Kolom
Rabu, 13 Mei 2015 - 08:40 WIB

MIMBAR MAHASISWA : Masih Adakah Tempat untuk Pram?

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bahtiar Rizal Ainunnidhom (Istimewa)

Mimbar Mahasiswa kali ini, Selasa (12/5/2015), ditulis Bahtiar Rizal Ainunnidhom. Penulis adalah Ketua Keluarga Mahasiswa Blora (Kamaba) Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Ia memang telah berpulang pada 30 April 2006, namun ia yakin akan abadi. Keyakinan itu digoreskan dalam sebuah kalimat ”Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah”.

Advertisement

Ia yang saya maksud adalah Pramoedya Ananta Toer—sebut saja dengan nama panggilannya: Pram—sastrawan kondang asal Blora, Jawa Tengah. Meski namanya begitu besar hingga dikenal dunia internasional, namun tak semanis itu di tanah kelahirannya.

Pram terkubur dalam-dalam di tanah kelahirannya. Ia seperti sebuah legenda yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Banyak pandangan dari media, karya, hingga cerita banyak orang tentang Pram.

Esai ini bernada gugatan atas tenggelamnya Pram di kampung halamannya sendiri. Semoga bisa menjadi bahan merenung bagi kita agar kita mampu bersikap bijak dalam memandang kenyataan dalam hidup dan kehidupan.

Advertisement

Sebagai prolog mari kita mengenal Blora, sebuah kabupaten dengan ibu kota berwujud kawasan perkotaan kecil di Jawa Tengah yang di bagian timur berbatasan dengan wilayan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Blora secara geografis berada di perbukitan kapur bagian dari Pegunungan Kendeng Utara dan Selatan. Separuh dari wilayah Kabupaten Blora merupakan kawasan hutan jati terutama wilayah utara, timur, selatan.

Selain kayu jati, sumber daya alam minyak dan gas bumi adalah kekayaan alam Blora. Dataran rendah di bagian tengah umumnya merupakan areal persawahan. Sebagian besar wilayah Blora merupakan daerah krisis air sehingga kebanyakan sawah adalah swah tadah hujan.

Masyarakat Blora cenderung konsumtif. Ini dibuktikan dengan hadirnya suatu hal baru yang mudah sekali memasuki sendi-sendi kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

Advertisement

Mereka lebih bangga dengan hal-hal yang bersifat euforia, sehingga tidak menyadari mereka pernah memiliki orang besar yang lahir di ”kota mati” tersebut. Pram sampai kini masih jadi nama yang asing di Blora.

Masyarakat umum, pelajar, sampai pejabat banyak yang tak tahu nama itu, nama Pram tidak familier di telinga mereka. Banyak faktor yang memengaruhi. Pram dipandang negatif oleh banyak pihak. Pram dianggap sebagai sosok yang berbahaya, keras kepala, komunis, ”menakutkan” seperti hantu.

Mari sejenak menengok beberapa tahun yang lalu sebelum nama Samin Soerosentiko melambung tinggi. Samin sebelumnya juga mengalami nasib yang sama seperti Pram saat ini, namanya begitu asing di telinga masyarakat lokal.

seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit banyak yang mengkaji ajaran Samin dan kemudian ada pembangunan Pendapa Padepokan Sedulur Sikep di Klopo Duwur. Akhirnya nama Samin Soerosentiko mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan.

Advertisement

Ini membuktikan masyarakat kita cenderung menunggu daripada menjemput bola. Bisa dipastikan jika tanpa ada pengagas awal dari suatu kelompok, lembaga, instansi, atau personal untuk mengangkat seorang tokoh besar yang terlupakan maka sebuah kalimat “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya” selayaknya kita hapus dari kehidupan. [Ketajaman Pena]

 

Ketajaman Pena
Terhapusnya jejak Pram dari masyarakat disebabkan masih adanya fobia bangsa ini terhadap komunis yang dipahami banyak orang awam sebagai penganut paham ateisme. Memberikan predikat komunis terhadap Pram, menurut saya, sulit diterima akal sehat.

Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari adik kandung Pram, Soesilo Toer, saat bapaknya meninggal Soesilo melihat sendiri Pram yang meneriakan takbir kali pertama. Selain itu, Soesilo Toer juga mengatakan Pram itu beragama.

Advertisement

”Siapa bilang Pram ateis, Pram itu agamanya Islam,” ucap adik kesayangan Pram itu dengan lantang. Mungkin sampai kapan pun Pram tak akan mendapatkan tempat. Rasanya intimidasi dan insinuasi itu sampai sekarang masih ada.

Pram menyadari ia adalah korban dari sistem yang korup, manipulatif, dan insinuatif di negerinya sendiri. Pram bahkan tak pernah dihargai secara layak di negerinya sendiri. Ketika Pram menjadi penerima Ramon Magsaysay Award 1995 banyak penulis menolak pemberian penghargaan itu kepada Pram.

Keadilan tak kunjung menghampirinya sampai akhir hayat, sampai karya-karyanya dibakar oleh aparat TNI Angkatan Darat. Masih banyak hal yang harus diperjuangkan agar Pram mendapatkan haknya sebagai manusia yang dimanusiakan, bukan lagi hantu yang ditakuti.

Pram mengingatkan kita semua akan ketajaman pena (tulisan). Sikap berani, pikiran kritis, perjuangan pembebasan umat manusia, yang merupakan bagian terbesar dari seluruh perjuangan hidup dan cita-cita Pram harus kita teladani untuk menuju masyarakat madani.

Pram adalah masa lalu, kini, dan esok Indonesia. Ia adalah sastrawan dengan selera dan kemampuan kelas atas yang melambung tinggi pada zamannya.

Satu-satunya peninggalan Pram di Blora adalah Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA) yang dikelola Soesilo Toer sebagai aset berharga. Perpustakaan PATABA berpotensi menjadi museum kelas dunia yang bisa menarik wisatawan sekaligus sebagai media belajar sastra dan sejarah.

Advertisement

Ini menjadi momentum refleksi, salah satunya, untuk memajukan Blora. Pram melalui Perpustakaan PATABA telah dikenal dunia. Ini terlihat dari pengunjung dari mancanegara seperti Swedia, Amerika Serikat, Belgia, Jepang, Korea, dan Jerman.

Tokoh (sastrawan) dalam negeri yang pernah berkunjung ke Perpustakaan PATABA adalah Ajip Rosidi, Koesalah Soebagya Toer, J.F.X. Hoerry, Poppy Dharsono, dan lan sebagainya. Banyak tokoh yang terlepas dari kesadaran historis kita karena pemburaman sejarah atau lantaran kita tak pernah sungguh-sungguh jujur dalam membaca dan menilai kembali sejarah kita sendiri.

Kita telah melupakan nama besar Pramoedya Ananta Toer. Sungguh ironis, mengingat ia adalah sosok berpengaruh bagi bangkitnya bangsa Indonesia melalui ketajaman pena. Ia menjelma menjadi buku tentang Indonesia seutuhnya. Ia telah terbaring tenang dan kini benar-benar tenggelam.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif