Kolom
Kamis, 28 Mei 2015 - 08:40 WIB

GAGASAN : Kritik untuk Kaum Romantikus 1998

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kalis Mardi Asih (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (25/5/2015), ditulis Kalis Mardi Asih. Penulis aktif dalam pergerakan mahasiswa dan di komunitas literer Tepi Aksara Solo.

Solopos.com, SOLO — Sebagai orang yang menjalani masa kuliah belasan tahun setelah reformasi 1998 terjadi di negeri ini, saya merasa berada dalam situasi sulit ketika berupaya untuk mendefinisikan makna dan posisi strategis sebagai mahasiswa.

Advertisement

Hal tersebut selalu mencapai puncaknya pada pekan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei. Pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, sejak kurang lebih dua bulan sebelumnya, muncul isu mahasiswa mempersiapkan berbagai strategi untuk menurunkan Presiden Joko Widodo yang belum genap setahun menjalankan kepemimpinannya.

Serangkaian aksi demonstrasi digelar dengan berbagai tuntutan dan protes terkait berbagai kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dinilai tidak pro rakyat kecil.

Zaman keterbukaan informasi semakin mereduksi kewarasan saya karena tiap detik berita dari berbagai portal muncul dengan varian redaksional yang cenderung tendensius, disertai pengakuan indepedensi etis, sikap defensif, dan tetap mengaku tidak memihak pada siapa pun.

Advertisement

Tepat pada 20 Mei pekan lalu, berbagai aksi demonstrasi dilaksanakan di berbagai kampus dan daerah. Aksi demonstrasi itu seakan-akan harus terjadi sebab ini adalah momen peringatan reformasi sekaligus Hari Kebangkitan Nasional.

Mahasiswa menyuarakan berbagai tuntutan sambil sekaligus mengalami keresahan dan ketakutan jikalau esok hari hanya sedikit massa yang berpartisipasi untuk turun ke jalan.

Ada semacam indoktrinasi bahwa setiap Mei, gerakan mahasiswa harus banyak jumlah individunya dalam kuantitas aksi massa. Setiap bulan pergerakan ini, mahasiswa harus berhasil menurunkan presiden terpilih.

Jika angkatan 1998 mampu, mengapa angkatan 2000-an tidak mampu? Begitu kira-kira tesisnya. Suguhan menarik justru dipertontonkan oleh Presiden Joko Widodo. Ia mengundang perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) pada sebuah makan siang di Istana Negara.

Advertisement

Dari informasi yang saya dapatkan, terjadi perdebatan alot ketika Presiden Joko Widodo tidak ada di Istana Negara sehingga dialog terbuka dengan 50 perwakilan mahasiswa itu,  menurut Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Pandjaitan, akan diselenggarakan pada 25 Mei dan disiarkan langsung oleh televisi nasional.

Sementara itu, dari akun sosial media, berbagai suara sumir berjalin kelindan. Generasi mahasiswa hari ini dinilai tidak memiliki militansi, tidak memiliki pandangan ideologis, dan tidak layak untuk menyandang gelar agent of change atau guidance of value.

Mahasiswa hari ini tidak lebih dari generasi bingung yang limbung pada habitus pop dan gegar budaya kapitalisme yang menawarkan berbagai pleasure (kesenangan). Pendek kata, mahasiswa angkatan 2000-an selalu salah.

Saya sekilas teringat Lionel Messi, pemain sepak bola di klub Barcelona yang berjuluk El Comandante itu. Messi dianggap tidak pernah memberikan kiprah yang membanggakan bagi Argentina sebelum ia berhasil mempersembahkan trofi Piala Dunia.

Advertisement

Beban yang dipanggul Messi menyoal persepakbolaan Argentina bukan sekadar trofi olimpiade atau trofi U-20, namun mutlak: Piala Dunia.

Sebanyak apa pun gol yang tercipta dari kaki seorang Messi, seindah dan selincah apa pun bola dimainkan, Messi tetaplah seseorang yang dianggap tidak menorehkan sejarah sepak bola Argentina dan tidak pernah lebih baik dari Diego Maradona yang mempersembahkan mimpi juara Piala Dunia itu pada 1986.

Messi tak pernah dianggap sebagai sebuah persona yang memiliki kedirian dan zamannya sendiri. Seumur hidup, jejaknya hanya sebatas untuk membuktikan bahwa akan ada the next Maradona di Argentina. Di sisi lain, apa yang tersisa dari angkatan 1998?

Hari ini, jelas sebagian besar mereka adalah wajah-wajah yang menduduki kursi empuk pemerintahan. Banyak di antara mereka yang telah mendapat kehormatan jaket oranye Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebab memakan uang negara secara tidak sah.

Advertisement

Sebagian yang tidak kebagian porsi kekuasaan berlagak sok heroik dengan mengkritik berbagai kebijakan penguasa terpilih menggunakan bahasa revolusioner, terutama di media sosial. Sebuah kamuflase ketabahan yang sering kali memuakkan.

Sebagian lagi, yang tak tertarik dengan perhelatan politik, memilih pekerjaan-pekerjaan mulia seperti membangun lembaga swadaya masyarakat (LSM), jurnalis, dan menempuh jalur akademis dengan mengartikulasi gagasan dalam banyak jurnal untuk kemudian menjadi guru bangsa dan narasumber dalam berbagai talkshow kebangsaan di televisi.

Walau begitu, banyak dari kaum berilmu itu yang tak segan menggadaikan ilmu untuk menghamba kepada kepentingan penguasa dan jadi cukong kapitalis. Persamaannya, mereka sama merasa jemawa dengan menganggap mereka adalah generasi terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. [Baca: Sekadar Jargon]

 

Sekadar Jargon
Angkatan 1998 seakan lupa bahwa mereka sesungguhnya tidak pernah membikin zaman baru, di samping sekadar mengakhiri sebuah zaman ketika kebebasan untuk bersuara dibungkam. Reformasi hingga hari ini tetaplah sekadar jargon.

Kita tak pernah merumuskan dengan jelas bagaimana kiranya cita-cita jangka pendek dan jangka panjang dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan. Parahnya, yang kita warisi dan teruskan hanyalah rencana-rencana pembangunan yang melancarkan era industrialisasi yang tak peduli nasib generasi.

Advertisement

Fakta berbicara. Dirgantoro (2015) menyebut 17 tahun setelah reformasi, 70% kepala daerah tersangkut korupsi, 70 juta-80 juta rakyat hidup miskin, hampir miskin, serta rentan miskin namun diatur sedemikian rupa oleh prinsip-prisip statistika agar terlihat seolah-olah baik-baik saja.

Kita menyaksikan pula 17 tahun setelah reformasi 11%-15% keluarga Indonesia tidak punya tempat tinggal atau tinggal di tempat yang tidak layak huni. Rasio Gini memburuk bahkan lebih buruk dari pra reformasi.  Kontribusi 40% masyarakat berpendapatan rendah di bawah 17%.

Masyarakat berpendapatan rendah menghabiskan 50%-70% pendapatan mereka hanya untuk makan. Kontribusi pertanian terus menurun. Jumlah keluarga petani berkurang drastis dalam dua dekade terakhir. Lahan sawit hari ini lebih luas karena menjajah lahan-lahan padi.

Dan 17 tahun setelah reformasi belum ada hal yang perlu kita banggakan. Dalam sajaknya yang sangat saya sukai, W.S. Rendra melontarkan ”pisuhan” dengan begitu indah: Aku bertanya / Tetapi pertanyaanku membentur jidat para penyair salon /Yang bersajak tentang anggur dan rembulan /sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya.

Daya bukanlah Rendra, hingga jika pun saya boleh misuh, niscaya saya akan berkata,”….” (ah tak usahlah saya tulis di sini daripada nanti saya dicap tidak sopan). Sekali lagi, saya hanya seorang mahasiswa yang menjalani perkuliahan belasan tahun setelah angkatan gagah 1998 yang menumbangkan rezim tiran yang berkuasa selama 32 tahun dan mewariskan berbagai permasalahan pelik setelah dibukanya keran-keran kapitalisme sejak 1967.

Angkatan gagah yang menumbangkan rezim tanpa sempat mempersiapkan pengganti yang mumpuni. Angkatan gagah yang berhasil menghimpun massa tapi lupa menghimpun visi besar kebangsaan. Angkatan gagah yang menghidupkan demokrasi tapi tak benar-benar mampu menghabisi tirani.

Saya menyimak pergulatan gagasan di Mimbar Mahasiswa Solopos selama beberapa pekan terakhir. Kesimpulan yang saya dapatkan antara lain adalah, pertama, zaman memang telah berubah.

Era neokapitalisme berpadu dengan koneksi perekonomian global membawa kita pada sebuah situasi yang pelik dalam pusaran pasar bebas. Tantangan mahasiswa hari ini adalah kurikulum perkuliahan yang sangat membatasi ruang tumbuh kembang ideologi serta paradigma kesuksesan dan lapangan kerja yang mendukung gagasan industrialisasi.

Zaman apa pun seharusnya tak membuat kita limbung jika kita ingat bahwa para bapak bangsa pernah merumuskan sebuah cita-cita besar yang terangkum dalam Pancasila. Zaman apa pun, garis perjuangan akan selalu jelas.

Kedua, pergulatan gagasan akan selalu hidup dan berkembang. Seperti sejak dulu islamisme, komunisme, dan nasionalisme menjadi nilai yang dianut dan saling berebut tempat sebagai jiwa bangsa.

Begitu pula para mahasiswa hari ini yang dicap kekiri-kirian atau kekanan-kananan, semua itu masih jauh lebih baik daripada berbagai aktivitas pragmatis tanpa nilai dan tanpa aktivitas berpikir.

Tren mahasiswa hari ini yang menyibukkan diri lewat berbagai pengabdian kepada masyarakat atau mahasiswa yang memilih jalan untuk membangun bisnis adalah juga baik, asalkan tidak kosong nilai atau tanpa aktivitas berpikir.

Membaca, mengkaji, dan merumuskan gagasan adalah hal-hal yang membuat universitas menjadi terhormat. Tanpa menjalani itu, kita tak akan pernah menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Akhirnya, selamat menjadi bangsa yang berjiwa dan selalu bercita-cita. Setiap hari adalah hari kebangkitan nasional!

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif