Kolom
Jumat, 22 Mei 2015 - 07:40 WIB

GAGASAN : Demokrasi Lokal dalam Transisi

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Muhammadun (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (21/5/2015), ditulis Muhammadun. Penulis adalah analis studi politik Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Gemuruh reformasi pada Mei 1998 menjadi tonggak sejarah demokrasi paling bermakna bagi bangsa Indonesia. Kejatuhan Soeharto melahirkan gerakan reformasi  sangat dahsyat yang menjadi momentum terciptanya tatanan infrastruktur dan suprastruktur politik dan kenegaraan yang lebih demokratis.

Advertisement

Dalam usaha menormalisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi  pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara.

Kemudian ditetapkan pula Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Khusus dalam membangun demokrasi daerah, MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Advertisement

Ketiga ketetapan MPR tersebut menjadi rumusan bangsa dalam membangun konsolidasi demokrasi. Khusus dalam otonomi daerah, pemerintah memberlakukan UU No. 22/1999 yang menjabarkan otonomi daerah mulai dari ketentuan umum, daerah wilayah, wewenang kekuasaan, wewenang keuangan, dan hubungan daerah dengan pusat.

Dengan berbagai ketetapan MPR dan UU tersebut, bagaimanakah sekarang nasib wajah demokrasi lokal dalam transisi reformasi sekarang? Pertanyaan ini sangat krusial karena berbagai fenomena sosial menjelaskan ternyata daerah ”gagal” mewujudkan tatanan ideal yang demokratis.

Berbagai kasus dan konflik di daerah selama ini membuktikan ternyata elite berbaju politikus busuk masih mendominasi kekuasaan. Kendati puluhan bahkan ratusan UU dibuat, tetap saja akan didistorsi dan diselewengkan.

Dari sini dapat dilihat komitmen terhadap konsolidasi demokrasi di daerah hanya sebatas perundangan-undangan. Infrastruktur dan suprastruktur daerah yang masih pincang dibiarkan, tanpa dibenahi.

Advertisement

Tidak salah kalau bupati, wali kota, dan gubernur yang masih sangat kuat afiliasinya dengan Orde Baru menduduki kembali kepemimpinan di berbagai daerah yang pada akhirnya melahirkan protes berupa kerusuhan massal yang merusak berbagai aset publik.

Momentum peringatan 17 tahun reformasi sekarang harus menjadi refleksi dan merumuskan aksi konkret bangsa ini dalam mengembalikan arah demokrasi di daerah yang berkeadilan dan berkeadaban.

Menurut Taylor (1966), komitmen demokrasi daerah harus memenuhi empat ciri dasar yang menjadi keharusan pokok dalam pertumbuhan dengan model masyarakat demokratis, yakni  open-class society, comunicative society, mass consumption society, dan pluralist society.

Dalam pengembangan demokrasi di daerah, pemimpin yang terpilih harus mampu membuka segala ruang kehidupan. Open-class society atau masyarakat terbuka yang tak berkelas yang merupakan bentuk masyarakat yang tidak disekat oleh kesenjangan sosial akibat globalisasi dunia yang makin kompleks harus menjadi agenda serius pemimpin daerah masa depan.

Advertisement

Kalau pemimpin daerah di masa depan tidak mampu mencairkan makin sumpeknya tatanan masyarakat global sekarang ini maka pemilihan kepala daerah hanya akan menyengsarakan kembali rakyat.

Tantangan globalisasi harus segera disikapi, baik dengan pengembangan pendidikan daerah, kalau mampu menggratiskan pendidikan, atau dengan berbagai terobosan yang mamapu membangkitkan perekonomian rakyat yang makin terjepit sekarang ini. [Melek Teknologi]

 

Melek Teknologi
Comunicative society atau masyarakat komunikatif adalah kondisi masyarakat yang melek teknologi. Di tengah gempuran era informasi, yang oleh Alvin Toffler diktakan sebagai era pertarungan rasio manusia, masyarakat di berbagai daerah, khususnya kawasan pedesaan, harus dikenalkan dengan beragam budaya modern yang berkembang.

Advertisement

Ini agar tidak terjadi gagap kebudayaan, gagap spiritual, gagap kejiwaan, dan gagap multidimensional lainnya. Mass consumption society adalah kesempatan membangun kekuatan sosial ekonomi yang tangguh.

Kemampuan membangun masyarakat terbuka yang kaya dengan pengetahuan dan informasi akan menciptakan bangunan ekonomi yang kuat dan mampu memprediksi pasar. Kemampuan seperti ini masih langka di daerah-daerah. Yang mumpuni hanya di tingkat pusat.

Pemimpin daerah harus bersikap kritis menghadapi berbagai harapan mada depan, khususnya yang menyangkut kuatnya basis ekonomi pedesaan yang masih terbelakang. Untuk menjaga keseimbangan di semua lini kehidupan daerah, perlu dibangkitkan semangat pluralist society, masyarakat pluralistis yang menghargai segala kreativitas dan karya orang lain.

Jangan sampai tingginya kekuatan ekonomi hanya akan membangkitkan sentimen dan segregasi sosial yang berujung pada kesenjangan sosial. Semua harus disikapi secara pluralis, yang satu elemen dengan yang lain saling membantu, mengasihi, dan menyayangi, sesuai dengan amanat leluhur kita.

Keempat hal tersebut itulah yang akan menopang demokrasi daerah karena di situ terlihat pemerintah tidak lagi memosisikan diri sebagai superior yang depresif—atau surveillance dalam istilah Antony Giddens—terhadap masyarakat.

Sistem demikian akan menciptakan terpenuhinya citizenship rights (hak warga negara), yang meliputi civil rights (hak untuk bebas), political rights (hak untuk memilih), dan economic rights (hak mendapatkan pekerjaan yang layak).

Advertisement

Kepercayaan masyarakat (trust) kepada negara akan hilang manakala tiga citizenship rights terusik atau tidak dipenuhi oleh pemerintah. Dengan terciptanya ketiga hak warga negara tersebut, upaya membangun demokrasi daerah akan semakin mantap.

Sistem tersebut mendorong konflik segera berakhir dan daerah akan semakin cerdas menempatkan diri dalam level nasional maupun internasional di tengah kegalauan globalisasi. Pemimpin daerah menjadi tulang punggung bangsa menatap milenium ketiga yang penuh gejolak sosial sehingga Indonesia akan semakin memantapkan dirinya sebagai negara demokratis di hadapan dunia internasional.

Dengan komitmen inilah wajah demokrasi lokal dalam 17 tahun reformasi tidak hanya mewujudkan apa yang disebut Haffner dengan civilized state, namun juga mampu mewujudkan civilized society dan reformed society.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif