Kolom
Rabu, 10 Juni 2015 - 08:30 WIB

MIMBAR MAHASISWA : Romansa Berakhir Gigit Jari

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Qibtiyatul Maisaroh (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar Mahasiswa Solopos, Selasa (9/6/2015), ditulis Qibtiyatul Maisaroh. Penulis adalah mahasiswi Jurusan Tafsir Hadis Institut Agama  Islam Negeri (IAIN) Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Tak perlu menyebut ada reformasi pada 1998. Kita cukup menamainya rencana revolusi yang gagal dan dimainkan aktor-aktor figuran rancangan sutradara picisan.

Advertisement

Reformasi yang hadir sebagai mimpi buatan angkatan 1998 telah hilang dan mati sebelum tumbuh. Kegagalan ini menjadikan Kalis Mardiasih dalam esai berjudulk Kritik untuk Kaum Romantikus 1998 (Solopos edisi 25 Mei 2015) menilai mahasiswa angkatan 1998  tak  pernah menyumbangkan perbaikan terhadap negeri kita.

Angkatan 1998 sekadar cukong kapitalis. Ungkapan Kalis cukup sinis, namun kita sulit menampiknya. Kita melihat kiprah para ”pembesar” organisasi yang turut serta menumbangkan Orde Baru pada 1998 pada saat ini.

Advertisement

Angkatan 1998 sekadar cukong kapitalis. Ungkapan Kalis cukup sinis, namun kita sulit menampiknya. Kita melihat kiprah para ”pembesar” organisasi yang turut serta menumbangkan Orde Baru pada 1998 pada saat ini.

Anas Urbaningrum, misalnya, pada saat itu ia menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).  Saat ini ia menjalani hukuman karena kasus penggelapan dana proyek Hambalang yang konon terkait pencalonannya sebagai ketua Umum Partai Demokrat pada 2010.

Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada saat itu, Muhaimin Iskandar, dikaitkan kasus penyimpangan dan manipulasi pengadaan Sistem Jaringan Informasi Pengawasan Ketenagakerjaaan di Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi [kini Kementerian Ketenagakerjaan].

Advertisement

Kita patut mempertanyakan makna reformasi 1998 yang sering kali didengungkan oleh media dan ”kaum romantikus”.  Merujuk Remy Sylado (2003) dalam Kerudung Merah Kirmizi, reformasi adalah istilah yang teradopsi dari tradisi kristiani yang berarti “melakukan perubahan berdasarkan cinta.”

Saya tak menemukan ada cinta di negeri ini. Fakta menunjukkan pada saat itu kasus kriminal seperti korupsi, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, dan penjarahan masih banyak terjadi.

Saya mengakui kehebatan angkatan 1998 dalam menumbangkan rezim Orde Baru, usaha untuk mengakhiri kepemimpinan tiran di negeri ini. Mereka berani berhadapan dengan senapan untuk menuntut perubahan, tapi tak cukup berani membangkitkan cinta! [Baca selanjutnya: Sama]

Advertisement

 

Sama
Peristiwa 1998 menjadi rujukan kaum pergerakan mahasiswa masa kini. Beberapa pekan lalu mahasiswa aktivis dari berbagai perguruan tinggi juga melakukan hal yang sama, berdemonstrasi memprotes atau mengkritik Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Ada perguruan tinggi di Solo yang mendirikan pos koordinasi penjemputan (pelengseran?) Joko Widodo. Berbagai aksi digelar, domonstrasi tanpa henti, hanya dengan satu tujuan: menurunkan Jokowi dari kursi kepresidenan karena dianggap gagal memimpin negeri ini karena ekonomi belum juga membaik.

Advertisement

Aksi-aksi tersebut menunjukkan kesamaan berpikir antaraktivis. Kegagalan yang terjadi di negara ini entah dalam aspek ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya hanya ditanggungkan pada kepala negara dan mesti diturunkan jika dianggap gagal.

Aksi mereka malah dikendalikan oleh para sutradara yang sengaja mengambil keuntungan. Realitas tersebut cukup membuktikan mahasiswa kini tak jauh beda dengan mahasiswa angkatan 1998. Mahasiswa yang dikendalikan para penguasa.

Mereka diberi janji dan mimpi yang disemai melaui birokrasi kampus dan organisasi pergerakan mahasiswa. Jabatan di pemerintahan telah diburu sejak menjadi mahasiswa. Aksi yang dilakukan mengatasnamanakan organisasi.

Inilah yang menjadi salah satu alasan Soe Hok Gie tak mau masuk dalam organisasi mahasiswa (Gie: 2012). Hal itu berbeda sekali dengan kisah dalam Anak-Anak Langit garapan Terrence Cheng (2005) tentang aksi mahasiswa Tionghoa yang berdemonstrasi di Lapangan Tiananmen.

Mereka melawan kebijakan pemerintah. Aksi ini memunculkan banyak korban. Ada yang meninggal karena mogok makan, meninggal karena peluru tentara pemerintah. Aksi ini  bukan hanya berakhir dengan tumpukan sampah di lapangan, berita di surat kabar, dan foto.

Sejarah mencatat aksi ini turut menyumbangkan perubahan di Tiongkok. Seperti halnya reformasi, agent of change yang disematkan kepadfa mahasiswa juga hanya jargon. Istilah ini diberikan oleh para penguasa untuk membesarkan hati mahasiswa.

Mahasiswa seolah-olah mengalami krisis identitas, bingung ketika hendak melangkah. Mereka tak cukup mampu menyatakan perasaan/pikiran dalam ucapan yang jelas, hanya berujung anarkisme berpikir.

Kuntowijoyo (2002) dalam Politisasi Mahasiwa: Quo Vadis? menyatakan krisis ientitas itu tak lain akibat tren mobilisasi yang menjadi ciri setiap tindakan. Apabila ada tugas kuliah selalu dikerjakan berkelompok dan apabila ada masalah di kampus diselesaikan dengan demonstrasi.

Saya melihat obrolan buku di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta setiap Kamis. Mahasiswa berkumpul mengobrolkan buku sepanjang hari. Ada pengajian Selasa siang di gazebo kampus yang telah berjalan selama lima tahun.

Ada komunitas-komunitas berbuku yang diadakan para mahasiswa di dalam kampus atau di luar kampus. Buku menjadikan mahasiswa lebih beradab. Tugas mahasiswa adalah mencari kesejatian dan kesejatian adalah pencarian tiada henti. Laku demikian tak akan  berujung gigit jari seperti kaum romantikus itu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif