Jogja
Minggu, 17 Mei 2015 - 19:20 WIB

SABDA RAJA JOGJA : Inilah Sejarah Kangjeng Kyai Ageng Kopek

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sabda Raja Jogja sempat menyebutkan dua pusaka kerajaan.

Harianjogja.com, JOGJA-Kangjeng Kyai Joko Piturun dan Kangjeng Kyai Ageng Kopek disebut-sebut oleh HB X dalam Sabda Raja. Berikut ulasan selengkapnya.

Advertisement

Cucu HB VIII, KRT Jatiningrat kepada Harianjogja.com mengatakan sesuai paugeran Kraton, begitu Sultan baru bertakhta, pusaka keris yang dikenakannya adalah Kangjeng Kiai Ageng Kopek.

“Saat itu sudah terlalu ramai, banyak orang, sehingga tak kelihatan. Namun, yang jelas, ketika Sultan sudah bertakhta, seluruh pusaka berada di bawah kewenangannya.”

Advertisement

“Saat itu sudah terlalu ramai, banyak orang, sehingga tak kelihatan. Namun, yang jelas, ketika Sultan sudah bertakhta, seluruh pusaka berada di bawah kewenangannya.”

Kangjeng Kyai Ageng Kopek, lanjut Jatiningrat, adalah keris peninggalan Sunan Kalijaga. Keris itu diberikan oleh Pakubuwono III pada 15 Februari 1755 di Lebak, Jatisari, dua hari setelah perjanjian Giyanti. Di Lebak itu, Pakubuwono III dan HB I untuk pertama kalinya bertemu. Karena saat penandatanganan perjanjian Giyanti, hanya dihadiri oleh perwakilan HB I dan pihak VOC, Nicolaas Hartingh, W van Ossenberch dan JJ Steenmulder.

“Pemberian keris Kopek menjadi simbol pengakuan bahwa HB I mendapatkan separuh Mataram, dan pengakuan HB I sebagai Raja,” tuturnya.

Advertisement

Begitu buku berjudul Tradition And Heirlooms yang diterbitkan Kraton Ngayogyakarta dan Indonesia Marketing Association pada 2002 menjelaskan tentang Kangjeng Kyai Kopek.

“Kangjeng Kyai Kopek simbol kekuasaan,” tambah Yudaningrat.

Ia menjelaskan, keris dengan gelar Kangjeng Kyai adalah pusaka-pusaka yang memiliki kedudukan tertinggi karena jasa-jasanya sebagai senjata utama Sultan. Kangjeng Kyai Kopek itu dipakai sejak HB I hingga HB X. Pusaka ini selalu menyertai Raja, semenjak keberadaan Belanda hingga Mataram bersatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia mengusir pemerintah kolonial Belanda.

Advertisement

Yudaningrat bercerita Kangjeng Kyai Kopek itu sudah berusia ratusan tahun. Sunan Kalijaga mendapatkannya dari Syeh Jumadil Kubro, Sultan HB I dinilai memiliki kemampuan ngudari Kalimasada. Kalimasada berasal kata Kalimahosaddha (serat jamus), sebuah pusaka utama dalam dunia pewayangan yang dimiliki oleh Prabu Puntadewa (alias Yudistira), pemimpin para Pandawa.
Dengan ngudari kalimasada, Sunan Kalijaga menjadikannya sebagai sarana untuk berdakwah. Melekatkan pada kalimat syahadat, dan menyelaraskan aturan dalam kraton dengan ketentuan-ketentuan keislaman yang di dalamnya mengatur soal gelar Khalifatullah.

“Karena usia yang sudah beratus-ratus tahun dan berulang kali dijamas, kondisinya sudah terkikis dan ada yang bolong,” katanya.

Karenanya maksud penyempurnaan itu, lanjut Jatiningrat, dimaknai sebagai upaya HB X melanggengkan GKR Pembayun sebagai penerus takhta. Jatiningrat belakangan baru mengaku mendatangi undangan Sabda Raja di Siti Hinggil, setelah HB X menggelar jumpa pers. Ia mendengar, Raja yang dikawalnya saat naik takhta itu bersabda terkait penyempurnaan Kangjeng Kyai Ageng Kopek dan Kangjeng Kyai Joko Piturun.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif