News
Rabu, 27 Mei 2015 - 22:25 WIB

Sektor Pendidikan Dianggap Rawan Korupsi

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/dok)

Sektor pendidikan memiliki alokasi dana hingga 20% dari APBN.

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL-Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) merilis bahwa sektor pendidikan, yang dikelola oleh Dinas Pendidikan di tiap daerah disebut sebagai sektor paling rawan tindak korupsi.

Advertisement

Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN KPK RI, Cahya Hardiyanto Harefa menerangkan jumlah anggaran dana pendidikan mengambil porsi 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yakni sebesar Rp400 triliun. Sebanyak 60 persen dari jumlah tersebut diserahkan kepada daerah. Meski demikian, masih ada sejumlah masalah dalam sektor pendidikan di Indonesia.

Cahya menyebutkan ada 30 juta jiwa warga RI berusia 3-23 tahun. Artinya, ada 34 persen penduduk usia sekolah dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara dari jumlah tadi, yang mana menjadi masalah pertama, 18 persen di antaranya tidak melanjutkan di jenjang Sekolah Dasar, tujuh persen tak bisa melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama, dan 52 persen tidak melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas.

Advertisement

Cahya menyebutkan ada 30 juta jiwa warga RI berusia 3-23 tahun. Artinya, ada 34 persen penduduk usia sekolah dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara dari jumlah tadi, yang mana menjadi masalah pertama, 18 persen di antaranya tidak melanjutkan di jenjang Sekolah Dasar, tujuh persen tak bisa melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama, dan 52 persen tidak melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas.

Masalah kedua, banyaknya masalah rusaknya kelas di beberapa wilayah di Indonesia, mulai dari kerusakan ringan hingga rusak berat.

KPK RI, sambungnya, dalam kajian yang dilakukan pada 2003 hingga 2013, ada 479 tersangka dengan tuduhan korupsi.

Advertisement

“KPK juga telah melakukan kajian, bahwa akar masalah tindak korupsi adalah kekosongan pengawasan. Pengawasan antar pusat dan daerah masih ada rasa saling sungkan, kalau ada oknum yang ingin menyalahgunakan, korupsi bisa terjadi,” sebutnya.

Selain pengawasan, penyebab korupsi berikutnya ialah lemahnya pengendalian internal, baik karena kurangnya anggaran, anggaran, jumlah auditor yang sedikit. Di samping itu, data di tiap kedinasan yang belum tentu selalu update, dan belum terintegrasi dengan baik.

“Kontrol publik, dari masyarakat, juga amat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya tindak korupsi,” imbuhnya.

Advertisement

Cahya juga menjabarkan kembali hasil pantauan di 20 kabupaten dan kota. Bahwa dana Biaya Operasional Sekolah (BOS), Beasiswa Siswa Miskin (BSM), beasiswa Pendidikan Profesi Guru kerap digunakan untuk kepentingan pribadi kepala sekolah.

“Tunjangan sertifikasi guru juga terkena pungutan liar, BSM juga menjadi alat kampanye sebuah partai politik, jadi ada pejabat membagikan BSM namun dilabeli sebagai pemberian parpol,” terang Cahya di hadapan sejumlah pejabat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Gunungkidul.

Cahya menekankan, saat ini bukan hanya membutuhkan kehati-hatian dari pihak Dinas Pendidikan atau SKPD, pendidikan pencegahan korupsi juga perlu dimulai dari ranah keluarga. Mengingat, suami istri, yang merupakan anggota keluarga, juga terlibat korupsi.

Advertisement

Di kesempatan yang sama, Wakil Bupati Gunungkidul, Immawan Wahyudi menjelaskan tindak korupsi bisa diawali akibat pejabat tidak patuh dan tidak memahami terhadap aturan.

Namun, terlalu banyaknya aturan di Indonesia yang kerap mengalami perubahan, juga bisa menjadi problem yuridis. Dalam artian, meski seorang pejabat tidak berniat menentang aturan, namun apabila perubahan aturan tadi diikuti munculnya problem lain dalam waktu yang bersamaan, dan hadir niat yang tidak bersih, korupsi bisa saja terjadi.

Banyaknya aturan yang bersifat ambigu atau multitafsir juga menjadi tantangan tersendiri bagi para pegawai SKPD untuk menghindari korupsi.

“Karena ‘ambiguity’ dalam aturan, misalnya pengelolaan keuangan, dapat menyebabkan ketakutan tersendiri. Karena aturan yang multitafsir bukan tidak mungkin, justru menyebabkan orang-orang yang bersih jatuh menjadi tersangka korupsi, akibat sifat ‘ambiguity’ tadi,” tuturnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif