Kolom
Rabu, 10 Juni 2015 - 07:30 WIB

GAGASAN : Benang Kusut Kelangkaan Elpiji

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Riwi Sumantyo (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (9/6/2015), ditulis Riwi Sumantyo. Penulis adalah dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Kelangkaan elpiji 3 kg yang terjadi akhir-akhir ini sangat meresahkan masyarakat. Harga di pasaran cenderung melambung melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan, yaitu Rp15.500 untuk wilayah propinsi Jawa Tengah. Sementara HET untuk elpiji 12 kg ditetapkan Rp141.100.

Advertisement

Sebagian besar sepakat keadaan ini terjadi karena disparitas harga yang tidak masuk akal. Jika dirata-rata per kg, harga elpiji 12 kg lebih dari dua kali lipat daripada elpiji 3 kg, yaitu Rp11.758 berbanding Rp5.167.

Elpiji 3 kg termasuk komoditas yang disubsidi pemerintah karena diasumsikan banyak digunakan konsumen berpendapatan menengah dan bawah serta  pelaku usaha mikro dan kecil (UMK).

Sementara untuk elpiji 12 kg harganya berdasarkan mekanisme pasar, meskipun penentuannya masih ditetapkan oleh pemerintah (administered price).

Kecenderungan naiknya kembali (rebound) harga minyak dunia dan tren depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang masih terjadi menyebabkan harga elpiji 12 kg terkerek ke atas dalam beberapa bulan terakhir.

Tidak mengherankan jika kemudian terjadi migrasi konsumen yang sebelumnya menggunakan elpiji 12 kg beralih ke elpiji 3 kg. Aturan pembelian elpiji 3 kg yang tidak ketat dan bahkan cenderung dibebaskan semakin memperparah keadaan.

Di beberapa provinsi, pemerintah sebenarnya sudah mencoba untuk mengantisipasi masalah yang akan timbul, yaitu dengan menerapkan distribusi tertutup (closed distribution), namun penerapannya cenderung ribet sehingga rasio kesuksesannya sangat rendah.

Masalah ini sudah menjadi benang kusut yang cukup sulit untuk diurai sehingga pencarian solusinya harus dilakukan secara cermat dan komprehensif.

Advertisement

Kelangkaan elpiji 3 kg berawal dari kebijakan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu I yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Beleid itu diterbitkan pada 2007 sebagai dasar program konversi minyak tanah ke elpiji 3 kg. Argumentasi kebijakan ini adalah fluktuasi harga minyak dunia yang sangat tinggi pada saat itu sehingga beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) membengkak luar biasa dan sangat memberatkan kondisi fiskal perekonomian Indonesia.

Sebelum kebijakan ini, komoditas elpiji yang dijual adalah ukuran 12 kg dan 50 kg. Konsumen didominasi sektor rumah tangga kelas menengah dan atas, meskipun harga produknya menurut Pertamina masih di bawah harga keekonomian. Berarti masih ada subsidi dari pemerintah terhadap komoditas itu.

Pencanangan program konversi minyak tanah ke elpiji 3 kg sempat menimbulkan kontroversi dan kegaduhan di masyarakat. Salah satu alasan penolakan adalah faktor keamanan dalam penggunaannya.

Sebagian besar masyarakat masih merasa asing dan khawatir terjadi kecelakaan berupa tabung meledak. Kebetulan saja dalam tahap uji coba ada beberapa kasus tabung meledak dan menimbulkan korban jiwa.

Penolakan dari masyarakat semakin besar. Pemerintah, terutama melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla, tetap getol mengegolkan kebijakan ini. Tabung dibagikan secara gratis dan sosialisasi pemakaian gencar dilakukan secara langsung maupun melalui media massa, termasuk media elektronik.

Seiring kebijakan tersebut, elpiji menjadi produk yang sangat dibutuhkan konsumen sehingga permintaan meningkat cukup tajam. Harganya terus melambung dan pasokan sering terkendala yang berakibat kelangkaan sebagaimana di beberapa wilayah, terutama untuk produk bersubsidi elpiji 3 kg.

Advertisement

Ditengarai selain konsumen minyak tanah yang beralih ke elpiji juga terjadi peralihan konsumsi dari elpiji jenis yang satu ke elpiji yang lainnya. Kenaikan harga elpiji 12 kg telah mendorong konsumen beralih mengonsumsi elpiji 3 kg yang sebenarnya merupakan komoditi khusus bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Berpindahnya masyarakat mengonsumsi elpiji 3 kg menyebabkan permintaan  meningkat sehingga menimbulkan kelangkaan.  Di sisi lain, pasokan elpiji juga tersendat sehingga masyarakat menganggap pemerintah tidak siap menjalankan program konversi tersebut.

Dengan munculnya persoalan yang diakibatkan varian produk dalam komoditas elpiji, yakni produk elpiji 3 kg yang mendapat subsidi dan elpiji 12 kg dan 50 kg yang tidak disubsidi dan dianggap sebagai produk murni milik pelaku usaha dalam hal ini Pertamina, maka kompleksitas permasalahan dalam industri elpiji meningkat.

Di satu sisi, Pertamina seiring dengan kenaikan harga pasar merasa perlu untuk menaikkan harga elpiji agar mencapai harga keekonomian. Di sisi lain, dalam praktiknya Pertamina tidak leluasa melaksanakan hal tersebut karena elpiji telah menjadi barang konsumsi yang dibutuhkan masyarakat sehingga setiap kenaikan menimbulkan kontroversi. [Baca: Permasalahan dan Solusi]

 

Permasalahan dan Solusi
Secara umum ada beberapa tinjauan terhadap masalah yang muncul yaitu dari perspektif teknis, ekonomi, politik, dan penegakan aturan. Secara teknis, masalah muncul karena ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan energi, termasuk elpiji.

Elpiji adalah gas bumi yang dicairkan. Dengan menambah tekanan dan menurunkan suhunya, gas berubah menjadi cair. Artinya ketersediaan elpiji tergantung dari produksi dan pasokan minyak bumi kita.

Advertisement

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan lifting minyak mentah, sementara permintaan terus meningkat. Akibatnya impor minyak juga semakin membesar. Jika harga minyak mentah dunia naik, mau tidak mau secara teknis harga elpiji akan ikut naik.

Faktor ekonomi, lebih tepatnya ekonomi spekulatif, semakin menambah runyam persoalan. Pada masalah tata niaga, seperti telah disinggung di bagian awal tulisan ini, disparitas harga diikuti meningkatnya kegiatan spekulasi yang dilakukan konsumen yang sebenarnya “kurang berhak” menggunakannya maupun oleh pihak lain, termasuk para pedagang, untuk memanfaatkan situasi ini sebagai keuntungan.

Disparitas harga ini menyebabkan terjadinya pasar gelap karena asimetrisnya informasi tata niaga tersebut. Ini dapat dianalisis sebagai adanya kecenderungan sebagian pasokan elpiji 3 kg untuk masyarakat pada tahap distribusi diselewengkan.

Penyelewengan itu dengan cara ditimbun atau dicampur dengan melihat perbandingan harga yang tidak masuk akal. Jadi kebijakan pemerintah menghapuskan sebagian subsidi elpiji 12 kg memiliki dampak buruk, yakni ekonomi gelap yang terus terjadi tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga telah terjadi di daerah.

Sedangkan pemerintah tidak punya sebuah sistem yang kuat untuk mencegah terjadinya moral hazard ekonomi semacam ini. Variabel berikutnya adalah faktor politik ekonomi tentang penguasaan dan harga minyak dunia.

Cara pandang dunia dalam melihat barang ekonomi pulalah yang menyebabkan terjadinya spekulasi secara lokal dan internasional. Ada ketidakseimbangan demand dan supply minyak dunia.

Di Indonesia, pemerintahan Orde Baru telah melakukan liberalisasi sektor hulu minyak dan gas (migas) sehingga sebagian besar produksi minyak Indonesia dikuasai kontraktor production sharing yang dimiliki perusahaan asing.

Advertisement

Hal itu berlanjut setelah reformasi 1998 dengan kebijakan dalam bentuk UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas yang merupakan wujud liberalisasi ekonomi di sektor migas.

Kebijakan ini seolah-olah memberi karpet merah kepada swasta dan kroni asing  untuk melakukan investasi dalam bisnis stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan pendristibusian BBM.

Kegiatan liberalisasi ini yang sering disebut dengan kebijakan sektor hilir (downstream) migas. Kebijakan ini mendorong pemerintah atau secara spesifik regulator BBM untuk menaikkan harga dengan cara mengurangi subsidi dalam bentuk menarik investor asing.

Inilah yang disebut dengan kesalahan cara pikir dalam politik ekonomi yang dianut pemerintahan kita. Faktor keempat adalah dalam hal penegakan aturan. Pengendalian yang dilakukan otoritas, di antaranya melalui distribusi elpiji 3 kg secara tertutup, masih jauh dari harapan.

Salah satu penyebabnya adalah kerumitan dalam implementasi dan ketidaktegasan pelaksanaannya. Semestinya sebelum kebijakan diaplikasikan harus ada database yang memadai mengenai siapa yang berhak membelinya.

Data tersebut harus ada di tingkat agen, pangkalan, maupun pengecer. Pembelian dilakukan secara selektif dan ada batasan kuota secara ketat agar tidak disalahgunakan. Kebijakan ini mengadopsi langkah serupa yang dilakukan pemerintah India dan terbukti berhasil penerapannya.

Ketika diujicobakan di sini, ternyata bisa dikatakan gagal total. Ada beberapa hal yang bisa disarankan terkait beberapa permasalahan di atas, di ataranya adalah, pertama, pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan pasar elpiji mengingat saat ini Pertamina hampir memonopoli pasar.

Advertisement

Pengawasan dilakukan terhadap pendistribusian elpiji, khususnya yang bersubsidi, agar sampai ke tangan konsumen yang berhak dengan harga dan volume yang tepat. Kedua, menetapkan arah kebijakan industri elpiji yang jelas, terutama terkait dengan kebijakan penetapan elpiji sebagai produk subsidi dan nonsubsidi.

Pemerintah harus menetapkan secara utuh apakah akan melepaskan elpiji ke dalam mekanisme pasar atau tidak. Konsekuensinya harus dipertegas dan dijalankan secara konsisten termasuk dengan menanggung konsekuensinya.

Ketiga, memperkuat kebijakan yang bertujuan melindungi konsumen. Dengan memerhatikan pasar elpiji yang didominasi Pertamina dan hanya beberapa pelaku usaha yang terlibat di dalamnya maka intervensi pemerintah diperlukan untuk melindungi konsumen dari potensi penyalahgunaan posisi dominan Pertamina dan pelaku usaha di jalur distribusi.

Dalam hal ini, pemerintah disarankan menetapkan formula harga jual dan harga eceran tertinggi (HET) untuk seluruh varian produk elpiji, tidak hanya untuk komoditas elpiji bersubsidi. Melalui kebijakan tersebut diharapkan konsumen akan terlindungi dari potensi eksploitasi oleh penyedia elpiji yang jumlahnya terbatas.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif