT. Saat ini pihaknya masih menunggu iktikad baik pemerintah agar berkebijakan sesuai keinginan rakyat. Sambil mengamati dinamika aturan, KSPSI mendesak adanya masa transisi dari aturan pencairan JHT minimal lima tahun kepesertaan menjadi 10 tahun kepesertaan.

Advertisement

Hal ini lantaran pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan dianggap tidak transparan dalam menyosialisasikan program sebelumnya. “Bagaimana bisa PP baru diteken 29 Juni, dua hari kemudian langsung beroperasi tanpa sosialisasi. Ini sama saja mengelabui rakyat.”

Wahyu mengatakan penerapan JHT saat ini sangat tidak menguntungkan bagi peserta yang di-PHK atau berhenti bekerja sebelum usia 56 tahun. Sebab warga harus menunggu hingga usia tersebut untuk mencairkan JHT secara total. Adapun rata-rata perusahaan menerapkan batas pensiun 55 tahun. “Artinya peserta minimal harus menunggu setahun untuk mengambil haknya.”

Ketua DPD Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Jateng, Suharno, mengatakan penerapan aturam baru JHT sangat memberatkan pekerja khususnya kalangan perempuan. Suharno mengatakan banyak pekerja perempuan yang berhenti bekerja di bawah usia 56 tahun demi prioritas lain.

Advertisement

“Banyak yang berhenti di usia 30-40 tahun, entah itu di-PHK atau mundur. Dengan aturan baru otomatis mereka tidak dapat segera mengakses JHT untuk modal usaha,” kata dia.
Suharno memertanyakan aspek kemanfaatan iuran JHT jika harus ngendon terlalu lama di kas BPJS Ketenagakerjaan. Menurutnya dana itu akan lebih berdampak pada rakyat jika dapat diambil penuh minimal lima tahun saat sudah tidak bekerja sesuai aturan lama.

“Kalau modelnya seperti sekarang, jelas BPJS yang diuntungkan. Pengembangan saldo otomatis lebih besar karena dana dihimpun dalam waktu lebih lama.”

Suharno menambahkan buruh di Jateng kini seperti jatuh tertimpa tangga. Serentak dengan penerapan aturan baru JHT, di provinsi itu berembus kabar rencana PHK besar-besaran oleh pengusaha.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif