Kolom
Selasa, 16 Juni 2015 - 20:30 WIB

GAGASAN : Angeline Korban Sekaligus Martir

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Arif Saifudin Yudistira (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (16/6/2015), ditulis Arif Saifudin Yudistira. Penulis adalah peminat dunia anak dan pendidikan.

Solopos.com, SOLO — Jaket yang sobek mudah diperbaiki, tidak seperti luka hati seorang anak yang terkoyak oleh kata-kata tajam. Begitu kalimat yang ditulis penyair Henry Woodsworth Longfellow.

Advertisement

Mungkin sebelum Angeline, saya suka menyebutnya sebagai peri kecil, itu mati, ia tak hanya disiksa oleh kata-kata kejam, bahkan dikabarkan ia pun diperkosa sebelum dibunuh.

Sadis! Barangkali hanya itu kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perilaku orang dewasa yang tak punya hati menyiksa anak-anak. Orang sering mengatakan anak-anak tak punya daya, anak-anak lemah.

Siapa tahu justru dari anak-anaklah kita belajar banyak hal tentang kehidupan. Telinga dan mata ini terasa sudah tuli dan buta. Rasanya kita sudah mati rasa melihat kejadian yang menampakkan betapa kejam dan tak nyamannya lingkungan kita bagi anak-anak.

Advertisement

Orang sering membual dengan kata-kata manis bahwa mereka, anak-anak itu, adalah masa depan, tetapi hari ini kita seperti disuguhi adegan paling kasar dan paling kejam yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak.

Kita yang semestinya bertanggung jawab mendidik, membesarkan, dan mengasuh anak-anak dengan baik. Ternyata justru kalangan kita sendiri, orang-orang dewasa, menunjukkan yang sebaliknya.

Rasanya malang benar Angeline si gadis kecil  dengan senyum riangnya dan polah tingkah lucunya. Saya membayangkan Angeline adalah gadis kecil yang lucu, lugu, dan penuh semangat.

Ia seperti berubah menjadi gadis yang pemurung, penakut, penuh kewaspadaan dan kesepian. Kesepian adalah kata yang tepat untuk menggambarkan betapa Angeline adalah gadis yang disiksa dan dianiaya.

Advertisement

Bagaimana batin seorang ibu, seorang perempuan, ketika menyaksikan anaknya sendiri diperlakukan begitu kejam. Barangkali benar kata lirik dalam sebuah lagu: ibu tiri sering kali hanya sayang kepada suami.

Banyak orang menduka ibu angkat Angeline punya peran dalam poses penganiayaan dan pembunuhan bocah berumur delapan tahun ini. Kita tak mampu memberikan penjelasan rasional bagaimana bila sebuah keluarga justru menjadi ruang terdepan bagi tindak penganiayaan dan kriminalisasi terhadap anak.

Belum lama kita melihat bahkan mungkin terlibat dalam gerakan peduli Angeline, tetapi tak lama kemudian kita tahu Angeline justru telah pergi ke alam yang sama sekali lain dari dunia yang semestinya dia nikmati hari ini dengan penuh kegembiraan selayaknya anak-anak.

Mungkin Angeline jadi semacam korban dan sekaligus martir bagi jutaan anak lainnya. Ia seolah ingin mengatakan, ”Cukup aku, cukup aku!” Betapa kita seperti diingatkan bahwa anak adalah belahan tubuh kita (orang-orang dewasa). Bagaimana mungkin orang dewasa bisa menyakiti dan bahkan membunuh belahan tubuhnya sendiri?

Advertisement

Kisah Angeline seperti membuka mata kita bahwa (mungkin) banyak anak tak lagi memiliki ”rumah”. Angeline—dan mungkin masih banyak anak lainnya– seperti hidup dalam ruang penyiksaan yang justru itu adalah rumah tempat dia tinggal, rumah tempat dia semestinya dilindungi dan disayangi.

Tugas-tugas berat harus dilakukannya karena ancaman dari keluarganya sendiri. Bagi Angeline, rumah menjadi seperti tempat penganiayaan dan tempat yang tak lagi nyaman. Ia seperti mati sebelum mati. Angeline menemui kematiannya dengan dibunuh. [Baca: Tekanan Jiwa]

 

Tekanan Jiwa
Dalam kisah Angeline yang memilukan, rumah tak lagi menjadi tempat yang membuat anak merasakan ketenteraman, tetapi justru menjadi tempat yang mengerikan dan menakutkan. Apa yang dialami Angeline (bisa jadi atau malah pasti) juga dialami oleh banyak anak lain di negeri ini.

Advertisement

Salah satu contohnya adalah kisah anak jalanan yang pernah saya temui. Ia tak boleh pulang dan tidur di rumah sebelum mendapat uang hasil mengamen minimal harus Rp50.000. Anak ini terpaksa tidur di depan toko dan di bawah jembatan atau di bawah pepohonan.

Anak seharusnya mendapatkan pendidikan dan binaan di rumah tetapi acap kali yang terjadi justru sebaliknya, rumah kini tak lagi menyediakan ruang bagi anak untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

Ponny Retno Astuti (2008) dalam bukunya Meredam Bullying menyatakan  salah satu sebab tindak kekerasan kepada anak adalah ketidakharmonisan hubungan anak dan orang tua di rumah.

Angeline adalah contoh dari ketidakharmonisan sebuah keluarga di rumah. Ketika dalam keluarganya sendiri seorang anak tak memperoleh apa yang seharusnya ia peroleh maka ia pasti mengalami tekanan jiwa.

Tekanan jiwa itulah yang membuat anak justru semakin menjadi asing dengan rumahnya sendiri dan menjadi seseorang yang kesepian. Rasanya sudah sering terjadi di negeri ini kasus perdagangan anak, pemerkosaan anak, bahkan pembunuhan anak.

Anak-anak di negeri ini seolah jadi objek paling rentan dalam menghadapi kekerasan orang dewasa. Setelah kasus penelantaran anak yang terjadi di Bekasi, kini kita disuguhi kisah tragis Angeline.

Advertisement

Sebagai seorang bocah berusia delapan tahun, tentu Angeline adalah gadis kecil yang masih memerlukan kasih sayang dan bimbingan dari orang tuanya. Sepertinya kasih sayang dan perlindungan tak didapatkannya, ia justru mendapatkan yang sebaliknya.

Peri kecil itu memang telah tiada, tapi perih luka dan tangisnya seperti mengingatkan kita bahwa ada tubuh kita yang disayat-sayat, ada luka dan darah kita dalam kisah Angeline.

Waktu seolah tak mampu menghapus riwayatnya. Dalam kisah Angeline, kita diajak untuk kembali menengok anak-anak kita agar kita tak menelantarkan, tak menganiaya, dan tak berlaku kejam terhadap mereka.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif