Kolom
Selasa, 30 Juni 2015 - 07:40 WIB

KOLOM : Dana Aspirasi dan Modus Itu…

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mulyanto (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (29/6/2015), ditulis wartawan Solopos Mulyanto Utomo.

Solopos.com, SOLO — Penampilannya seperti pria-pria terhormat lainnya. Memakai baju lengan panjang, putih bersih, berdasi, baunya tentu wangi parfum bermerek. Cara berjalan dan bicaranya pun diatur sedemikian rupa, terjaga agar tetap terlihat berwibawa.

Advertisement

Ya, dia memang pria penting di negeri ini. Paling tidak di kota ini. Dia adalah salah seorang elite sebuah partai politik yang secara kebetulan bertemu dengan kawan saya saat mengadakan buka puasa bersama beberapa waktu silam.

Bagi teman saya, berjumpa dengan sosok orang penting seperti itu tentu saja membanggakan sekaligus menjadi sebuah peluang. Sebab, pria terhormat seperti itu pasti punya banyak koneksi yang diharapkan bisa ikut memajukan perguruan tinggi yang dia kelola.

Advertisement

Bagi teman saya, berjumpa dengan sosok orang penting seperti itu tentu saja membanggakan sekaligus menjadi sebuah peluang. Sebab, pria terhormat seperti itu pasti punya banyak koneksi yang diharapkan bisa ikut memajukan perguruan tinggi yang dia kelola.

Bak gayung bersambut, perbincangan keduanya ternyata sesuai dengan arah yang kehendaki kawan saya. Sang pria perlente tadi kemudian menawarkan diri membantu pembiayaan dengan nilai miliaran rupiah. Kabarnya ada “dana aspirasi” di setiap departemen yang bisa dikucurkan. “Yang penting segera saja bikin proposal, nanti saya yang usahakan dananya dari ‘pusat’,” kata pria yang terhormat tadi.

Singkat cerita, proposal pengembangan perguruan tinggi yang dikelola kawan saya telah dibuat. Berombongan dengan pimpinan lainnya mereka sowan ke lelaki yang memang berkantor di gedung perwakilan rakyat itu. Harapan seolah segera berubah menjadi sebuah kenyataan.

Advertisement

Perbincangan soal rencana penggunaan dana yang akan dikucurkan dari ‘pusat’ itu pun menghangat. Kawan saya menguraikan segala macam rancangannya yang akan menggunakan dana itu untuk membangun laboratorium komputer dengan segala peranti multimedia lengkap.

Sekian puluh menit dialog berlangsung. Dana hibah Rp4,5 miliar katanya sudah disediakan. Sampai kemudian perbincangan mendadak berubah menjadi kaku, serba kagok. Apa yang terjadi? Ternyata di akhir pembicaraan, pria terhormat itu menyampaikan syarat terakhir agar dana itu bisa mengucur.

“Kami [bukan saya] tentu saja meminta fee dari dana yang akan dikucurkan ini, besarnya cukup 40%. Akan tetapi laporan surat pertanggungjawabannya [Spa] nanti tetap harus 100% lo ya. Bagaimana, sanggup?” tanya sang pria terhormat masih dengan gaya bahasa yang terjaga, berwibawa.

Advertisement

Dalam hitungan sekian detik kawan saya beserta kawan-kawannya, pimpinan sebuah perguruan tinggi swasta itu pun saling pandang. Mereka tidak lagi semringah membayangkan bakal mendapat dana hibah miliaran rupiah.

Yang tersisa hanya kekecewaan. Mana mungkin merekayasa laporan pertanggungjawaban dana yang jumlahnya miliaran rupiah secara fiktif padahal 40% dananya ditilap “perampok berdasi” tadi. “Mohon maaf kami tidak berani membuat laporan fiktif , lebih baik kami batalkan saja,” kata teman saya mengakhiri pertemuan dengan pria terhormat yang ternyata tak lebih dari seorang calo.

Cerita seperti itu ternyata bukan satu-satunya modus elite partai mencari dana siluman. Kawan saya yang lain, seorang pengurus masjid, bahkan terang-terangan menulis di laman akun Facebooknya mengenai pengalaman yang mirip: “Dulu pernah masjid  ditawari bantuan dari anggota DPR dengan catatan 30% untuk fee-nya. Tapi SPj-nya 100%. [Kebetulan gak mau ambil]. Lha nggak tahu kl skrg….modusnya gmn?”. [Baca: Gerogoti Uang Negara]

Advertisement

 

Gerogoti Uang Negara
Begitulah. Satu persatu cerita tentang bagaimana modus-modus dilakukan elite partai, orang dekat partai, atau siapa pun dia mencari uang dari konstituen dilakukan. Muaranya selalu satu, mengeruk uang rakyat dengan cara-cara yang tidak sehat.

Jadi jangan heran jika akhir-akhir ini usulan dana aspirasi yang sudah disahkan oleh DPR mendapat tentangan keras dari berbagai lapisan masyarakat. Rakyat sudah paham, kami mahfum, praktik-praktik menggerogoti uang negara yang pada dasarnya adalah uang rakyat itu bakal lebih leluasa dilakukan.

Seperti telah diberitakan berbagai media, anggota DPR telah mengesahkan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang lebih populer disebut dana aspirasi senilai Rp11,2 triliun. Dana aspirasi itu nantinya akan dibagikan kepada masyarakat di daerah pemilihan masing-masing anggota Dewan senilai Rp20 miliar.

Jika dihitung setiap anggota DPR menerima Rp20 miliar maka Pulau Jawa yang mengirimkan 306 wakil di DPR akan mendapat lebih dari setengah dana UP2DP atau setara Rp6,12 triliun, Sumatra mendapat alokasi dana terbesar kedua Rp2,46 triliun, Sulawesi Rp880 miliar dan Kalimantan Rp700 miliar. Sementara tiga pulau yang mendapat alokasi dana terkecil adalah gugusan Pulau Nusa Tenggara Rp460 miliar, Papua Rp260 miliar, Bali Rp180 miliar dan Maluku Rp140 miliar.

Terlepas dari nilai serta mekanisme penggunaannya nanti, sebagian rakyat rupanya sejak awal sudah curiga bahwa usulan dana aspirasi itu tak lebih dari akal-akalan elite partai untuk mengambil keuntungan secara finansial dengan cara legal. Mereka membuat aturan agar bisa memperoleh dana dari negara dengan cara lebih gampang.

Sependapat dengan ekonom dari Institute for Development of Economics an Finance (Indef) Enny Sri Hartati bahwa dana aspirasi itu tidak memiliki landasan rasional ataupun argumentasi akademis . Selain akan memperlebar peluang ketimpangan antardaerah, dana yang dikucurkan tanpa melewati mekanisme APBN itu sangat rawan dikorupsi.

Bagi saya, dana aspirasi itu tidak memiliki esensi kuat untuk dikucurkan. Kalau pun misalnya tiap-tiap anggota Dewan igin membuat perencanaan pembangunan basisnya tentu saja kepada tingkat persoalan bukannya tingkat keterwakilan.

Seperti yang dikatakan Cal Thomas seorang kolumnis , cendekiawan , penulis dan komentator radio di AS; One of the reasons people hate politics is that truth is rarely a politician’s objective. Election and power are, atau jika diartikan secara bebas adalah salah satu alasan mengapa orang-orang membenci politik adalah “kenyataan” tidak menjadi tujuan dari politisi. Tujuan sesungguhnya hanyalah pemilu dan kekuasaan.

Jadi soal janji palsu, mblenjani janji, teori-teori menyejahterakan rakyat dan sejenisnya itu sebagian besar di antaranya hanyalah modus untuk meraih kekuasaan…

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif