Jogja
Rabu, 24 Juni 2015 - 06:20 WIB

PERNIKAHAN DINI : Peninjauan Usia Ditolak, MK Melanggengkan Perkawinan Anak

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pernikahan (magforwomen.com)

Pernikahan dini untuk peninjauan batas usia ditolak MK.

Harianjogja.com, JOGJA– Mahkamah Konstitusi (MK) menolak peninjauan kembali UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, terutama pasal 7 ayat 1 tentang batas usia perkawinan.

Advertisement

Batas usia perkawinan perempuan tetap 16 tahun, usia yang sebenarnya masih tergolong anak.
Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhadjir Darwin menilai keputusan mayoritas anggota majelis hakim MK memang mengecewakan karena tidak pro-terhadap persoalan perempuan dan anak. Pada prakteknya, anak perempuan di Indonesia yang belum mencapai usia 16 tahun bisa mendapatkan izin untuk menikah apabila mendapat dispensasi dari hakim pengadilan.

Menurut Muhadjir, Pasal 7 UU Perkawinan merupakan “pasal karet”. Pada ayat 1 sudah diatur dengan jelas tentang batas usia perkawinan. Namun, pada ayat 2, hakim pengadilan justru diberi kewenangan untuk melanggengkan perkawinan meski usia pihak perempuan masih di bawah batas usia perkawinan.

“Adanya kewenangan ini sebenarnya membuat batasan usia perkawinan tidak ada artinya,” kata Muhadjir menanggapi putusan penolakan MK terkait batas usia perkawinan saat ditemui di Kampus UGM, Selasa (23/6/2015) seperti dikutip dari rilis yang Harianjogja.com, terima.

Advertisement

Jika hakim pengadilan masih diberi keleluasaan seperti itu, kata Muhadjir, UU Perkawinan secara terang-terangan tidak melakukan kontrol apa-apa terhadap perkawinan anak.

Menurutnya kewenangan hakim perlu ditinjau sebagai materi baru tuntutan ke MK. Jika tidak memungkinkan, maka poin ini penting pula dibahas oleh para anggota dewan dalam rencananya merevisi UU Perkawinan.

Selain kewenangan hakim, katanya ,hal lain yang penting untuk melindungi anak dari perkawinan adalah aspek legalitas. Aspek legalitas terkait dengan upaya penegakan hukum. Upaya untuk mengontrol perkawinan anak menjadi sulit ketika prosedur administrasi negara bukan menjadi faktor penentu utama bagi diterimanya suatu perkawinan oleh individu maupun masyarakat.

Advertisement

Sebagai contoh, penelitian yang pernah dilakukan oleh PSKK UGM pada 2011 lalu di delapan wilayah kabupaten, yakni Rembang, Grobogan, Lembata, Sikka, Timor Tengah Selatan (TTS), Dompu, Indramayu, dan Tabanan.

“Banyak kasus di kabupaten-kabupaten tersebut menunjukkan, sebagian besar insiden perkawinan anak tidak tercatat dan hal ini terkait dengan konteks sosial budaya setempat,” katanya.

Muhadjir membenarkan, banyak kasus perkawinan anak yang dilakukan secara tidak resmi, misalnya dengan praktik “nikah siri”. UU Perkawinan tidak mampu memberikan keterangan yang jelas mengenai persoalan “nikah siri” baik yang dijalankan oleh agama maupun adat. Dengan demikian, hukum negara juga perlu mengatur perihal “nikah siri” karena seringkali menjadi jalan bagi praktik perkawinan pada anak.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif