Kolom
Sabtu, 27 Juni 2015 - 09:00 WIB

GAGASAN : Kesadaran Menjaga Ruang Publik Kota

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Halim H.D (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (24/6/2015), Halim H.D. Penulis adalah networker kebudayaan yang tinggal di Solo.

Solopos.com, SOLO — Dua pekan lalu Jokowi bukan hanya menghadirkan perhelatan akbar perkawinan putra pertamanya Gibran Rakabuming Raka dengan Putri Solo 2009 Selvi Ananda yang membuat Solo dikunjungi belasan ribu tamu selain tujuh ribuan tamu resmi.

Advertisement

Peristiwa itu oleh pengamat sosial budaya dianggap sebagai perhelatan keluarga yang paling bermakna dalam satu dekade terakhir ini di Indonesia.

Di antara kemeriahan yang mengundang perhatian berbagai kalangan dan melibatkan berbagai unsur sosial di Kota Solo, satu hal yang membuat kita ikut bergembira dan sekaligus membutuhkan perhatian yakni kado Jokowi berupa peembangunan taman di bantaran Kali Gajah Putih (Solopos edisi Sabtu [13/6]) dengan biaya dari uang pribadi.

Proyek ini terasa mengesankan bukan karena dia datang dari seorang presiden yang berasal dari Solo, tapi karena terasa masih ada keterlibatan secara personal, suatu relasi sosio-kultural-ekologi, yang demikian kuat dengan Kota Solo dan dengan uang sendiri.

Advertisement

Selama ini kita mengenal suatu pola instruktif yang berangkat dari selera pribadi yang dimasukkan ke dalam proyek resmi, misalnya pendirian patung pahlawan atau membangun gedung untuk tujuan mengingatkan publik kepada pemimpin pada masa jabatannya.

Pola demikian ini sering kali tanpa landasan kesejarahan yang kuat. Selera sejarah memang sering ditentukan oleh seorang pemimpin yang kebetulan memiliki jabatan.

Hal lain yang lebih menarik, sangat mungkin taman di bantaran Kali Gajah Putih itu sejenis wujud rasa syukur berkaitan dengan perkawinan anak Jokowi dan sebagai pertanda suatu keluarga memberikan tanda pada suatu lahan yang selama ini tidak terurus bahkan oleh instansi yang berwenang.

Advertisement

Dengan kata lain, kado Jokowi berupa taman di bantaran Kali Gajah Putih itu memiliki  nuansa spirit kultural dan ekologis yang secara tidak langsung sebagai suatu model keterlibatan seorang presiden sebagai warga suatu kota.

Berkaitan dengan hal inilah kita bisa merasa bergembira bahwa sejak Jokowi mulai mengelola Kota Solo berbagai taman, walaupun tidak fenomenal, tumbuh tersebar di berbagai penjuru Kota Solo.

Kesinambungan pola pikir dan tindakan tampaknya menjadi kian mengesankan karena masalah taman memang menjadi persoalan kota-kota di Indonesia: banyak ruang publik dalam bentuk taman kian menyusut dan berubah menjadi ruang bisnis atau ekonomis.

Salah satu akibat penyusutan ruang publik taman itu, akibat ruang publik dijadikan komoditas, kota mengalami krisis ekologis dan pada aspek sosial berkurangnya ruang publik mengakibatkan kian menghilangnya keakraban warga: rendezvous sosial tak lagi terjadi dan tak lagi ada dialog antarwarga.

Dari perspektif taman sebagai ruang publik inilah sebenarnya proses kebudayaan kota terbentuk melalui petemuan informal, dialog, atau rendezvous sosial dari berbagai keluarga dan komunitas.

Perkembangan kota di Indonesia dalam proses moderenisasi berbentuk pembangunan ekonomi mengalami sejenis keretakan sosial akibat percepatan pertumbuhan yang tidak merata.

Jurang sosial ini akan mengakibatkan gejolak sosial dalam berbagai bentuk, seperti kerusuhan sosial dan konflik antarwarga akibat kecemburuan yang ditimbulkan oleh pola konsumsi yang ditentukan posisi sosial ekonomi yang berbeda yang didorong oleh konsumerisme dalam berbagai bentuk yang menciptakan impian-impian palsu.

Di antara rasa gembira itu kita juga harus secara kritis bukan hanya dalam memandang taman sebagai bagian penting suatu kota tapi juga di dalam praktik pemeliharaan taman. [Baca: Ruang Publik Mubazir]

 

Ruang Publik Mubazir
Misalnya dalam kasus Taman Sekartaji. Di taman yang dibangun sejak periode Jokowi mengelola Kota Solo hingga kini kita belum benar-benar merasakan taman tersebut sebagai bagian peradaban warga untuk melakukan rendezvous sosial.

Kita bisa menyaksikan Taman Sekartaji yang tampak suram, kurang penerangan, dan kebersihan yang tak terjaga. Akibatnya Taman Sekartaji terasa seperti ruang publik yang mubazir.

Hal ini sangat mungkin disebabkan tidak adanya keterlibatan warga setempat sebagai pemelihara wilayah taman itu. Inilah salah satu kelemahan pihak pengelola dalam pemeliharaan ruang publik yang seakan-akan hanya milik pemerintah kota dan yang berkewajiban hanya instansi pertamanan.

Salah satu prinsip terpenting dalam memelihara taman sebagai ruang publik adalah menumbuhkan rasa memiliki, rumangsa  handerbeni, di kalangan warga agar warga bukan hanya bisa menikmati tapi juga memeliharanya.

Berkaitan dengan itulah, perlu bagi pengelola kota merumuskan bagaimana langkah selanjutnya dengan menyusun rencana kerja pengelolaan taman Kali Gajah Putih dan Taman Sekartaji serta taman-taman lainnya. Formula teknisnya tentu dengan menyerahkan taman itu kepada warga.

Kegembiraan kita dengan kado Jokowi itu hendaknya bukan hanya gembira karena menerima kado, tapi juga bagaimana menjaga dan mengembangkan spirit ekologi kultural. Spirit ini hendaknya diletakkan dalam kebersamaan warga memelihara taman-taman.

Dengan demikian warga bukan hanya menikmati, tapi juga tumbuh kesadaran ekologis perkotaan khususnya di kalangan kaum muda dan anaka-anak sebagai pemilik masa depan ruang publik perkotaan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif