Jatim
Rabu, 27 Mei 2015 - 20:05 WIB

PAJAK ANGKUTAN : Permendagri No.101/2014 Ancam Pengusaha Angkutan Truk Jatim

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi angkutan truk. (JIBI/Solopos/Dok.)

Pajak angkutan sesuai Permendagri No.101/2014 mengancam pengusaha angkutan truk di Jatim.

Madiunpos.com, SURABAYA — Pengusaha angkutan truk skala kecil dan menengah di Jawa Timur diimbau lebih peka memperjuangkan kewajiban perpajakannya demi menghindari kemungkinan gulung tikar pascadiberlakukannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.101/2014.

Advertisement

Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengatakan para pengusaha angkutan di provinsi yang beribu kota Surabaya itu mengeluhkan kerancuan terkait insentif dan disinsentif pajak yang didapat dari penggunaan pelat kuning maupun hitam.

“Misalnya, kenapa pelat kuning kalau sewa dikenai PPN sedangkan [agkutan umum] pelat hitam tidak. Jatim ini adalah urat nadi perdagangan, jadi persoalan pajak angkutan ini harus didiskusikan baik-baik dengan Gubernur [Soekarwo],” ujarnya di Surabaya, Selasa (26/5/2015).

Advertisement

“Misalnya, kenapa pelat kuning kalau sewa dikenai PPN sedangkan [agkutan umum] pelat hitam tidak. Jatim ini adalah urat nadi perdagangan, jadi persoalan pajak angkutan ini harus didiskusikan baik-baik dengan Gubernur [Soekarwo],” ujarnya di Surabaya, Selasa (26/5/2015).

Pelaku usaha mengungkapkan ada beberapa kerancuan dalam permendagri tersebut, yang tidak sejalan dengan peraturan perpajakan. Misalnya, pengusaha yang membeli truk pelat kuning tidak dapat mengkreditkan PPN-nya sebagai pajak masukan.

Sebaliknya, ketika menjual truk bekas yang berpelat kuning, mereka malah tidak dikenai PPN. Padahal, saat membeli truk pelat hitam, PPN-nya dapat dikreditkan sebagai pajak masukan, termasuk biaya-biaya perawatannya.

Advertisement

Untuk mengantongi izin tersebut, sambungnya, satu pengusaha minimal harus memiliki lima armada. Baru setelah itu, angkutan umum yang berbadan hukum—baik dalam bentuk PT, BUMD, maupun koperasi—diperbolehkan memperoleh insentif atau keringanan pajak.

Berdasarkan peraturan yang baru, angkutan umum barang berhak mendapat keringanan pajak sebesar 50% dan angkutan orang 70%. “Nah, kalau untuk truk, perhitungan [insentifnya] adalah nilai jual kendaraan dikali 1,3 baru didiskon 50%. Itu perhitungan dari mana?”

Insentif tersebut hanya bisa didapatkan oleh angkutan umum yang sudah berbadan hukum. Permasalahannya, hingga kini tidak ada kejelasan bagaimana jika kendaraan yang diajukan untuk mendapat keringanan sudah berpelat kuning tetapi belum berbadan hukum.

Advertisement

Masalah lainnya, sambung Gemilang, belum ada kepastian bagi kendaraan-kendaraan yang sudah berpelat kuning tapi masih atas nama pribadi. Padahal, akhir tahun ini seluruh kendaraan umum atas nama perorangan harus sudah diubah ke badan hukum.

“[Hak] Insentif pajak ini jarang diurus oleh pengusaha. Padahal, dari total sekitar Rp1 miliar yang mereka belanjakan untuk membeli sebuah truk, 42,5% lari ke pajak,” tegasnya.

Masih Dievaluasi
Pada kesempatan yang sama, Kasubdit Angkutan Darat Kementerian Perhubungan Ahmad Wahyudi menyampaikan permendagri tersebut masih akan dievaluasi lagi untuk ditelaah seberapa besar manfaatnya, baik bagi pengusaha, pemerintah, maupun pengguna jasa.

Advertisement

Sejauh ini, katanya, peraturan tersebut memudahkan pemerintah untuk melakukan intervensi dalam bentuk pembinaan. Selain itu, dengan berbadan hukum, manajemen operasional angkutan umum menjadi profesional sehingga lebih efektif dan efisien.

“Manfaat lainnya bagi pemerintah adalah untuk meningkatkan keselamatan jalan dan tanggung jawab perusahaan angkutan. Dengan demikian, angkutan ilegal dapat diberantas. Ini juga upaya untuk berkompetisi pada era Masyarakat Ekonomi Asean,” tuturnya.

Bagi pihak pengusaha, lanjut Ahmad, keuntungannya adalah pertanggungjawaban kerugian akan dihitung sampai ke harta kekayaan pribadi. Selain itu, angkutan berbadan hukum berhak atas potongan bea masuk suku cadang dan subsidi bunga bank dari Kementerian Keuangan.

Namun ada beberapa hal yang masih menjadi catatan Kemenhub. “Misalnya, persoalan STNK. Kalau kendaraannya milik koperasi—seperti Metro Mini atau Kopaja—itu STNK-nya harus [atas nama] siapa? Kepolisian inginnya mereka tetap berbentuk koperasi.”

Bagaimanapun, Kemenhub menginginkan fungsi koperasi berubah menjadi pengelola armada agar lebih efisien. Misalnya, dengan mengurangi jumlah armada yang beroperasi di luar jam sibuk, guna mengurangi penggunaan bahan bakar minyak.

Perlu Revisi
Praktisi perpajakan Andreas Ariokusumo, di lain pihak, menjelaskan berdasarkan PMK No.80/2012, kendaraan umum baik pelat hitam maupun kuning harus melaporkan SPT dan dihitung PPH-nya. Namun, untuk PPN, yang dihitung hanya yang pelat kuning.

“Untuk pelat kuning, PPN bagi yang milik badan adalah 22%, sedangkan yang perorangan tarifnya progresif antara 5%-17% dan tidak terutang. Kalau pelat hitam, penyerahannya adalah khusus untuk yang di atas Rp4,8 miliar dan terutang PPN 10%,” jelasnya.

Menanggapi polemik seputar implementasi Permendagri No.101/2014 itu, DPRD Jatim terus mendesak pemerintah melakukan revisi. Pasalnya, regulasi tersebut dikhawatirkan hanya akan memperkuat perusahaan angkutan yang sudah besar dan menggilas pengusaha kecil.

Alasan lainnya, sebagaimana diungkapkan anggota Komisi C DPRD Jatim Kusnadi, adalah kemungkinan pendapatan provinsi tersebut berkurang 1% dari total PAD 2014 sejumlah Rp4,15 triliun akibat pemberlakukan permendagri tersebut.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif