Jatim
Selasa, 9 Juni 2015 - 21:05 WIB

SENIMAN NGAWI : Pria Ini Ciptakan Mitologi Baru Demi Perjuangan Kemanusiaan

Redaksi Solopos.com  /  Aries Susanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bramantyo Prijosusilo (JIBI/Solopos/Aries Susanto)

Seniman Ngawi yang satu ini memiliki seribu satu cara untuk perjuangan kemanusiaan.

Madiunpos.com, NGAWI – Tak banyak seniman barangkali yang rela melakukan cara-cara kontroversial dan penuh risiko untuk sebuah perjuangan kemanusiaan, kebudayaan, dan budi. Ia pernah dikeroyok laskar ormas lantaran memprotes kejahatan berjubah agama di Jogja 2012 lalu. Ia juga kerap ditangkap polisi karena aksinya di Amerika. Ia juga banjir cemoohan di media sosial sebagai orang sinting karena aksi-aksi keseniannya yang dianggap keluar pakem.

Advertisement

Bramantyo Prijosusilo, itulah orangnya. Lelaki berewok tebal ini akhir-akhir ini sangat akrab di telinga warga Ngawi. Namanya begitu sangat lekat lantaran rangkaian aksi nyentrik-nya di Ngawi membius masyarakat luas, yakni pernikahan peri dengan manusia.

“Dari sekian seni kejadian yang saya gelar, pernikahan peri dan manusia ini yang terkesan karena melibatkan masyarakat setempat dengan animo penonton sangat banyak,” ujar Bram saat berbincang dengan Madiun Pos di kediamannya awal Juni 2015 lalu.

Keistimewaan pernikahan peri dengan manusia itu, kata Bram, bukan saja pada sisi kontroversialnya. Lebih dari itu, acara itu juga melibatkan emosi dan mengaduk-aduk psikologi masyarakat. Tak sedikit masyarakat yang kemudian larut dalam narasi yang dibangun Bram.

Advertisement

Bram sendiri merasakan narasi pernikahan Peri Roro Setyowati, Danyang Alas Begal dan Bagus Kodok Ibnu Sukodok seolah hidup dalam denyut nadi masyarakat. Inilah yang membuat ayah tiga anak ini merasa puas dengan seni kejadian yang digelar Oktober 2014 lalu itu.

“Kita ingin membangun sebuah mitologi yang lebih arif antara manusia dengan alam dan mahluk lain. Bahwa mereka juga bagian dari sesama mahluk yang harus saling menjaga,” papar pria kelahiran Sekaralas, Widodaren, Ngawi 1965 silam ini.

Lulusan SMA Kolese de Britto Jogja 1983 ini mengatakan misi sebuah seni kejadiannya semata untuk membangun jiwa masyarakat melalui kebudayaan dan nilai-nilainya. Sebuah masyarakat dan bangsa tanpa pijakan budaya yang jelas hanya melahirkan manusia-manusia instan, pragmatis, dan materialistik. Akibatnya, yang terjadi adalah manusia-manusia eksploitatif.

Advertisement

Kini, diam-diam Bram bersama istrinya, Godelivia Dwi Sari beserta rekan-rekannya tengah menyiapkan sebuah seni kejadian kolosal. Konsepnya sama, yakni membangun mitologi terlebih dahulu. Misi yang diusung murid WS Rendra di Bengkel Teater ini ttetap mengacu pada kebudayaan, kemanusiaan, dan budi.

“Kami sedang mimpi ingin membikin seni kejadian penyelamatan Bengawan Solo dari hulu sampai hilir. Ini sedang riset kecil-kecilan, doakan ya,” papar pengagum seniman Jerman, Joseph Beuys ini.

KLIK dan LIKE di sini untuk update informasi Madiun Raya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif