Kolom
Jumat, 5 Juni 2015 - 05:00 WIB

GAGASAN : Tedhak Siten FSRD UNS

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Setyo Budi (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (4/6/2015), ditulis Setyo Budi. Penulis adalah dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Beberapa tahun lalu saya termenung ketika melihat anak-anak usia sekolah dasar (SD) berpakaian seragam berderet-deret dalam antrean panjang memasuki museum seni terbesar di Canberra, Australia.

Advertisement

Saya bertanya kepada gurunya apakah dia ingin semua murid-muridnya menjadi seniman? Guru SD itu menjawab dengan  nada slenca,”No, it is nok(t) … Art is a big library to impulse the smartness.”

Beberapa bulan lalu saya tercengang ketika St. Sunardi, ”dewa pewacana” dari Jogja, di sela-sela ”ritual penutup” khasnya, yaitu udud dengan ”saksama” seusai menebar kalimat-kalimat  sakti  di forum ilmiahnya, berujar bahwa sistem pendidikan di Indonesia sekarang adalah efek konspirasi (saya sebut: pembodohan) dari World Trade Organization (WTO) dan World Bank (Bank Dunia).

Beberapa hari lalu saya merasa heran ketika bertemu teman lama yang 10 tahun tidak berjumpa, ternyata ia masih seperti yang dahulu saya kenal: sang pengolok-olok. Tampaknya itulah cara dia bercanda kepada keluarga kami, bahkan di tulisannya tentang pertemuan itu pun dia masih bercanda tentang bapak kami yang sudah tenang di Swargaloka.

Saya memang tidak menyebut candanya sebagai character assassination (pembunuhan karakter) karena dari dialah keluarga kami mendapatkan wacana visi-visi tajam tentang jaringan seni.

Ia memang sahabat anak bangsa. Suatu saat pastilah peduli kepada anak-anak kami untuk diimbasi aura keningratannya dari kasta tertinggi dalam seni budaya yang oleh  Arnold Hauser disebut masyarakat seni budaya elite.

Keluarga kami memang terbiasa dengan stempel mbalala dari trah kebangsawanan pendidikan tinggi yang mengagungkan rasionalisme Aristotelian. Jadi olok-olok macam apa pun adalah saga jangan bagi kami, bahkan jenis-jenis pembunuhan karakter pun dapat menjadi wangsit dalam berkarya seni.

Begitulah komunitas seni rupa yang memiliki posisi sulit hidup pada sebuah ruang kemapanan pola pikir pedagogis yang alergi pada sesuatu yang ora kaya umume. Sedangkan pola pikir ketidakmapanan (bukan antikemapanan) adalah salah satu pintu menuju ruang kreatif. [Baca selanjutnya: Anak Ontang-Anting]

Advertisement

 

Anak Ontang-Anting
Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret Solo itulah rumah mungil keluarga kami yang sekarang. Kami dipercaya memiliki rumah sendiri setelah terlalu lama ndhompleng dan bikin sumpek keluarga fakultas yang selama ini dititipi.

Bermacam euforia yang muncul dengan rumah baru itu. Ada yang tiba-tiba menjadi sangat sibuk. Ada yang membuat mainan mahkota-mahkotaan. Ada yang cepat-cepat mengambil piring. Ada yang duduk manis nonton Srimulat. Ada juga kebablasan ngorek–orek tembok.

Pada hakikatnya fakultas baru ini adalah anak ontang-anting (tanpa saudara) yang dibayang-bayangi keganasan Bathara Kala. Pada saat ini  ia adalah ”satu-satunya” Fakultas Seni Rupa dan Desain di Indonesia yang hidup di lingkup universitas, bukan institut.

Mungkin susah dimaklumi jika tingkah laku anak sukerta (jatahnya Bathara Kala) ini kadang dianggap nyleneh (kontroversial) di mata universitas, tetapi pastilah wajar jika di lingkungan institut seni.

Jika kita mampu memahami kata ”universitas” sebagai ”universalitas” (kesemestaan) maka universitas adalah wadah besar dalam behavioral academic, mindset, dan cara nggulawenthah anak bangsa.

Bukan keseragaman, tapi justru keberagaman. Bukan kesamaan perilaku, tetapi kebinekaan sudut pandang. Bukan kejinakan pada konspirasi WTO dan World Bank, melainkan keliaran kreativitas dalam menggali kekuatan lokal (local power).

Advertisement

Jangan dianggap bahwa anak-anak muda yang membuka reparasi gadget itu tidak menggetarkan penguasa ”teknologi nano” sekelas Nokia, Siemens, Samsung, dan Reserach In Motion (RIM, produsen Blackberry).

Bagaimana mungkin teknologi masa depan hasil eksperimen dengan biaya miliaran dolar Amerika Serikat itu dengan mudah bisa dipecundangi anak-anak putus sekolah di Indonesia di kios-kios pinggir jalan?

Jangan dikira anak-anak SMA di Indonesia yang banyak memenangi berbagai olimpiade ilmu pengetahuan dan teknologi dunia itu bukan ancaman bagi sang Bathara Kala Barat.

Sang bathara itu pun pontang-panting dan memberikan mainan baru untuk mengalihkan energi kreativitas generasi kita melalui Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya. Generasi muda Indonesia yang hanya dengan asupan mi instan ternyata mampu berprestasi di pelbagai olimpiade ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pastilah sang bathara akan merasa ngeri dengan apa yang terjadi jika generasi itu memperoleh asupan susu segar, gandum, beras tanpa pengawet, daging, telor tanpa rekayasa, buah-buahan tanpa zat kimia, air dan udara bersih, dan atmosfer pendidikan yang sehat nirfeodalisme dan tanpa ja’im (jaga image) dari guru-dosennya, serta sistem pendidikan yang terbebas dari  hegemoni Barat.

Jadi tidak perlu heran jika penguasa keuangan dunia pun berusaha keras melakukan intervensi pada sistem pendidikan nasional kita.  Menurut saya, semua anak Indonesia itu lahir dengan satu talenta, yaitu “kreatif”.  Sangat tragis jika lembaga pendidikan justru menjadi mesin pembunuh bakat alam itu.

Tidakkah kita rasakan bahwa bentuk-bentuk kurikulum dengan standar kompetensi adalah sistem kerja pabrikan? Dengan iming-iming bonus nilai ”A” tidak memotivasi mahasiswa untuk mengembangkan kreativitas melampaui standar itu.

Advertisement

Mental bonus, moral oportunistis, jalan pintas, enggan tantangan, takut melampaui yang normatif, dan target sekuler adalah virus budaya penghancur kreativitas dan kecerdasan bangsa. Tidak pernahkah kita bertanya hal ihwal apa di balik ganti bergantinya berbagai aturan pendidikan nasional?

Yang kebetulan menjadi bagian dari sistem pendidikan tinggi juga sering jemawa dengan posisi itu. Benarkah yang jemawa itu ikut menyuburkan bakat alam anak bangsa?  Ataukah justru menjadi pasukan siluman dari sang Bathara Kala Barat yang ditugasi menghabisi potensi kreatif tunas-tunas bangsa?

Mencetak manusia pandai dalam bekerja tetapi tidak cerdas dalam bersikappada akhirnya akan mengembalikan bangsa ke tangan kolonialisme dalam versi lain, yaitu penjajahan ideologi dan budaya. Booming industri kreatif sebenarnya bukan kesempatan melainkan pekerjaan besar bagi bangsa ini.

Jika lembaga pendidikan hanya mencetak generasi pandai bekerja, bukan cerdas dan kreatif, hanya akan mengambil porsi sebagai pekerja dalam kata ”industri”-nya dan bukan sebagai peran utama dalam kata ”kreatif”-nya. [Baca selanjutnya: Ancaman Bathara Kala]

 

Ancaman Bathara Kala
Hidup di zaman sekarang adalah kelangan wadi, yaitu hidup tanpa rasa malu dan tidak ada yang ingin disembunyikan. Orang-orang berlomba mengumpulkan pertemanan di Facebook untuk dipertontoni siapa dirinya yang sebenarnya.

Tanpa disadari mereka telah menyumbangkan data antropologis yang sangat lengkap dan berlimpah kepada Microsoft Corp. dan IBM tentang apa dan siapa sebenarnya bangsa ini.

Advertisement

Dari data semacam itulah Barat memetakan kita; memprediksi orientasi pasar, pola pikir komunal, arti pertemanan, skala keimanan, selera seksual, kualitas humor, hingga cara berbohong, dan nilai kejujuran.

Pastinya di era Facebook bangsa Barat tidak perlu dana besar untuk menerjunkan antropolog untuk meneliti kondisi dan karakteristik masyarakat kita. Ketika berbagai jurusan seni hidup mapan di bawah payung institut, adalah hidup dalam kenyamanan homogen dalam keseragaman pola pikir dan pola tindak.

Tidak bagi fakultas yang baru saja tedhak–siten (launching) ini, yaitu Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret.  Fakultas ini akan hidup dalam heterogenitas pola pikir, paradigma, dan skala normatif ilmu masing-masing.

Fenomen itu memang membuka peluang untuk berkembang menjadi fakultas yang berdaya diferensiasi tinggi, multiparadigma, serta berintuisi seni sekaligus berasionalisasi logis.

Itulah kunci ”kecerdasan”, ketika rasa dan rasio disinergikan; dan itulah “kreativitas”, ketika naluri estetik dan kecerdasan disublimasikan. Semua berpulang pada atmosfer akademis yang akan dibangun sebagai ”ruang profit” diri sendiri atau ”ruang solid” untuk anak bangsa.

Masa mendatang adalah era pertempuran kecerdasan dan kreativitas secara terbuka. Bentuk-bentuk ketahanan bangsa yang sekadar mengandalkan potensi sumber daya alam dan kepatuhan hierarkis hanya akan jadi objek eksploitasi bangsa lain.

Mempersiapkan generasi penerus dalam dogma mayoritas sebagai yang benar dan etika normatif dari hasil konspirasi feodalistis dan kapitalisme sempit hanyalah mencetak generasi budak di masa depan.

Advertisement

Pada akhirnya, harus dipahami bersama bahwa target final (goal) dari fakultas ini adalah “kecerdasan dan kreativitas”, yang biasanya tidak selalu identik dengan indeks prestasi komulatif (IPK), melainkan potensi dan percepatan lulusannya dalam menyikapi dunia luar.

Bukan dalam skala menjadi pegawai atau karyawan karena resultannya adalah menyebarkan genotif dan fenotif memetic (genetika budaya) dalam bentuk pola pikir cerdas dan kreatif ke sekelilingnya.

Tentunya, idealisasi ini sulit diterima dalam skala capaian akademik, bahkan dapat menjadi hal yang paling dibenci oleh Bathara Kala Barat dengan sebutan sebagai “… eksthruimiss eksthruimiss khechiil…”. Begitulah logat dialog dalam film Si Pitung dan Jaka Sembung untuk menyebut para pembangkang yang tidak menurut pada pemerintahan kolonial.

Tedhak siten, medhun lemah, atau launching sebuah fakultas adalah awal memulai langkah sebagai lembaga pendidikan yang dewasa dan bertanggung jawab dengan berpola pikir lebih makro dan dalam kesadaran kebersamaan sebagai team works, bahwa yang kita hadapi sebenarnya adalah Bathara Kala Barat, bukan rivalisasi internal bala-balanan yang naif.

Hal itu akan memotivasi kita untuk memberi ”pusaka tersakti” kepada anak didik. Tidak perlu ruwatan jika kita memang tim yang solid. Justru akan kita tantang si Bathara Kala yang semena-mena dan suka makan bocah-bocah sukerta itu.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif