Kolom
Rabu, 13 Mei 2015 - 07:40 WIB

GAGASAN : Menakar Legitimasi Sabda Raja

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Riyadi (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (12/5/2015), ditulis Riyadi. Penulis adalah dosen Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Masyarakat diajak untuk memanggil kembali ingatan bersama terhadap kedudukan raja dalam bingkai feodalisme berkonteks modern melalui sabda raja Sri Sultan Hamengku Bawono X (sebelum sabda raja: Hamengku Buwono X).

Advertisement

Banyak orang yang kemudian menjadi teredukasi melalui pemberitaan dalam skala nasional tentang eksistensi politik dan kultural raja Keraton Jogja. Tentu saja pemahaman yang empiris, logis, serta sistematis diperlukan untuk menelaah peristiwa ini agar menghadirkan paradigma yang sepaham dengan paradigma masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Secara kultural penting untuk menempatkan masyarakat DIY sebagai kawula yang tunduk dan patuh terhadap raja sehingga keberterimaan terhadap kebijakan yang muncul  sulit dipisahkan antara buah dari legitimasi politik atau legitimasi kultural.

Dalam kedudukannya sebagai seorang raja, Sultan memiliki hak yang ekstra istimewa dalam mengeluarkan sabda, yang dalam kultur Jawa dikatakan sabda pandhita ratu pinangka rehing nagari, sabda raja adalah undang-undang.

Advertisement

Secara kultural sabda raja hampir tidak ada celah untuk diperdebatkan sepanjang sabda tersebut sebagai upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik, lebih sejahtera, serta lebih makmur, seperti yang dikenal dalam konsep kekuasaan Jawa gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem kerta tur raharja.

Keistimewaan raja yang membedakan dengan kawula yakni raja adalah seorang pinilih  yang mendapatkan supremasi bukan hanya dari rakyat, namun kekuasaan yang diperolehnya dibangun dari legitimasi transendental yang sulit dibuktikan dengan nalar modernitas.

Gung binathara, mbau dhendha anyakrawati, ambeg adil paramarta. Cerminan konsep tersebut menempatkan raja sebagai pemilik kekuasaan mutlak sebesar kekuasaan ”dewa” yang memegang hukum tertinggi serta memiliki kebijaksanaan yang besar.

Sifat tersebut bukan tanpa alasan karena raja harus seseorang yang dalam konsep kultural Jawa sebagai rembesing madu, wijiling atapa, tedhaking andhana warih. Raja adalah seseorang yang lahir dari keturunan bangsawan yang senantiasa mendekatkan diri kepada sang pencipta serta mendapatkan wahyu sebagai raja.

Advertisement

Legitimasi lainnya juga tampak pada saat Mataram Islam didirikan oleh Sutawijaya yang kemudian pecah dan terbentuklah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Mataram dipersiapkan sebagai pusat islamisasi sehingga muncul simbiosis antara para wali yang ingin menyebarkan agama Islam dengan elite tradisional yang akan melegitimasikan kekuasaan politik.

Hasil yang dicapai yakni Sultan juga mendapat gelar syayidin panatagama. Gelar tersebut menempatkan raja sebagai khalifatullah ing tanah Jawi yang menjadi pemimpin umat Islam di Jawa.

Permasalahan yang saat ini muncul dan berkembang sebagai sebuah kontroversi tatkala sang raja melepaskan gelar tersebut. Secara kontekstual memang pada saat ini belum menunjukkan efektivitasnya karena kelompok agama secara masif mengembangkan Islam di luar lingkungan keraton.

Advertisement

Perkembangan sampai masa modern kelompok agamawan merunut ordinasi sosial dibanding dengan tatanan sosial feodal yang menempatkan keraton sebagai aksisnya. Lain halnya dalam aspek politik, pelepasan gelar tersebut memiliki pesan yang sangat penting khususnya pada abad ke-15 saat proses islamisasi terus berkembang secara struktural di Jawa.

Pelepasan gelar tersebut pada konteks modernitas tidak akan berpengaruh besar karena, pertama, agama dikembangkan secara terpisah di luar kekuasaan feodalisme kerajaan. Kedua, proses islamisasi secara eksternal dapat dikatakan sudah berhenti karena semua rakyat sudah diwajibkan memeluk salah satu agama dari deretan agama yang diakui oleh pemerintah

Ketiga, legitimasi raja melalui unsur gelar ini semakin lama kian melemah, seiring dengan berkembangnya paham realisme dan rasionalisme. Hal ini juga ditunjang dengan pemahaman agama yang menyajikan kesetaraan manusia di hadapan Sang Khalik, kecuali tingkat ketakwaannya.

Yang menjadi lebih menarik lagi saat upaya Sultan melepaskan gelar tersebut sebagai salah satu tahap untuk menempatkan putri sulungnya sebagai penerus suksesi kepemimpinan pada nantinya. Apabila anggapan ini benar, pertanyaan yang kemudian berkembang siapkah masyarakat DIY dipimpin oleh seorang ratu?

Advertisement

Keistimewaan DIY tidak memisahkan kekuasaan politik dengan kekuasaan kultural. Pertama, secara politik dapat ditebak bahwa tidak ada kaitan yang signifikan antara gender dengan prestasi kepemimpinan suatu daerah. [Akselerasi dengan Modernitas]

 

Akselerasi dengan Modernitas
Era modern telah menghasilkan deretan pemimpin-pemimpin perempuan dengan prestasi gemilang. Di Eropa khususnya Belanda justru ratu sebagai penerus takhta kerajaan, sedangkan Inggris tidak mempermasalahkan gender, artinya apakah Inggris dipimpin king ataupun queen selalu dapat diterima masyarakat.

Di DIY saat ini telah terbangun struktur politik yang baku serta kuat sehingga apakah dipimpin seorang ratu ataukah raja tidak akan berpengaruh. Kedua, ratu dalam pandangan sosiokultural, menurut analisis saya, tidak akan memunculkan gejolak berkepanjangan dalam masyarakat karena dalam sejarah Jawa pun telah membuktikan Ratu Sima yang berprestasi menjunjung hukum yang sangat adil hingga Tribuana Tunggadewi dalam banyak epigraf dicatat dengan prestasi politik yang gemilang.

Uraian di atas adalah konsep kekuasaan raja dalam struktur feodalisme, biarpun feodalisme telah sangat masif mengalami transformasi yang besar. Transformasi feodalisme dengan eksistensi raja sebagai pusat kebudayaan Jawa rupanya tidak selaras perkembangan zaman sehingga menuntut wilayah yang menggunakan feodalisme harus menyesuaikan diri dengan modernitas.

Secara akademis, modernisme dan tradisionalisme selalu berbanding terbalik. Saat modernisme diadopsi dengan kuat maka akan diikuti pelepasan unsur tradisionalisme, begitu pula sebaliknya. Konsep ini dapat kita gunakan untuk mengkaji secara empiris eksistensi feodalisme antara Inggris dan Prancis.

Advertisement

Inggris masih mampu menempatkan konsep feodalisme sampai saat ini, namun feodalisme Prancis harus tumbang dan meminang demokrasi sebagai penggantinya. Hal ini terjadi karena feodalisme di Prancis tidak mampu menyesuaikan diri dengan modernitas.

Kembali pada Keraton Jogja, apa pun pendapat kawula namun keraton harus mulai menyiapkan diri melakukan akselerasi terhadap modernitas. Saat kontroversi sabda dan dhawuh raja ini muncul siapa yang mempermasalahkan? Orang Jogja—DIY—atau orang di luar DIY?

Ini penting karena hanya orang DIY yang mempunyai paradigma yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Pandangan dan argumentasi masyarakat di luar DIY dengan landasan paradigma demokrasi tentu akan menghasilkan pendapat yang berbeda.

Perlu diingat bahwa demokrasi bukan menjadi satu-satunya jalan yang menjanjikan kemakmuran rakyat serta lebih ordinat dibanding feodalisme. Seharusnya bangsa ini memberi waktu bagi DIY untuk menata feodalismenya secara alami.

Dinamika adalah sebuah gejala normal, namun seharusnya keistimewaan DIY sebagai bagian dari ”keistimewaan” Indonesia harus diposisikan di tempat pada posisi terpenting sehingga terus lestari.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif