Kolom
Jumat, 26 Juni 2015 - 08:40 WIB

GAGASAN : Kabinet Jokowi Dilihat, Diikuti, dan Dipotret

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M. Fauzi Sukri (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (25/6/2015), ditulis M. Fauzi Sukri. Penulis adalah peminat filsafat pendidikan,  ekonomi politik,  dan filsafat agama.

Solopos.com, SOLO — “Saya ingatkan bahwa kita selalu dilihat, diikuti, dan dipotret oleh media” (Presiden Joko Widodo).

Advertisement

Kadiroen berdandan. Dengan pakaian palsu, ia menyamar seperti orang Arab, layaknya seorang mindring yang mengutangkan kain pelakat dan kain kebaya kepada penduduk desa.

Dengan pakaian begitu maka ia akan mendapatkan keterangan yang sebenarnya dari rakyat. Kadiroen akan mendatangi tiga atau empat desa dalam sehari di setiap onderdistrik. Dalam empat hari, pekerjaan itu akan bisa selesai.

Demikianlah usaha dan strategi kepemimpinan Wedana Kadiroen sebagaimana ditulis novelis Semaoen (2000: 81) pada 1919 di penjara. Novel itu berjudul Hikayat Kadiroen.

Wedana Kadiroen, yang selalu ingat keperluan nasib rakyat di distriknya dan yang selalu bekerja untuk rakyat siang malam, harus menyamar saat melakukan kerja inspeksi dan kerja investigasi agar mata rakyat tidak melihatnya sebagai seorang penggedhe yang menakutkan rakyat.

Dengan penyamaran ini, Kadiroen bisa mendapatkan informasi yang berani dan terus terang dari rakyat, tentang para pemimpin dan terutama tentang kebijakannya sendiri.

Kerja politik Kadiroen tentu tidak mendamba media atau kamera agar tindakan politiknya dilihat, diikuti, dipotret, lalu tersebar dan dikatahui rakyat melalui berbagai media.

Kita memang sesekali pernah mendengar perilaku strategi politik ala Kadiroen itu sejak zaman dahulu. Zaman berubah dan sebagian (cukup) besar dipengaruhi perkembangan media sejak politik Indonesia modern bergerak bersama media massa.

Advertisement

Perilaku politik ala Kadiroen tak mungkin dilakukan di zaman teknologi informasi mutakhir. Kita tahu siapa pejabat-pejabat kita, apalagi presiden kita. Dan media selalu saja meliput mereka untuk kita—meski tak secanggih Wikileaks.

Tak banyak tempat ngumpet bagi para pejabat di hadapan media massa. ”Saya ingatkan bahwa kita selalu dilihat, diikuti, dan dipotret oleh media. Meskipun ekspose media belum tentu mewakili kinerja pemerintah, perlu saya sampaikan, media sebagai pembawa pesan akan membentuk sebuah persepsi terhadap kinerja pemerintah,” kata Presiden Joko Widodo (Kompas, Rabu [7/1]).

Presiden Jokowi sangat sadar tentang efek dan efektivitas media bagi pemerintah dan kepada rakyat. Tampaknya Jokowi tak ingin mengulangi kesalahan yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sering kali bersikap agak sinis terhadap pemberitaan media dan media sering menilainya dengan agak kurang simpatik khususnya pada periode kepemimpinannya yang kedua.

Presiden Jokowi tak ingin melakukan dan mendapatkan hal ini. Sejak awal, dalam rapat paripurna kabinet beberapa waktu lalu itu, Jokowi memperlihatkan pemberitaan 343 media (cetak, online, audio visual) selama tiga bulan terakhir kepada para menteri dan pejabat lembaga tinggi negara.

Betapa menggiurkannya nilai berita pemerintahan Jokowi itu. Tentu saja berita ini juga, pada akhirnya, pasti semakin tersebar dan berjaringan dalam media-media sosial yang hadir dalam kehidupan masyarakat. [Baca: Posisi Baru]

 

Posisi Baru
Dalam beberapa hal, perhatian Jokowi terhadap media massa hampir sama dengan perhatian Presiden Soeharto. Tentu saja, perhatian penguasa Orde Baru itu lebih bersifat negatif dan represif.

Advertisement

Dalam kasus Presiden Jokowi, perhatiannya lebih bersifat positif dan interaktif—setidaknya yang kita lihat sejauh ini. Pada masa Orde Baru, Departemen Penerangan—yang tak mesti menerangi, tapi bisa juga menggelapkan bahkan meneror—adalah lembaga aparatus negara yang paling berkuasa pada masa Orde Baru.

Departemen itu punya dua peran yang sangat vital: sebagai aparatus penerangan segala kebijakan pemerintah pusat ke bawah dan sebagai aparatus kebijakan ekonomi (Dhakidae, 2003).

Departemen Penerangan adalah pengontrol otak dan sistem berpikir para pejabat dan masyarakat Indonesia. Tentu saja sebutannya tidak seseram ”pengontrol otak’, tapi lebih halus, ”jurnalisme pembangunan” dengan sistem ”pers [jurnalisme] Pancasila”.

Adalah keniscayaan tatkala reformasi bergulir pada 1998, yang dituntut pertama kaum reformis adalah kebebasan berpendapat (juga berserikat), khususnya kebebasan untuk pers, yang dikabulkan oleh Presiden B.J. Habibie.

Liberasisasi media massa terjadi, terbitan pers muncul membeludak. Berikutnya, dalam kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, Departemen Penerangan dibubarkan.

Sejak saat itu, posisi pemerintah bukan lagi sebagai penerang, pelihat, apalagi pengontrol masyarakat Indonesia dalam berpikir dan melakukan berbagai aktivitas sosial politik ekonomi.

Seperti dalam kasus kepemimpinan Jokowi, posisi kabinet pemerintah dilihat, diikuti, dan dipotret oleh media dan masyarakat. Tentu saja tidak dengan sendirinya masyarakat (sipil biasa) bisa menjadi pengendali utama media massa.

Advertisement

Indonesia hampir tak memiliki sejarah pers nonpartisan yang kuat dan dominan seperti di negara-negara demokratis Barat di luar lingkungan penguasa politik, pemerintah, dan pengusaha.

Sejak berakhirnya ”pers perjuangan” yang dominan pada tahun-tahun awal nasionalisme dan kemerdekaan, dilanjutkan pers yang diabdikan kepada pemerintahan, sekarang para analis media massa mulai mencemaskan konglomerasi media massa di tangan beberapa pengusaha (David T. Hill dan Krishna Sen, 2007; Anett Keller, 2009; Ignatius Haryanto, 2014).

Yang dikhawatirkan dalam berbagai penelitian itu adalah hilangnya otonomi dan independensi pemberitaan media massa akibat intervensi kuasa modal. Jangan-jangan yang dilihat, diikuti, dipotret, dan dikritik media massa adalah yang menguntungkan pemerintah dan pengusaha, bukan masyarakat Indonesia.

Masyarakat lebih banyak dihibur, dibahagiakan, dan diberi hadiah kalau perlu, daripada diberdayakan pemikiran, kepedulian, dan kekritisannya. Rakyat mungkin lebih banyak diperdaya daripada diberdayakan.

Kecemasan ini ada benarnya, tapi menjadi tak terelakkan saat Indonesia membuka lebar sistem ekonominya dalam bisnis media. Yang punya modal boleh berkuasa. [Baca: Masyarakat Warga]

 

Masyarakat Warga
Setelah liberalisasi pers seakan berujung pada konglomerasi media massa, kita mendapati media baru yang cukup menjanjikan: media sosial—tentu saja kita sangat mengapresiasi pers yang independen yang masih banyak kita temukan.

Advertisement

Bisa dikatakan media sosial adalah media massa yang sesungguhnya dalam sejarah media manusia. Hampir tidak ada kontrol penguasa, tak ada sensor berita, tak ada dewan redaksi, tak ada eufemisme bahasa, dan siapa saja boleh bersuara.

Itu baru separuh, yang agak utopis dan angan-angan tak cerdas. Hanya melihat dari potensi teknologi media sosial sendiri, bukan dari masyarakat warga (civil society) yang sebenarnya menjadi fondasi dan basis utama media sosial dan masyarakat demokratis.

Masyarakat warga pertama-tama tidak ditentukan oleh teknologi atau media yang didukung secanggih apa pun gadget yang dimiliki. Kita tahu bocah cilik juga pandai menggunakan teknologi informasi yang canggih, tapi hanya sebagai konsumen pengguna, bukan sebagai pemberdaya teknologi informasi.

Seorang anggota masyarakat warga, pertama, ditentukan oleh keberdayaan rasionalitas akal budi sebagai bagian dari masyarakat. Ia adalah individu yang punya kesadaran diri, memberdayakan diri dengan pengetahuan, tak membiarkan otaknya didikte tanpa daya kritis, tak membiarkan emosinya hanyut dalam fanatisme massa (agama atau etnis) tanpa bisa mengambil sikap dewasa rasional, waspada terhadap berbagai informasi yang bias, provokatif, dan menyesatkan.

Yang kedua, seorang anggota masyarakat warga secara sadar menentukan sendiri sikapnya untuk ikut serta dalam komunikasi massa persoalan-persoalan kepublikan bersama. Ini bukan individualisme yang egoistis, tapi individu yang bertanggung jawab pada diri sendiri dan masyarakat (Budi Hardiman, 2014).

Dalam media sosial kita memang mendapatkan ruang publik yang cukup menjanjikan bagi kebebasan dan emanispasi, hal krusial untuk berdemokrasi, namun kita juga mendapati fakta bahwa masyarakat media sosial sering tak lebih daripada masyarakat massal (mass society) yang dangkal, culas, sinis, fanatik, tak kritis, berorientasi pada narsisme diri pribadi, bukan kepublikan.

Kita lebih banyak menghadapi masyarakat yang lebih cerewet secara masif, masyarakat satu detik sekejap klik like atau dislike, masyarakat maksimal 140 kata, dan yang isi komunikasinya tidak sungguh menjadi perhatian bagi kepentingan kepublikan.

Advertisement

Media sosial mungkin malah menghasilkan masyarakat curiga nan cemas masif yang narsis. Belum lagi, dalam media sosial virtualitas kepublikan masyarakat warga harus segera direalisasikan dalam realitas riil kepublikan bersama—termasuk melalui media konvensional.

Yang virtual harus mendukung sosial politik riil. Di sini, membayangkan masyarakat media sosial sebagai masyarakat warga yang melihat, mengikuti, dan memotret para penguasa (juga pada media massa sendiri) yang kritis masih menjadi sebuah harapan daripada realitas yang bisa kita andalkan.

Harapan yang kita hadapi sejak Wedana Kadiroen sampai sekarang secara umum masih sama: keterangan yang sebenarnya dari rakyat, yang berbasis pada rasionalitas akal budi, yang dikemukakan dengan jujur tanpa ketakutan atau fanatisme yang dangkal. Juga dari pemerintah.

Media massa yang bagus, baik yang konvensional atau pun new media (seperti media sosial), bukan yang mampu menghasilkan massa pengagum fanatik, tapi yang berani membangun individu-individu dewasa dan kritis yang secara sadar mengiikuti persoalan kepublikan masyarakat.

Dengan ini, kata-kata Presiden Jokowi pada para menteri dan pejabatnya: Saya ingatkan bahwa kita selalu dilihat, diikuti, dan dipotret oleh media, bisa bermakna banyak bagi rakyat (media) Indonesia.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif