News
Senin, 1 Juni 2015 - 10:50 WIB

KEHIDUPAN WNA : Mahasiswi Mesir Ini Pernah Dikira Laki-Laki

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suasana talkshow bertema Hidup di Solo yang diadakan International Office Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo di Dalem Joyomartanan, Kelurahan Gandekan, Kecamatan Jebres, Solo, Sabtu (30/5/2015) malam. (JIBI/Solopos/Irawan Sapto Adhi)

Kehidupan WNA (warga negara asing) di Solo cukup menarik untuk disimak.

Solopos.com, SOLO-Kali pertama menginjakkan kaki di Solo, warga negara asing (WNA) asal Mesir, Eman Ibrahim, langsung dihadapkan dengan situasi membingungkan. Perempuan cantik berhidung mancung tersebut mengaku pernah disangka sebagai seorang laki-laki. Pengalaman membingungkan itu dialami Eman saat menelepon untuk memesan taksi.

Advertisement

“Saat mencari kos atau rumah, saya memilih menelopon taxi. Di telepon saya dikira laki-laki. Sopir taxi mencari dan bertanya nama saya. Lalu saya jawab ‘Eman’. Sopir taksi ketawa. Lalu saya ke UNS Solo untuk bertanya [alasan sopir taksi ketawa]. Ternyata Eman atau Iman itu nama laki-laki di Indonesia,” kata Eman dalam acara talkshow bertema Hidup di Solo, Sabtu (30/5/2015) malam.

Meski demikian, Eman mengaku senang pernah merasakan tinggal di Solo lebih dari setahun hingga saat ini. Menurut dia, Solo tidak begitu ramai seperti Kairo di Mesir atau Jakarta di Indonesia. Selain nyaman untuk ditinggali, lanjut Eman, makanan di Solo juga murah hingga mudah dijangkau. Dia berharap bisa tinggal lebih lama di Solo.

“Eman itu nama perempuan di Negara saya. Saya mau ke sini [Solo] karena saya dikasih tahu dosen saya di Mesir. Kata dia, belajar Jawa mending ke Solo saja. Awalnya saya cari Solo [melalui internet] tapi tidak ada [ketemu]. Adannya Jogja di internet. Tapi saya tanya teman saya jadi ke Solo,” ujar Eman.

Advertisement

Eman tidak sendiri untuk berbagai pengalaman di Dalem Joyomartanan, Kelurahan Gandekan, Kecamatan Jebres. Sedikitnya ada tiga WNA lain, yakni Shin Hyeom Soo dari Korea Selatan, Cao Tai Loe dari Vietnam, dan Romina dari Rumania yang hadir meramaikan acara yang diadakan International Office Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo tersebut.

Senada dengan Eman, Cao Tai Loe mengaku pernah bermasalah soal penyebutan nama. Menurut dia, banyak teman-temannya yang tidak berhasil mengucap namanya dengan benar. Meski demikian, Loe tidak mempersoalkan hal tersebut, bahkan merasa senang mempunyai nama baru setelah tinggal di Kota Bengawan.

“Nama asli sata Loe [sambil mengembungkan pipi]. Banyak yang memanggil saya tidak begitu. Tapi, enggak apa-apa saya jadi punya nama di Solo. Dulu saya kuliah di Vietnam jenjang S-1. Saat semester akhir, saya dapat beasiswa. Saya belajar bahasa Indonesia,” jelas alumnus UNS Solo itu.

Advertisement

Menurut Loe, banyak universitas di negara-negara di Asia Tenggara mempunyai Jurusan Bahasa Indonesia. Sambil belajar, dia merasa sangat menikmati hidup di Solo. Loe menyampaikan Solo berbeda dengan Ho Chi Minh dan Saigon di Vietnam dari bidang tranportrasi. Dia menilai Solo lebih kondusif dan sedikit polusi.

Sementara itu, Dosen dari Institut Javanologi UNS Solo, Prof. Sahid, mengatakan terkait penyebaran informasi, teknologi tetap bisa dikalahkan dengan manusia. Menurut dia, Solo lebih dikenal dengan tradisi lisan. Dia menilai banyak hal yang bisa terungkap dengan adanya forum sharing atau diskusi namun tidak ditemukan di produk teknologi seperti jaringan Internet.

“Benar kata mas Loe, masih banyak hal yang belum diketahui. Solo itu lebih kota feminim atau kota perempuan. Karakter perempuan lebih ringan atau tidak highway. Banyak pertemuan skala nasional maupun internasional yang memilih Solo. Solo kota yang kuat,” jelas Sahid.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif