Entertainment
Senin, 15 Juni 2015 - 14:40 WIB

FILM INDIE : Mak Cepluk Kampanyekan Permainan Tradisional

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Wahyu Agung (JIBI/Harian Jogja/dok. Wahyu Agung)

Film indie, Latar belakang ide dari dibuatnya film Mak Cepluk karena keprihatinannya terhadap permainan tradisional, khususnya pletokan.

Harianjogja.com, JOGJA—Dunia perfilman di tanah air semakin berkembang. Termasuk film pendek atau film indie. Sayangnya, film dengan tema anak-anak masih kurang. Padahal, selain membuka peluang pasar sendiri, keberadaan film-film Indie juga memberi ruang kreatif para kaula muda untuk terus berkarya.

Advertisement

Salah satu karya film indie yang patut Diapresiasi adalah Mak Cepluk. Film yang diproduksi Mei 2014 dan kemudian di launching pada Oktober 2014 tersebut, berhasil mendapatkan berbagai penghargaan.
Di antaranya masuk Nominasi Film pendek terbaik Pekan Film Jogja 2014, Best Picture Winner Algorythem UGM 2014, Official Selection Psychofest 2014, Out of Competition XXI Short Film Festival 2015, Official Selection Malang Film Festival 2015 dan Ide Cerita Terbaik Festival Film Indie Lampung 2015. Saat ini, Film tersebut masuk nominasi dalam Festival Taman Film Bandung yang diselenggarakan pada 10–16 Mei 2015.

Menurut sang sutradara Wahyu Agung Prasetyo, kelahiran film tersebut berawal dari obrolan ringan di angkringan. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu pun membuat film pendek dengan mengangkat tema anak-anak.

Advertisement

Menurut sang sutradara Wahyu Agung Prasetyo, kelahiran film tersebut berawal dari obrolan ringan di angkringan. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu pun membuat film pendek dengan mengangkat tema anak-anak.

“Film dengan judul Mak Cepluk ini menceritakan tentang segerombolan anak SD yang sedang bermain pletokan di tanah kosong,” ujarnya di UMY, beberapa waktu lalu.

Wahyu menjelaskan, latar belakang ide dari dibuatnya film ini karena keprihatinannya terhadap permainan tradisional, khususnya pletokan. Permainan pletokan ini semakin ditinggalkan oleh anak-anak, karena perkembangan teknologi khususnya gadget yang saat ini lebih banyak digunakan anak-anak dalam mengisi waktu luang.

Advertisement

Menurutnya, yang menjadi nilai tambah dan menarik dari film ini adalah kolaborasi antara permainan tradisional pletokan dengan gadget.

“Ketika permainan tradisional terkikis dengan perkembangan gadget yang saat ini memang cukup miris. Bukan berarti kami menolak perkembangan teknologi tersebut. Kami tidak bisa menafikan perkembangan teknologi ini semakin memudahkan kita dalam mengerjakan segala sesuatu,” jelasnya.

Tetapi, lanjut Wahyu, permainan tradisional tak selayaknya hilang karena terkikis oleh perkembangan teknologi. Wahyu bersama timnya pun mencoba menjaga kelestarian permainan tradisional dengan cara mengolaborasikannya dengan gadget.

Advertisement

Penggunaan permainan tradisional dan gadget, katanya, dapat menjadikan anak-anak tidak melupakan budaya tradisonalnya. Selain itu, mereka juga akan tetap mengikuti perkembangan zaman.

“Kami mengkolaborasikan dengan cara menjadikan gadget tersebut sebagai alat komunikasi mereka. Jadi, anak-anak yang sedang bermain pletokan itu bisa saling memberikan informasi pada teman satu timnya yang lain. Kalau ada teman timnya yang semisal diikuti oleh lawan mainnya atau sudah terkena tembak oleh lawan mainnya. Maka mereka akan memberitahu temannya tersebut melalui gadget itu, baik itu dengan cara mengirimkan pesan di aplikasi BBM atau Line,” paparnya.

Wadah Menginspirasi
Berapa biaya produksi pembuatan film tersebut? Wahyu enggan mengungkapnya. Menurutnya, meski biaya merupakan hal yang vital untuk produksi film namun ada yang lebih penting dari itu.
Menurutnya, film dapat menjadi wadah untuk menyebarkan hal-hal yang bisa menginspirasi penontonnya. Jadi, tidak semata-mata membuat dan menjual film untuk mengembalikan biaya produksi.

Advertisement

“Menjadikan film sebagai entitas bisnis sah-sah saja dilakukan. Tetapi, pesan moral yang disampaikan jauh lebih penting,” katanya.

Wahyu mengatakan, keberhasilan film Mak Cepluk tidak terlepas dari kerja keras rekan-rekan Cinema Komunikasi UMY (CIKO).

“Kerja keras teman-teman dalam memproduksi film ini sangatlah besar. Tanpa kerja keras mereka mungkin film ini tidak akan berhasil seperti saat ini. Ke depan, kami berharap bisa mengikuti Festival Film Internasional, sekaligus memperkenalkan permainan tradisional Indonesia kepada dunia,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif