Kolom
Jumat, 3 Juli 2015 - 08:40 WIB

GAGASAN : Politisasi Ramadan di Tahun Pilkada

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bonnie Eko Bani (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (30/6/2015), ditulis Bonnie Eko Bani. Penulis adalah alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan tinggal di Sukoharjo.

Solopos.com, SOLO — Bulan Suci Ramadan datang beberapa bulan sebelum pemilihan kepala daerah (pilkada) 2015. Aktivisme politik praktis yang mengincar kursi kekuasaan terus berjalan tanpa jeda sesaat pun. Hal ini memunculkan kesan politisasi Ramadan demi kepentingan politik (kekuasaan) semata. Para politikus lokal yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah menampakkan kesalehan wajah maupun ritualnya.

Advertisement

Namun, kesalehan sosial politik tidak muncul ke permukaan. Perilaku negatif politik, terutama korupsi, malah semakin menggila. Pencitraan politik yang menjual kepalsuan dan merayakan kemegahan diri semakin mewarnai fenomena animalitas politik di Bulan Suci ini.

Ramadan yang bertepatan dengan tahun pilkada ini betul-betul dimanfaatkan politikus untuk menampilkan diri sebagai sosok-sosok saleh dan dermawan. Bila kita melihat di jalan-jalan khususnya yang strategis, banyak bertebaran baliho, spanduk, maupun papan reklame yang memajang wajah-wajah politikus yang berminat menjadi kepala daerah. Dandanan mereka menampilkan identitas maupun simbol-simbol agama. Kalau lelaki berpeci atau berbaju koko sedangkan yang perempuan berkerudung atau berjilbab.

Advertisement

Ramadan yang bertepatan dengan tahun pilkada ini betul-betul dimanfaatkan politikus untuk menampilkan diri sebagai sosok-sosok saleh dan dermawan. Bila kita melihat di jalan-jalan khususnya yang strategis, banyak bertebaran baliho, spanduk, maupun papan reklame yang memajang wajah-wajah politikus yang berminat menjadi kepala daerah. Dandanan mereka menampilkan identitas maupun simbol-simbol agama. Kalau lelaki berpeci atau berbaju koko sedangkan yang perempuan berkerudung atau berjilbab.

Wajah penuh kekhusyukan dan senyum termanis disunggingkan. Di samping atau bawah gambar mereka, tercantum kata-kata religius “Selamat menunaikan ibadah puasa” atau ayat-ayat kitab suci. Tak lupa tentunya, promosi diri berupa nama lengkap sekaligus gelarnya, visi-misi maupun partai pengusungnya.

Di media massa cetak, elektronik, maupun online fenomena serupa juga terjadi. Di televisi, pemirsa disuguhi iklan ucapan selamat berpuasa dari politikus dan partai pengusung dengan tampilan religius. Di media sosial Facebook, Twitter, dan lainnya, banyak berseliweran foto, status maupun tweet terbaru para politikus yang menampilkan diri sebagai sosok yang agamis.

Advertisement

Animalitas
Namun, “kesalehan” sebagian politikus ini akan hilang tanpa bekas ketika Ramadan berlalu. Perilaku koruptif akan menggantikan wajah politikus kita. Entah kapan akan berhenti transaksi politik itu. Selama ini, masyarakat mendapatkan fragmen korupsi elite tak habis-habisnya. Kasus suap dan korupsi, perempuan bayaran, rekening gendut pejabat publik, estafet korupsi pegawai pajak, video porno pejabat legislatif-eksekutif, hingga narkoba adalah kasus yang tak lekang dari pemberitaan media massa.

Tak heran bila ada seloroh yang mengartikan politikus “poli” artinya “banyak” dan “tikus” adalah “tikus atau hewan pengerat segala”. Artinya “banyak hewan pengerat” dalam panggung politik di daerah maupun pusat. Parahnya pengeratan uang rakyat tersebut dilakukan tanpa etika, rasa malu, dan bersalah. Inilah yang oleh Yasraf Amir Piliang (2013) disebut sebagai animalitas politik. Politik tereduksi makna pelakunya dari manusia ke binatang. Animalitas politik menampakkan laku politik yang berinsting kebinatangan yang merayakan nafsu, kepuasan, keserakahan, materialitas, kekuasaan, kebiadaban, dan ketiadaan nalar.

Membersihkan Berhala (Politik)

Advertisement

Ketika sifat-sifat animalitas mendominasi laku politik di daerah, cara kerjanya juga dilandasi prinsip-prinsip animal atau binatang. Akibatnya, bangunan arsitektur demokrasi lokal kita sekarang ini berisi: kawanan (koruptor), kerumunan (elite partai), umpan (perempuan bayaran), pemburu (kekuasaan), petarung (modal), pemangsa (sesama), dan predator (rakyat).

Kondisi tersebut mengejawantahkan tesis Hobbes tentang manusia (politik) sebagai homo homini lupus, manusia adalah serigala pemangsa bagi manusia lainnya. Manusia pemangsa ini bukan karena mekanisme identifikasi diri, melainkan karena aktifnya insting animalitas dalam diri manusia (politik).

Kondisi ini sejalan dengan Aristoteles yang melukiskan manusia sebagai animal rationale, entitas yang tidak saja memiliki kapasitas bernalar sekaligus energi kebinatangan. Namun, menurut Agamben (2004), kapasitas nalar tersebut menjadi tak bermakna bila energi animalitas mengendalikan pikiran dan tindakan manusia politik (Piliang, 2013). Hal tersebut membuat manusia dalam posisi becoming animal.

Advertisement

Energi animalitas mengubur segala kapasitas humanitasnya yang penuh: nalar-rasional, etika, dan makna atau nilai. Politik lokal pun menjadi dunia animalitas, kala manusia (politik) menanggalkan kapasitas humanitasnya dan hidup dalam paradigma animal, yang mengamini diri manusia sebagai binatang politik.

Maka, kita berharap Ramadan ini memberkahi manusia politik. Agar mereka tidak makin jauh terperosok dalam lembah animalisasi politik. Sakralnya Ramadan semoga mampu bermakna spiritual-transformatif bagi politikus. Dengan rehumanisasi politik, mereka mampu meluhurkan kembali humanitas politik dalam aktivisme politik lokal keseharian. Harapannya, Ramadan tidak dipolitisasi untuk kepentingan elite politik untuk mendapatkan kekuasaan dan mengembalikan modal politik mereka.

Ramadan bisa meluhurkan kembali keadaban politik daerah dan memaknainya sebagai ibadah untuk menuju pribadi takwa. Tanpa melupakan hakikat politik sebagai upaya mengatur kehidupan bersama untuk menyejahterakan rakyat. Seperti kata Mustofa Bisri dalam puisinya: … Ramadan adalah saat tepat untuk kerja bakti membersihkan berhala-berhala (politik praktis kekuasaan daerah) yang secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi kita puja selama ini.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif